ETIKA FARMASI DALAM ISLAM SEBAGAI LANDASAN AKSIOLOGI Aksiologi mempelajari mengenai manfaat apa yang diperoleh dari ilmu pengetahuan, menyelidiki hakikat nilai, serta berisi mengenai etika dan estetika. Aksiologi adalah studi tentang nilai atau kualitas. Aksiologi mencakup etika dan estetika bidang filsafat yang sangat terkait pada gagasan tentang nilai dan kadang-kadang disamakan dengan teori nilai dan meta-etika. Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting bagi umat Islam sebagai pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan pengkajian dan pembuktian ilmiah. Dengan mengkaji secara mendalam dan membuktikan secara ilmiah maka kita akan menemukan misteri yang luar biasa dari Al-Qur’an. Seseorang yang mendalami, meneliti dan mengembangkan Al-Qur’an dengan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakui kebesaran Allah SWT. “Sesungguhnya
dalam
penciptaan
langit
dan
bumi
serta
silih
bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran: 190-191). Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat banyak hal dalam kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan suatu negara termasuk didalamnya adalah mengenai ilmu pengobatan dan kefarmasian. Menurut Al Biruni, farmasi merupakan suatu seni untuk mengenali jenis, bentuk dan sifat-sifat fisika dari suatu bahan, serta seni mengetahui bagaimana mengolahnya untuk dijadikan sebagai obat sesuai dengan resep dokter. Kedokteran Islam yang didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu kedokteran dan farmasi yang berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak bertentangan dengan koridor ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan dapat mengedepankan
kemampuan
untuk
menggali
dan
menjaga
lingkungan,
kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi secara optimal, serta memiliki kepekaan terhadap berbagai proses perubahan yang terjadi didalamnya. Karakter perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi di negara-negara Islam memiliki karakter yang menarik untuk dipelajari karena
keunikan ajaran Islam sebagai agama yang sempurna mengatur setiap sisi kehidupan manusia. Teks-teks Al-Qur’an dan Hadist memiliki batasan yang tegas untuk beberapa bahan yang diharamkan penggunaannya. Seorang farmasis muslim akan berusaha menyelaraskan keyakinan beragamanya dengan prinsipprinsip ilmiah farmasi. Hasilnya adalah satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu bidang keilmuan dan pelayanan farmasi yang kajiannya berada dalam koridor agama Islam. Bumi dan isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang dapat menjadi obat (Q.S. Al-A’raf: 10). Allah SWT telah mengkaruniakan kepada kita kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebaikan umat di muka bumi
ini.
Akan
tetapi
Allah
tetap
memberikan
batasan-batasan
dalam
pemanfaatannya. Salah satunya adalah adanya batasan halal dan haram untuk makanan yang dikonsumsi. Hal ini berlaku juga untuk obat-obatan. Tingkat kehalalan dan keharaman dalam dunia farmasi belum terpetakan dengan jelas. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, konsumen obat yang beragama Islam memerlukan suatu perlindungan kehalalan obat yang mereka konsumsi. Dalam hal ini maka keilmuan farmasi memegang peranan penting. Maka obat yang akan dimakan untuk pengobatan harus benar-benar yang baik dan bermanfaat untuk dikonsumsi dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang apoteker/ahli farmasis sebagai penjaga jalur distribusi obat. A. Landasan Pengobatan dalam Al-Qur’an dan Hadist Kesehatan merupakan nikmat yang harus disyukuri sebagai anugerah kehidupan. Namun kondisi lingkungan, kesalahan pola hidup ataupun serangan wabah dari lingkungan sekitar membuat manusia dapat mengalami sakit. Manusia diberikan akal dan potensi alam sekitar untuk mengatasi penyakitnya. Oleh karena itu, Islam mewajibkan umatnya untuk berusahan/berikhtiar dan mengobati
penyakitnya
bukan
sekedar
pasrah
dan
tidak
berusaha
mengatasinya. Islam mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan usaha seoptimal mungkin dengan menegaskan bahwa untuk setiap penyakit telah disediakan obatnya. Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui berkata: Ya Rasulullah! Tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya, wahai hambahamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat penyakit tanpa
membuat kesembuhan baginya kecuali satu penyakit. Mereka bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua” (H.R. Usamah). Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang harus ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat Islam berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang harus dijadikan patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah hadist. Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam AlQur’an dan Hadist maka diperbolehkan ijtihad. Bagaimana status darurat dalam
pengobatan?
Rasulullah
saw.
Memerintahkan umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan melarang menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan yang haram” (H.R. Abu Ad Darda’). Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan yang Halal dan Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar dan binatang yang disembelih tanpa nama Allah. Meskipun penggunaan produk halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, namun para ulama memperbolehkan obat yang haram dalam keadaan darurat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i menegaskan standar darurat ialah timbulnya kekhawatiran akan kematian jika tidak dilakukan. Demikian pula Imam Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi yang jika tidak dilakukan akan mati atau dekat kematian. Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa sediaan farmasi yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya: Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau plester. Para ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis ketika digunakan.
1. Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash
Al-Qur’an,
pada
tahun
1994
komisi
Fatwa
MUI
telah
menfatwakan bahwa babi dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan maupun obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi haram karena umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah: kolagen sebagai pelembab dan bahan dasar gelatin yang biasa digunakan dalam pembuatan
cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta beberapa golongan hormon seperti insulin, heparin dan enzim tripsin yang biasa digunakan dalam pembuatan vaksin polio sebagai enzim proteolitik berasal dari pancreas babi. Salah satu tantangan bagi kalangan ilmuwan muslim adalah masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan insulin babi sehingga dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada menggunakan hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia. 2. Penggunaan alkohol dalam
kefarmasian.
Sebagian
ulama
mengqiyaskan alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam berbagai produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi dengan logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari produksi khamr dan tidak memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI menfatwakan bahwa alkohol boleh ada dalam produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%. Penggunaan alkohol dalam beberapa produk farmasi tidak dapat terhindarkan sehingga perlu kearifan untuk membedakan antara alkohol dan khamr. Bahkan dalam setiap sari buah alami yang diekstrak secara sederhana tanpa proses fermentasi tetap terkandung alkohol dalam jumlah
rendah.
Kandungan
alkohol
secara
alami
ada
dalam
mayoritas produk pangan misalnya roti yang dibuat dengan bantuan yeast (gist/ragi) biasanya mengandung alkohol antara 0,3-0,4%. Asam cuka yang biasa digunakan dimasyarakat juga mengandung alkohol kurang dari 1%. 3. Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika. 4. Penggunaan plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta sebagai kosmetik mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel (regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan pelembab, lotion rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo. B.
Obat dalam Al-Qur’an dan Hadist Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap.
Semua permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit
yang diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap mengobati penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi saw. Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah yang amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi manusia itu sendiri. “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia telah menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan berobat dengan barang yang haram” (H.R. Abu Dawud). “Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang ia haramkan atasmu” (H.R. Bukhari). Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan yang mengandung nilai kemusyrikan dan penggunaan bahan-bahan yang diharamkan. Semua tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah saw ribuan tahun yang lalu ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum berkembang pesat. Nash Al-Qur’an dan hadist dapat menjadi panduan untuk mencari solusi dalam permasalahan kehidupan di dunia, terutama mengenai dunia pengobatan. C. Produk Farmasi dalam Pandangan Islam Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian pokok dari tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini menyangkut keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang mengkonsumsinya seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt. “Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu” (H.R. Ath-Thabrani). 1.
Obat Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan bisa
berasal dari sapi, babi atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara penyembelihan hewanpun harus benar-benar dipertimbangkan. Sementara untuk produk metabolit mikroba titik kritis kehalalan medium serta enzim pertumbuhan yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Bahan untuk ekstraksi metabolit aktif pun harus dipertimbangkan apakah menggunakan alkohol murni atau produk sampingan dari industri khamr. Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon, enzim, dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk mikrobil yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang haram, atau bahan penolong yang haram. Pada tingkat teknologi yang lebih tinggi harus dipertimbangkan juga apakah mikroba rekombinan gennya berasal dari hewan yang haram atau tidak.
Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada penggunaan laktosa, etanol, adeps lanae serta magnesium stearat. Sebagian bahan baku laktosa ditemukan sebagai produk samping pembuatan keju dan susu yang ditambahkan enzim dari babi. Etanol perhatikan batas kadar 1% dan sumber produksinya apakah bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae sebagia bahan untuk meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari hewan yang diharamkan. 2.
Obat bahan alam Bahan dasar obat bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari bahan
tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya produk-produk hewan pun juga masuk dalam ramuan obat bahan alam. Ramuan tradisional itu juga mengenal bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, bagian organ dari ayam, bagian organ ular (empedu, darah, lemak, serta otaknya), buaya, kalajengking, laba-laba, dan ekstrak berbagai bagian dari jenis binatang. Jadi, perlu kehati-hatian dalam memilihnya sebab penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis hewannya halal atau tidak. Pembuatan obat dari bahan alam yang halal dari hewan hendaklah dari hewan yang halal dikonsumsi. Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan obat, dapat menanyakan hukum hewan yang digunakannya apakah halal atau haram. 3.
Kosmetik Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh.
Oleh karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah suci dan najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau menjijikkan daa tidak membahayakan tubuh pemakainya serta jangan sampai kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang berlebihan dan bukan pada tempatnya. Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau bahan pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat. Status kehalalan ini kritis terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi dari hewan (kolagen, dll), menggunakan alkohol, menggunakan bagian dari manusia seperti plasenta dan cairan amniotik.
D.
Riset dan Teknologi Farmasi Farmasi merupakan suatu bidang ilmu yang semakin berkembang.
Dengan perkembangan teknologi kefarmasian tentu mengakibatkan berbagai konsekuensi termasuk permasalahan yang terjadi semakin lebih kompleks, mulai dari kontrofersi dalam penggunaan hewan percobaan dalam riset kefarmasian, teknologi transgenik, kloning, hingga mengenai dampak lingkungan hidup akibat banyak bertumbuhnya industri farmasi yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Islam sebagai agama mengajarkan
kepada
yang
umatnya
sempurna
untuk
tetap
dalam
ajarannya
menyeimbangkan
telah antara
perkembangan teknologi dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga kerusakan dimuka bumi dapat terhindarkan. Contoh reiset dan teknologi yang perlu diperhatikan: 1.
Penelitian-penelitian menggunakan hewan percobaan Konsep
yang
dipegang
oleh
fikih
adalah
mempertimbangkan
kepentingan umat manusia yang terdiri atas 5 hal yang meliputi agama, jiwa, keluarga, akal fikiran, serta harta benda. Tindakan-tindakan tertentu yang dimotivasi oleh keterpaksaan atau darurat dalam rangka melindungi salah satu dari lima kepentingan itu dibenarkan. Aspek kedaruratan ini juga berlaku dalam pemanfaatan hewan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kesehatan dan penelitian kefarmasian yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Meskipun demikian
dalam
pandangan
Islam,
kita
wajib
berbuat
baik
dalam
memperlakuakan hewan dengan tujuan yang jelas. Tantangan ahli farmasi adalah menguji khasiat obat dengan in vitro tanpa hewan uji karena saat ini tidak semua uji dapat dilakuakn secara in vitro seperti uji toksisitas. 2.
Pemanfaatan teknologi transgenik Perkembangan dalam rekayasa genetik perlu diperhatikan mengenai
proses pembuatannya (prokursor, raw material, media pertumbuhan) agar produk yang dihasilkan aman dan halal. 3.
Kontroversi teknologi kloning Proses kloning dalam penciptaan manusia jelas bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin: 4). 4.
Penanganan lingkungan hidup
Setiap orang yang mengeksploitasi dan menggunakan alam adalah demi kepentingan ibadah, melestarikan alam juga ibadah. Penanganan limbah harus sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dalam memanfaatkan alam harus memperhatikan estetika dan keindahan. Pengembangan teknologi dan industri perlu diimbangi dengan perilaku memelihara lingkungan sekitar secara arif misalnya, dengan memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan, penyiapan analisis pengembangan mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penanganan limbah industri yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta bentuk perilaku ramah lingkungan lainnya. E.
Pelayanan Kefarmasian Perubahan paradigm pelayanan farmasi dari drug oriented menjadi
patient oriented sehingga menjadikan profesi farmasi menjadi peluang sekaligus tantangan. Farmasis berperan dalam membantu pengobatan mandiri pasien untuk memilihkan obat yang baik dan halal. Fungsi utama dari pelaksanaan asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) antara lain untuk mengidentifikasi baik yang aktual maupun potensial masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat, serta mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan obat. Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban untuk melindungi pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang merugikan. Diawal Farmasi memeriksa kebutuhan pasien, ditengah memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi bagi DRP (Drug Related Problem), diakhir menilai hasil intervensi (evaluasi) sehingga didapat hasil yang optimal sehingga pada akhirnya diharapkan kualitas hidup pasien meningkat serta hasilnya memuaskan. Dengan mengutamakan keselamatan dan melindungi pasien dari penggunaan obat yang membahayakan diri pasien, berarti farmasis turut memelihara kehidupan pasien tersebut sesuai dengan anjuran ajaran Islam. F.
Sertifikat Halal Produk Farmasi Mencari yang halal merupakan suatu kewajiban setiap muslim sehingga
kita wajib selektif dalam memilih makanan dan minuman termasuk obat-obatan dan kosmetika. “Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R. Ibnu Mas’ud). “Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat yang pantas baginya” (H.R. At-Tirmidzi).
Masyarakat sulit menentukan suatu produk itu halal atau haram namun dengan adanya label sertifikat halal pada produk yang diberikan oleh LPPOM MUI dan nomor registrasi yang diberikan BPOM berarti produk tersebut telah dianggap halal dan aman (thoyyib). Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat Halal dari MUI, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan Halal di perusahaannya. Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan, produk farmasi seperti obatobatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk sehingga dapat menentramkan batin konsumen. Permasalahan regulasi halal di Indonesia adalah produsen memasang label halal sendiri dan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dalam Bab Label dan
Iklan
Pangan
Pasal
30
ayat
1
mampu
memaksa
produsen
untuk
mensertifikasi produknya. “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Namun penjelasan lanjutan dari UU ini mengandung keanehan yang mementahkan konsep ‘pemaksaan’ tadi yaitu pada pasal 30 ayat 2 (e) yang berbunyi: “…Namun, pencantumannya pada label pangan kewajiban
apabila
setiap
orang
yang
memproduksi
baru merupakan
pangan
dan
atau
memasukkan pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam …” Akibat penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak wajib, maka sertifikat halalpun menjadi tidak wajib pula. Oleh karena itu, peran pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 tersebut terutama pasal 2 (e) agar memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen. Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Padahal sangat banyak titik kritis halal haram dari obat dan kosmetik. Hal ini belum menjadi perhatian penting bagi praktisi kesehatan maupun konsumen dengan berlindung pada alasan status kedaruratan. Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih produk yang halal dan toyib. Tantangan lain dalam mencanangkan regulasi halal obat dan kosmetik selain rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat dan kosmetik halal di Indonesia adalah
minimalnya bahan baku lokal sehingga pengawasan oleh
LPPOM MUI lebih sulit karena ketergantungan industri farmasi pada bahan baku impor. Selain itu regulasi dan pola pengawasan produk halal masing-masing Negara berbeda karena parameter penentuan kehalalan dan lembaga serta ijtihad para ulama fiqih lokal bisa berbeda. Keberadaan benda haram dalam suatu produk tidak dapat langsung terdeteksi secara visual bahkan penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa mendeteksi keberadaan unsur alkohol maupun babi pada produk akhir. Oleh karena itu, hal terpenting adalah secara etis adanya jaminan pihak ketiga yang independen atas kehalalan produk pangan, obat, maupun kosmetika dalam bentuk sertifikat halal. Sehingga produsen terawasi sejak proses pengadaan barang, produksi hingga pengemasan. Hasil dari pengawasan dikeluarkan dalam bentuk dokumen yang selanjutnya menjadi landasan sertifikasi kehalalan. Selanjutnya dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat dan ekonomis. Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan maupun kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu profesi yang konsen, komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan. Untuk dapat mewujudkannya, dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar-benar mengerti dibidangnya dan memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya. Sebagai farmasis muslim kita juga dituntut untuk memiliki kepekaan pada kebutuhan umat Islam. Bagi
seorang muslim, mengkonsumsi makanan
serta produk farmasi lainnya termasuk obat yang berstatus halal dan thoyib, sudah menjadi bagian keyakinan agama yang harus dijalankan. Ironisnya seringkali konsumen tidak memiliki kebebasan untuk memilih produk yang halal akibat minimnya informasi yang sampai. Penjaminan hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, farmasi dan masyarakat pada umumnya. Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam
membuat
serta
mengkonsumsi segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian tidak untuk memberatkan manusia dengan berbagai aturan yang telah ditetapkan, namun ingin menghantarkan manusia dalam kemuliaan dan kebahagiaan hakiki, di dunia maupun diakhirat. Bahkan beberapa aturan dalam Islam telah terbukti secara etis meningkatkan kualitas hakiki kehidupan manusia. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu pun jelas. Sedang diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (meragukan) yng tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa-siapa
yang menghindari perkara-perkara syubhat berarti ia membebaskan diri demi agama dan kehormatannya. Dan siapa-siapa yang terjerumus kepada yang haram bagaikan seorang pengembala yang bergembala diperbatasan tempat yang dilarang dan ia hamper melanggar. Ketahuilah bahwa setiap milik itu ada batasannya, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, tetapi jika rusak maka rusaklah keadaan seluruh tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati” (H.R. Muslim). Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu tidak terdapat alternatif lain. Penggunaan obat yang haram dalam keadaan darurat tidak boleh berlebihan, tetapi seperlunya saja. Sementara yang berhak menilai keadaan darurat seseorang adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, pribadi bersangkutan yang merasakan penderitaan sakitnya dan pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang menyangkut kepentingan umum. Kondisi darurat adalah respon reaktif yang bisa menjadi landasan penentuan hukum ketika manusia berada dalam kondisi terdesak. Sayangnya status darurat ini sering menjadi tempat berlindung para praktisi kesehatan ketika berhadapan dengan pasien. Secara filosofis kondisi kedaruratan obat tidak harus terjadi manakala ilmuwan muslim di dunia pengobatan memiliki cara pandang tentang pentingnya mengusahakan produk farmasi yang halal. Karena pada dasarnya masih banyak alternatif
bahan obat yang halal yang belum
diusahakan pengadaannya. Segala yang berasal dari haram semuanya dinilai haram. Tujuan atau niat tidak menghalalkan cara atau proses. Namun perlu “cerdas dan arif” dalam menilai status kedaruratan suatu kondisi, dimana dinilai oleh yang memiliki wewenang dan keilmuan terkait itu. Jadi, diperlukan peran semua pihak untuk mengusahakan pengadaan serta penggunaan produk yang halal dan toyib (baik).
Kesimpulan 1. Etika faramsi dalam Islam layaknya sebagai landasan/pondasi aksiologi sehingga dapat menjamin nilai, kualitas dan ilmu farmasi menjadi lebih bermanfaat terutama dalam hal penjaminan halal dan haram bagi umat Islam.
2. Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan maupun kosmetik. Penjaminan hak konsumen muslim dalam mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, farmasi dan masyarakat pada umumnya. 3. Tantangan ahli farmasi muslim adalah mengusahakan membuat bentuk sediaan obat dan kosmetik halal, serta menguji khasiat obat dengan in vitro tanpa hewan uji. 4. Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu tidak terdapat alternatif lain setelah keadaan darurat dinilai oleh tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan mengetahui persis kondisi pasien, dan pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang menangkut kepentingan umum.
Saran 1. Peran pemerintah perlu menganalisis kembali UU No.7 pasal 30 ayat 2 (e) agar memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen. 2. MUI memberikan sertifikat halal bekerja sama dengan pemerintah. 3. Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai bahan pembuatan
obat,
dapat
menanyakan
hukum
hewan
yang
digunakannya apakah halal atau haram. 4. Perlunya membangun kesadaran semua pihak tentang pentingnya regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih produk yang halal dan toyib. DAFTAR PUSTAKA An-Nawawi, 2007, Terjemah Hadits Arba’in: An-Nawawiyah, Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin Press.
Cetakan
V,
Departemen Agama RI, 2005, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syamil Cipta Media, Indonesia. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1996, UndangUndang Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1996 Tentang Pangan, DirJen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Wasito, H. dan D. Herawati, 2008, Etika Farmasi dalam Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu. Obat, Dan Pengobatan Dalam Perspektif Hukum Islam
Jumat, 01 Juli 2011 19:14 I.
PENDAHULUAN
Reformasi yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW 15 abad yang lalu melalui Risalah Islamiyyahnya, yang berkait dengan hidup dan kehidupan manusia adalah terwujudnya eksistensi kebahagiaan, keselamatan, kesuksesan dan kenyamanan hidup di dunia dan akhirat. Sehat jiwa (sehat rohaniah) yang terisi dan terpatri pada hati dan sanubarinya dengan a`aqidah al Islamiyyah ashshahihah yang membebaskan diri setiap insan hamba Allah untuk tertunduk dan bersimpuh di hadapan Allah SWT secara vertikal, melalui media shalat lima waktu, sebagai buah hasil dari peristiwa mukjizat Isra` dan mi`raj Nabi Muhammmad SAW. Sikap mental yang selalu dilandasi dan terimplementasi dengan kalimatut-tauhid , La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah) akan mengusir dan mengikis serta mengantisipasi berbagai macam virus ruhaniyyah, semacam: virus al-kibr wat-takabbur (sombong), alhasad (dengki/irihati), al-haqd (dendam), dan virus al-Ananiyyah (egoistik), dan yang sangat berbahaya adalah virus kemunafikan, virus kekafiran, serta visus kemusyrikan. Sehingga dalam situasi, kondisi dan posisi apapun seorang hamba Allah yang saleh akan selalu menggantungkan berbagai poroblematika kehidupannya kepada Yang Maha Kaya, Yang Maha Berkuasa, dan 97 Maha lainnya Curhat Vertikal selalu dilakukan dengan berbagai media ibadah, baik ibadah mahdhah kepada Allah SWT misalnya: shalat lima waktu, shalat-shalat sunnah, puasa Ramadhan dan puasa-puasa sunat, haji dan umrah, tilawah al-Qur`an, zikir dan doa, serta ta`lim, maupun ibadah sosial (ibadah ghaeru mahdhah) yang diberikan untun kepentingan kebutuhan hidup para dhu`afa, yatama,fuqara, dan masakin, seperti: zakat, infak, sodaqoh, wakaf, dan berbagai bantuan sosial lainnya. Di samping itu, sehat jasmaniah yang merupakan potensi dan kemampuan seorang hamba Allah yang ikhlas dan penuh kesadaran untuk menjalankan aturan-aturan, norma-norma hukum syariah yang akan mengawal seseorang untuk melakukan berbagai aktiifitas dan perbuatan, dimulai dari masa balignya, sejak bangun tidur sampai tidur kembali dan seterusnya sampai hayatnya terpisah dari jasadnya dalam posisi disayangi dan dimulyakan, serta diridhai oleh
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Selain itu, diisi dan dihiasi oleh sehat moral (mental) untuk melakukan berbagai aktifitas yang penuh dengan berbagai hambatan dan kendala yang dilandasi oleh semangat Lillahita`ala. Sehingga sentuhan aktifitas hamba-Nya itu, dalam bentuk gagasan dan pemikiran yang sehat, ucapan dalam bingkai kebenaran yang santun dan lembut dan prilaku yang ditampilkan, dengan tidak menyakiti hati siapapun, serta dapat dirasakan dampak positifnya baik untuk dirinya, masyarakat lingkungannya, bangsa dan negaranya. B. Himbauan untuk selalu Hidup Bersih Menuju Hidup Sehat. Ada kurang lebih 30 ayat secara berulang, Allah SWT menghimbau kepada setiap hamba-Nya untuk menjalani pola hidup bersih, baik bersih angggauta badan, pakaian, tempat tinggal dan lingkungannya. Di samping itu, diperkuat dengan ratusan hadis-hadis Rasulullah yang berkait tentang kualitas hidup bersih, sehingga para fuqaha secara spesifik telah menempatkan pembahasan Kitab/Bab ath-taharah (hidup dan prilaku bersih), baik berkait dengan mekanisme bersuci, alat untuk bersuci, dan kotoran dan najis yang mengancam eksistensi kebersihan ( dalam bentuk najis ringan /mukhaffafah, atau najis sedang (mutawassitoh, atau najis berat mugallazhoh). Sehingga seseorang yang akan menghadap Allah dari ujung rambut sampai dengan ujung kakinya ketika mau melaksanakan shalat mesti terbebaskan badannya, pakaian yang dikenakan untuk shalatnya, dan tempat shalatrnya dari berbagai kotoran dan najis. Di samping itu, mekanisme bersucinya mesti benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, dengan istinja` setelah melakukan buang air kecil (BIK) atau buang air besar (BAB), melakukan mandi (al-gusl) baik dalam bentuk mandi biasa, atau mandi sunnah, atau mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar (hadas akbar), melakukan berwudlu yang benar dengan melaksanakan rukun dan sunah-sunahnya, atau melaksanakan tayammum sebagai sebuah dispensasi hukum yang dilakukan ketika dalam keadaan sakit yang mengancam eksistensi jiwa ketika menggunakan air, atau dalam kondisi tidak ditemukannya air. Selain itu, juga mesrti dipergunakan alat-alat bersuci dengan memilah dan memilih watak air yang suci mensucikan (al-ma thahir muthahhir/al-ma` al-muthlaq) untuk mengangkat hadas besar dan mengangkat hadas kecil (berwudlu) dan hadas besar (mandi junub, mandi setelah menjalanai masa menstruasi (alhaidh), dan setelah melahirkan (wiladah dan nifas). Sehingga ketika wudhunya sah maka akan mengantarkan ibadah shalatnya, thawafnya,, tilawah al-
Qur`annya bernilai sah, i`tikaf zikir dan doanya juga bernilai sah, bahkan setiap hamba Allah untuk selalu memposisikan dirinya dalam keadaan bersih dalam keadaan dawam al-wudhu (melestarikan wudhu). Sehingga diharapkan setiap jam, menit, dan detiknya kehidupan hamba-Nya yang dicintai dan dimuliakanNya itu dalam keadaan bersih dan dekat denganNya, yang akan dirinya bersih jasmani dan rohani, lebih dari itu sehat jasmani dan rohaninya, terbebaskan dari belenggu kehidupan yang penuh maksiat dan dosa. Di samping itu, setiap insan hamba Allah dihimbau untuk mengkonsumsi makananan dan minuman sebagai sebuah rizki yang halal dan yang thayyib (yang layak dan cocok untuk anggota tubuh) yang berfungsi sebagai gizi jasmani, yang dapat menumbuh kembangkan anggauta tubuh jasmaninya yang sehat dan kuat untuk mengisi gizi ruhaninya untuk menjadikan sehat dan kokoh rohaninya dalam mengabdi dan beribadah kepada-Nya. Oleh sebab itu, begitu sangat sayang kepada hamba-Nya dengan melarang dan mengharamkan secara tegas untuk mengkonsumsi makanan, minuman, yang masuk melewati kerongkongan dan perutnya dan bahkan lebih dari itu, melakukan hubungan biologis dengan pasangan yang haram (tanpa ikatan akad nikah yang legal dan sah), yang semuanya akan mengancam eksistensi agama, eksistensi jiwa dan eksistensi akalnya, bahkan eksistensi kehormatan dan keturunannya. Juga tidak kalah pentingnya, proses dan mekanisme memperoleh makanan, minuman, dan pasangan suami-isteri apakah bertentangan dengan hukum syariah dan juga hukum positif yang berlaku. Sehingga dalam memperoleh pendapatan dan kekayaan tidak menzalimi hak-hak pihak lain secara tidak adil, semisal: Rizki yang diperoleh melalui pencurian, penipuan, atau perampokan, dan apalagi melalui perkorupsian, seteguk air minum dan sesuap nasi yang bersumber dari yang haram yang bukan haknya itu akan menjadi api panas yang menyengat, yang menyebabkan hidup pelakunya gundah, gelisah dan stress, merasa tidak indah dan tidak nyaman terhadap apa yang dimilikinya itu. Di samping itu, pendistribusian dan pendayagunaan rizki yang diperoleh apakah digunakan untuk poya-poya, penuh dengan maksiat dan dosa, atau dipergunakan untuk kebaikan dan kebajikan yang dapat dirasakan oleh dirinya, keluarganya dan masyarakatnya. Pada umumnya, rizki yang di peroleh yuang bersumber dari yang haram itu akan cepat habisnya. Sebaliknya, rizki yang bersumber dari yang halal itu akan nyaman dinikmatinya, mempunyai manfaat bagi sesama, dan terus berlimpah dalam kebaikan dan keberkahan dari Allah
SWT. Sehingga hidup sehat dalam perspektif agama kita, jasmaninya sehat yang ditunjang oleh ekonominya yang sehat, dan diharapkan ruhaninya sehat untuk menuju kehidupan duniawi yang sangat sementara ini penuh dengan kebahagiaan, dan kehidupan ukhrawi penuh dengan kepuasan dibawah Ridha Allah SWT yang layak dan pantas menghuni surga-Nya, Jannat an-na`im. Semua ini dapat dimanifestasikan melalui ibadah shaum, khususnya ibadah shaum Ramadlan yang tinggal beberapa minggu lagi kita akan memasasukinya, dan puasa sunah lainnya sebagai media pelatihan pengendalian syahwat hawa nafsu yang akan dapat menjebak setiap insan untuk terperosok dalam lembah kehinaan dan kehancuran kehidupan dunia dan akhirat. Na`uzubillah. C. Sakit, Obat dan Pengobatan. Sehat jasmani dan rohani merupakan nikmat Allah yang sangat mahal yang dikaruniakan kepada setiap hamba-Nya secara gratis dan sulit untuk menghitung dan apalagi mau membayarnya. Sedangkan, sakit (al-maridh/assaqam) , dalam perspektif agama Islam, dimaknai sebagai sebuah hikmah dan bahan muhasabah (evaluasi diri) bahwa siapapun hamba Allah dalam posisi tidak berdaya ketika dalam keadaan sakit, baik sakit ringan, sakit sedang, apalagi sakit yang kronis yang sudah mengancam eksistensi jiwanya yang sudah terbaring, dan bahkan terkapar di pembaringan, yang hanya dapat ditangisi oleh istreri/suami dan sanak saudara. Sehingga sakit/penyakit itu menjadi sebuah hikmah, sebuah ujian/test dan cobaan (imtihan wa ibtilaan) bagi siapapun hamba-Nya, apakah dia seorang yang kaya raya, pejabat, ulama, intelektual, pengusaha,rakyat biasa atau dhu`afa, untuk menjadikan sakit itu sebagai sebuah hikmah untuk lebih diposisikan Allah SWT sebagai tempat meminta, bermunajat, dan tempat mengajukan berbagai keluhan dan problem, sehingga melalui sakit, Allah SWT akan mendengar rintihan, manja dan cengengnya sosok seorang hamba-Nya. Seorang hamba yang belum pernah mengalami sakit dalam sepanjang hidupnya secara establish, selalu sehat maka boleh jadi dia tidak dapat mensyukurinya. Sehingga dia bertepuk dada,, sombong bahkan menganggap dirinya sakti sebagai Tuhan, sebagai yang telah dilakukan oleh Fir`aun. Di samping itu, orang yang sakit diharapkan dapat mengevaluasi adanya sesuatu yang salah dan tidak pas karena mengabaikan pola makan dan minum yang tidak benar, bahkan apa saja masuk yang halal dan yang haram, atau
melakukan hubungan biologis di luar akad nikah sehingga terancam penyakit kelamin, HIV dan Aids. Pada akhirnya, orang yang sakit itu memilih dua pilihan sesuai dengan izin dan kehendak Allah SWT, apakah dia akan sembuh dan pulih kembali dari sakitnya, atau sebaliknya sebagai faktor penyebab kematiannya, wafat kembali kepada al-Khaliq Rabbul `alamin, Inna Lillahi wa Inna Lillahi Raji`un. Rasulullah Muhammad SAW yang sangat disayangi oleh Allah SWT sebagai uswah dan qudwah bagi kita umatnya hanya diberikan amanah jatah hidup kurang lebih 63 tahun, tidak seperti nabi dan rasul sebelumnya hidup dalam rentangan ratusan tahun. Kehiduapan Rasulullah yang berlangsung singkat namun sangat berkualiatas dalam berbagai aspek kehidupan beliau yang sulit dilukiskan ini memberikan pembelajaran kepada umatnya untuk selalu jadikan waktu-waktu hidup yang masih tersisa ini menjadi manfaat dan maslahat untu diri pribadi, keluarga, masyarakat bangsa dan Negara, sehingga pada klimaksnya tinggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatimah yang diridhai oleh Allah SWT dan didoakan oleh semua keluarga, saudara yang masih hidup. Berkait dengan soal sakit dan penyakit ini, Allah SWT tidak menghendaki hamba-Nya membiarkan dirinya ketika sakit, hanya penuh bertawakkal, berserah diri kepada-Nya, akan tetapi diminta, dan bahkan diwajibkan untuk berikhtiar, berusaha maksimal untuk dapat menyembuhkan penyakitnya. Secara khusus Rasulullah SAW meminta kepada sahabatnya dan umatnya untuk berobat ketika sakit, karena setiap penyakit itu pasti ditemukan obatnya. Ketika tidak berikhtiar, maka hamba Allah tersebut dianggap telah menghancurkan dirinya, dan bahkan membunuh dirinya disebabkan oleh sebab sakit dan penyakitnya itu menjadi yang bersangkutan meninggal dunia. Di pihak lain, sakit dan penyakit serta resep obatnya ini menjadi tantangan tersendiri bagi para intelektual dalam bidang ketabiban dan kedokteran untuk menemukan faktor penyebab sakitnya (disebabkan oleh virus, bakteri), atau disebabkan oleh pola makan dan minum yang terlarang, atau ada faktor tekanan psikologis, arau ada intervensi jin/syaitan baik if maupun aktif. Sehingga dengan penyakit ini menjadi hikmah tersenidir, bagi dunia ketabiban dan kedokteran dengan hadirnya Rumah sakit dan juga farmasi yang berkait dengan obat-obatan. Para ulama Islam, semisal: Ibnu Sina (Avicena), dan Ibn Rusyd (Averoes) dengan menulis kitab alkulliyyatnya yang mengurai tentang obat dan pengobatan berdasarkan pesanpesan teks ayat Al-Qur`an dan Hadis Nabi, serta praktek Rasulullah dalam
bentuk tib an-nabawi. Sehingga konsep dan penemuan para ulama Islam, khususnya Ibn Rusyd ini menjadi bahan dan cikal bakal pengembangan dunia kedokteran di Eropa dan dunia modern kini. Adapun solusi untuk mengantisipasi secara prepentif dan mengatasi secara kuratif terhadap penyakit itu, adalah: 1. Orang yang sakit itu mesti jadikan penyakit ini sebagai sebuah hikmah dan muhasabah, untuk terus berhusnuzzan bahwa yang bersangkutan yakin kepada Allah SWT masih memberikan kesempatan untuk sembuh kembali. Pada hakikatnya yang menyembuhkan derita penyakitnya itu adalah Allah SWT. 2. Dengan memperbanyak istigfar atas berbagai kealpaan, maksiat dan dosa yang dilakukan, membaca zikir dan doa yang ma`tsur sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, dengan mengkonsumsi minuman air putih, ikhlas dengan membaca sebelumknya surat alfatihah, yang dikenal dengan surat asy-Syifa (penyembuhan) sebelum meminumnya. 3. Jika masih belum sembuh, konsultasi kepada ahlinya yang berkompetensi dalam bidang ketabiban dan kedokteran untuk berikhtiar baik rawat biasa, maupun rawat inap. Dengan tetap mantapkan semangat husnuzzan Allah SWT akan masih memberi kesempatan swembuh, untuk didayagunakan kesempatan ribadah, dan hal-hal yang positif lainnya. 4. Memilah dan memilih sistem pengobatan yang tidak membawa kepada kemusyrikan dengan mempersyaratkan sesuatu yang tidak rasional dan mengada-ngada (tetapi di balik itu ada penipuan), demikian juga obat yang digunakan adalah obat yang halal, baik yang nabati, maupun yang hewani, yang diproduk dari bahan-bahan yang halal. Diharapkan obat yang dapat menyembuhkan terhadap obyek sebuah penyakit, tidak mempunyai side effect kepada penyakit lainnya. 5. Jika ikhtiar melalui pengobatan dan tersebut dikabulkan oleh Allah SWT sembuh, Insya Allah kesembuhan tersebuhan tersebut akan
disyukuri untuk lebih meningkatkan lagi amal salih, dan ibadah kepada-Nya. Jika tidak sembuh, maka diakhiri kehidupan ini dengan penuh tawakkal dengan disefrtai dengan ikhtiar, dan kembali ke hadirat Allah SWT dalam penuh kepuasan, penuh dengan nilai-nilai kesalehan, dengan membawa predikat "husnul-Khatimah". Amin Ya Rabbal `alamin. Mesjid Raya Pondok Indah, Rabu, 27 Rajab 1432 H Obat dan Kesehatan dalam Perspektif al-Qur’an January 2nd, 2013, 1:50 amNo comment 4689 views
Oleh: Abdul Hakim
Manusia terdiri dari jasmani dan ruhani. Oleh karenanya, menjadi penting bagi umat Islam untuk memahami kesehatan individu dan masyarakat secara holistik, tidak hanya sisi jasmani saja melainkan juga memperhatikan sisi ruhaninya. Hal inilah yang membedakan konsep kesehatan Islam dan Barat. Barat hanya mementingkan sehat dari sisi jasmani saja, sehingga terkesan memperlakukan tubuh manusia sebagai mesin mekanik. Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan informasi tentang pandangan AlQur’an terhadap kesehatan dan obat. Al-Qur’an sebagai panduan hidup umat Islam ternyata juga memberikan penjelasan tentang obat dan kesehatan. Meskipun penjelasannya tidak sedetail buku-buku pengobatan, namun bisa memberikan gambaran secara global tentang pemahaman aqidah yang harus dimiliki oleh pasien, pentingnya usaha preventif dalam mewujudkan kesehatan serta obat-obat yang disebut dalam Al-Qur’an. Pendahuluan Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk bagi umatnya. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas bagi manusia yang mau menggunakan akalnya. Al-Qur’an tidak meninggalkan sesuatu yang kecil
apalagi yang besar kecuali mencatatnya. Tiada satupun perkara baru yang diperbuat manusia, demikian pula ilmu pengetahuan manusia kecuali pasti ada dalilnya di dalam Al-Qur’an. (Jamaluddin, Mubasyir, 2006:35) Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (Q.S. An-Nahl: 89) Terkait dengan obat dan pengobatan, Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan yang sangat rinci tentangnya. Misalnya, Al-Qur’an tidak menjelaskan bahan-bahan apa saja yang bisa digunakan sebagai obat, dan untuk mengobati penyakit apa. Al-Qur’an juga tidak menjelaskan tentang metode-metode pengobatan, atau cara membuat obat dan cara menggunakannya. Hal itu bisa dimaklumi karena Al-Qur’an memang bukan buku farmasi atau buku kesehatan. Al-Qur’an bukan Farmakope atau De Materia Medica. Al-Qur’an bukan buku farmakognosi atau farmakologi. Akan tetapi, Al-Qur’an adalah Kitab Suci yang memberikan panduan bagi umat Islam supaya mereka selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Tentang obat dan kesehatanpun Al-Qur’an memberikan panduan global, arah-arahan sebagai penuntun bagi manusia dalam berinteraksi di bidang tersebut supaya mereka tidak merugi di dunia maupun di akhirat Pembahasan Bahasa Arab obat adalah syifa’. Di dalam al-Qur’an kata syifa’ dan derifatnya digunakan sebanyak 8 kali, yaitu pada QS. 9:14, QS. 26:80, QS. 10:57, QS. 41:44, QS. 16:69, QS. 17:82, QS. 3:103, QS. 9:109. Dari ayat-ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang terkait dengan kesehatan secara umum, penulis menyimpulkan beberapa point tentang obat dan kesehatan dalam perspektif al-Qur’an, yaitu: 1.Penjelasan tentang aqidah. Al-Qur’an menegaskan bahwa yang menyembuhkan orang sakit adalah Allah swt. 2.Penjelasan tentang kebijakan kesehatan masyarakat dan individu. Al-Qur’an memberi gambaran bahwa usaha-usaha preventif (pencegahan) harus lebih didahulukan daripada usaha kuratif (pengobatan). 3.Penjelasan tentang penyakit. Al-Qur’an memberikan gambaran bahwa penyakit digolongkan menjadi dua, yaitu penyakit hati (maa fish-shuduur) dan penyakit badan/jasmani. Oleh karena itu, definisi sehat harus mencakup kedua hal tersebut. 4.Penjelasan tentang obat. Karena penyakit dibagi dalam dua golongan, obat pun dibagi dua golongan yaitu obat penyakit hati dan obat penyakit jasmani. Al-Qur’an menunjukkan bahwa Al-Qur’an dan madu bisa berfungsi sebagai obat. Berikut penjelasan point-point di atas: 1.Al-Qur’an mengingatkan kepada umat Islam bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah swt. Allah-lah yang berkuasa memberi kesembuhan. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (Q.S. AsySyu’ara’: 80) Ayat di atas menegaskan suatu keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, yaitu Allah-lah yang memberi kesembuhan. Di dalam tafsirnya, Al-Maroghi dan Al-Harari mengatakan ketika aku sakit, tidak ada seorangpun selain Allah yang bisa memberiku obat. Tidak juga dokter (al-Maroghi, tt: 19/72; Al-Harari, tt: 20/223). Ayat ini mengandung nilai: a.Mendorong kepada penderita penyakit dan keluarganya untuk tetap optimis akan kesembuhannya dan tidak berputus asa melakukan berbagai usaha serta
berdoa memohon kepada Allah swt untuk memberikan obat atas penyakit yang dideritanya. Allah swt Maha Kuasa sehingga tidak ada satu penyakitpun yang tidak bisa disembuhkan oleh Allah swt. b.Mengingatkan kepada para praktisi kesehatan, bahwa pada hakekatnya yang menyembuhkan penderita dari penyakitnya adalah Allah swt. Mereka hanyalah sebagai perantara bukan pemberi kesembuhan yang hakiki. Allahlah yang menentukan kesembuhan seseorang. Segala sesuatu terjadi hanya atas izin Allah. Dengan demikian, para praktisi kesehatanpun akan selalu memohon kepada Allah untuk memberi kesembuhan kepada pasiennya dan merekapun insya Allah akan terhindar dari sikap sombong dan membanggakan diri. c.Selain itu, ayat di atas juga mengandung nilai bahwa obat dan kondisi sehat merupakan nikmat Allah swt yang harus disyukuri. Al-Maroghi ketika menafsiri ayat di atas menjelaskan bahwa ketika aku sakit, Allah-lah yang memberiku nikmat berupa obat (Al-Maroghi, tt: 19/72). Adapun cara mensyukuri nikmat sehat tersebut yaitu dengan menjaga kesehatan tersebut agar terhindar dari berbagai penyakit, dan menggunakan nikmat kesehatan itu untuk beribadah dan beraktifitas yang selaras dan sesuai dengan aturan dan syari’at Allah swt. Jangan sampai manusia lupa diri akan nikmat sehat tersebut dan menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah swt sebagaimana diperingatkan oleh Allah pada ayat berikutnya. Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa. 2.Preventif didahulukan daripada kuratif. Selama ini, program Pemerintah Indonesia di bidang kesehatan terfokus pada upaya mengobati (kuratif). Hal ini misalnya nampak pada pengalokasian anggaran, di mana sekitar 85 persen anggaran di bidang kesehatan dialokasikan pada upaya penyembuhan. Kebijakan tersebut ternyata berdampak buruk pada angka kesehatan. Prof Does Sampoerno dr MPH, Ketua Kolegium Keilmuan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) berkata, "Kalau kita hanya berkutat pada paradigma kuratif, penyakitpenyakit menular dan berbahaya yang banyak berkembang saat ini tidak akan bisa kita cegah. Kita harus melompat dari paradigma lama ke pola pikir baru. Yaitu bagaimana melakukan upaya promosi, preventif, dan proteksi serta pembangunan yang berkualitas." Menurutnya, program kuratif kerap menyesatkan pemikiran masyarakat yang menganggap semua orang sakit dapat disembuhkan sehingga menjadi sehat. (kesehatan.kompas.com). Di dalam masalah kesehatan, Al-Qur’an lebih banyak menjelaskan tindakan-tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), daripada tindakan pengobatan dan penyembuhan (kuratif). Hal ini harus direnungkan dan menjadi panduan manusia dalam membangun kesehatan individu dan masyarakat. Prof. dr. Hamad Hasan Raqith, PhD menegaskanbahwa secara umum, kesehatan dalam Islam berprinsip pada upaya menjaga kesehatan secara preventif (menjaga kesehatan sebelum sakit). Kemudian setelah itu, Islam menganjurkan pengobatan bagi siapa yang membutuhkan karena sakit. Inilah salah satu prinsip dalam Islam yang sesuai dengan karakteristik, kemampuan dan keadaan fitrah manusia (Raqith, 2007: 36). Ibnu Sina (Avicena, 980-1036) pun berpendapat demikian. Bahwa tujuan pertama ilmu pengobatan adalah untuk menjaga supaya tetap sehat. Ibnu Sina defined medicine –al tibb –as the knowledge of the states of the human body in health and decline in health; its purpose is to preserve health and endeavour to restore it whenever lost (Ebrahim, 1993: 30). Demikian juga Imam Ibn Qayyim al Jauziyyah, menjadikan usaha preventif sebagai prinsip yang pertama dalam pengobatan.
Imam Ibn Qayyim al Jawziyyah points out that the principles of medicine are three, namely, protection of health, getting rid or harmful things, and safeguarding against harm (Ebrahim, 1993: 28). Tindakan-tindakan preventif yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an sebenarnya tidak dijelaskan secara khusus sebagai upaya untuk menjaga kesehatan, namun merupakan bagian ibadah ritual dan panduan hidup keseharian. Namun, justru itulah salah satu kelebihan syari’at Islam, dimana tidak hanya memiliki nilai ibadah namun juga memiliki nilai-nilai yang lain, di antaranya adalah nilai kesehatan. Beberapa ajaran Al-Qur’an yang mengandung nilai preventif di dalam kesehatan (mencegah supaya tidak sakit) adalah: a.Mengikuti aturan dan pola makan yang diajarkan oleh Al-Qur’an, yaitu makan makanan yang halal, baik (higienis), dan tidak berlebihan serta berpuasa dalam waktu-waktu tertentu. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S. Al-A’raf: 31) Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (Q.S. AlBaqarah: 172) Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. (QS. Al-Maidah: 3) b.Menjaga kebersihan tubuh, pakaian dan lingkungan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri (Q.S. Al-Baqarah: 222) Dan pakaianmu bersihkanlah (Q.S. Al-Muddatstsir: 4) Al-Qur’an juga mengajarkan supaya berwudlu dulu sebelum sholat (QS. AlMaidah: 6). Sedangkan bagi wanita yang baru suci dari haid diharuskan untuk mandi. Demikian juga dalam ibadah sholat, di dalamnya juga terdapat gerakan-gerakan tubuh yang sangat baik untuk kesehatan. 3.Al-Qur’an memberikan gambaran bahwa penyakit digolongkan menjadi dua, yaitu penyakit hati (maa fish-shuduur) dan penyakit jasmani. Oleh karena itu, definisi sehat harus mencakup kedua hal tersebut. Ayat yang memberi gambaran adanya penyakit hati adalah: Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta menyembuhkan hati orang-orang yang beriman (QS at-Taubah:14) Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. QS Yunus: 57
Sedangkan ayat yang memberi gambaran tentang penyakit jasmani adalah
¡Dan Tuhanku, yang Dia memberi Makan dan minum kepadaKu (79), dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku (80), dan yang akan mematikanku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (81), (QS 26: 79-81) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang .memikirkan (QS An-Nahl: 69) Di dalam pandangan Islam, di antara kedua penyakit tersebut, penyakit hatilah yang harus diprioritaskan dalam penanganannya. Karena penyakit hati bisa menjadikan penderitanya celaka di dunia dan akhirat. Hal tersebut yang tersirat di dalam kandungan suatu hadits Nabi saw, yang berisi bahwa yang menentukan baik buruknya manusia adalah segumpal darah yang ada dalam dada, yaitu hati. Dengan demikian, sehat dalam perspektif Al-Qur’an mensyaratkan kebebasan manusia dari dua penyakit tersebut. 4.Al-Qur’an selain memaparkan tentang jenis-jenis penyakit, juga memaparkan tentang obatnya. Menurut Al-Qur’an, obat tidak hanya zat yang bisa menyembuhkan penyakit jasmani saja. Akan tetapi zat yang bisa mengobati penyakit hati atau keduanya (penyakit jasmani dan hati) juga disebut sebagai obat. Sebagai perbandingan, definisi obat menurut Ansel adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan. Sedangkan menurut PERMENKES: 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduanpaduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnose, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Chaerunissa, et.al, 2009: 9). Dua definisi obat di atas, obat hanya mencakup pada penyakit jasmani saja. Obat yang disebutkan Al-Qur’an ada dua yaitu Al-Qur’an itu sendiri dan madu. Dalam firman-Nya Allah swt menegaskan bahwa salah satu fungsi AlQur’an adalah sebagai obat. Allah berfirman: Dan Kami turunkan dari Al-Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian (Q.S. AlIsra’: 82) Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh (obat) bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus: 57) Nabi saw bersabda,”Hendaklah kalian melakukan penyembuhan yaitu dengan madu dan Al-Qur’an” (HR. Ibnu Majah). Ali bin Abu Thalib ra berkata, ”Seekor kalajengking menyengat Nabi sedangkan beliau sedang shalat, maka ketika beliau selesai shalat bersabda, ‘Allah melaknat kalajengking yang tidak meninggalkan orang yang shalat dan tidak pada lainnya.’ Lalu Nabi berdoa dengan memakai medium air dan garam, kemudian mengusap luka sengatan tadi sambil membaca Al-Qur’an surah alKafirun, al-Falaq dan an-Nas.” Hadits ini menunjukkan gambaran pengobatan dalam Islam yang memadukan antara pengobatan fisik (materi) dengan ruhani (spiritual). Dan
ulama sepakat akan kebolehan hukum berobat (menggunakan keduanya) untuk segala macam penyakit (Raqith, 2007: 20). Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an selain sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman, juga berfungsi sebagai obat/penyembuh. Dalam posisinya sebagai obat, al-Qur’an memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai obat penyakit jasmani dan sebagai obat penyakit hati. Sebagai obat penyakit jasmani, AlQur’an memiliki dua mekanisme, pertama, ayat Al-Qur’an digunakan untuk mengobati suatu penyakit dengan cara dibacakan atau diperdengarkan. Al-Maraghi ketika menafsiri surat Al-Isra: 82 di atas menjelaskan bahwa orang beriman bisa mengambil manfa’at dari Al-Qur’an dengan cara mendengarkannya (baik dari bacaannya sendiri maupun dari bacaan orang lain_pen.). Sedangkan orang-orang dzalim tidak bisa mengambil manfaat dari Al-Qur’an, karena Allah menjadikan Al-Qur’an sebagai obat dan rahmat hanya untuk orang-orang yang beriman (Al-Maroghi, tt: 13/86). Salah satu pendekatan ilmiah yang bisa menunjukkan bahwa Al-Qur’an bisa digunakan untuk terapi pengobatan adalah menggunakan pendekatan The Healing Power of Sound (pengobatan dengan kekuatan suara). Seorang dokter dari Perancis, dr. Alfred Tomatis, melakukan eksperimen selama 50 tahun seputar indera manusia. Hasilnya menunjukkan bahwa pendengaran adalah indera terpenting bagi manusia keseluruhan (Kahel, 2010: 15). Fabien dan Grimal menemukan bahwa suara berpengaruh terhadap sel-sel, khususnya sel kanker. Juga bahwa ada suara-suara tertentu yang memiliki pengaruh atau efek yang lebih kuat. Yang menakjubkan adalah suara yang paling berpengaruh atas selsel tubuh adalah suara manusia. Fabian juga membuktikan bahwa suara mempengaruhi sel darah, yaitu berpengaruh pada medan elektromagnetik sel tersebut. Fabian menyimpulkan bahwa ada nada-nada tertentu yang mempengaruhi sel-sel tubuh dengan membuatnya lebih aktif dan dinamis, bahkan memperbaruinya. Ia mengajukan tesis penting bahwa suara manusia memiliki pengaruh yang kuat dan unik atas sel-sel tubuh. Pengaruh itu terdapat dalam media-media lainnya. Fabien mengatakan dengan amat ringkas, ”Suara manusia membawa harmoni spirit unik yang menjadikannya media penyembuh yang paling kuat” (Kahel, 2010: 18-20). Penemuan ilmuwan Jepang yang bernama Masaru Emoto memberi gambaran mekanisme suara bisa mempengaruhi tubuh manusia. Ia menemukan bahwa medan elektromagnetik elemen-elemen air sangat terpengaruh oleh suara. Ada beberapa nada tertentu yang memiliki efek terhadap elemen-elemen air dan membuatnya lebih teratur. Sebagaimana diketahui bahwa 70% tubuh manusia terdiri dari air. Karena itu seorang yang mendengar suara-suara tertentu, sel-sel dari elemen air yang ada di tubuhnya akan terpengaruh, yang kemudian akan berpengaruh pada kesembuhannya (Kahel, 2010: 2122). Mekanisme kedua, Al-Qur’an sebagai obat bagi penyakit dada (syifaa ul lima fishshudur) dan sekaligus sebagai obat bagi penyakit badan. Dengan membaca al-Qur’an, dengan mengikuti petunjuk-petunjuknya, dan selalu mengingat Allah yang menurunkan al-Qur’an, orang bisa terhindar dari sifat syirik, dengki, sombong, iri hati dan penyakitpenyakit hati lainnya dan akhirya menjadi tenang, tentram, tidak emosional, tidak mudah marah serta terhindar dari rasa cemas atau khawatir. Kondisi tubuh yang semacam ini, sangat baik untuk meningkatkan daya imun yang ada pada diri manusia sehingga terhindar dari penyakit. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh para ilmuwan menyebutkan bahwa syarat utama agar kelenjar pineal yang ada di pusat otak berfungsi sehingga dapat menghasilkan hormon melatonin ialah hidup tentram demi mencapai kondisi spiritual tertinggi. Oleh karena itu, para ilmuwan menuntun orang-orang non-muslim yang ingin mencapai kondisi spiritual paling tinggi dengan melakukan meditasi (Hambali, 2011: 142).
Dalam pengantar buku Thriving With Heart Disease, seorang pakar jantung dari Rumah Sakit Lenox Hill, New York, menuliskan,”For Total health, you need a healthy mind.” Jadi kesimpulan dari sudut pandang pakar jantung adalah jika ingin seluruh tubuh (terutama jantung) sehat, manusia perlu mempunyai pikiran yang sehat juga yaitu harus bersabar (Hambali, 2011: 114). Madu adalah obat bagi manusia dan satu-satunya obat (selain al- .5 :Qur’an) yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Ayat tersebut adalah Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacammacam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan (Q.S. An-Nahl: 69). Nabi saw juga menganjurkan agar berobat dengan menggunakan madu sebagaimana tercermin dari bunyi hadits, عليكم بالشفائين العسل والقرآن ”Hendaklah kalian melakukan penyembuhan yaitu dengan madu dan Al-Qur’an.” (HR Ibnu Majah). Ibnu Sina (358-415 H atau 980-1037 M), seorang ilmuwan Islam yang namanya dikenal di seluruh dunia hingga masa kini menganjurkan apabila seorang menginginkan badan tetap sehat dan segar maka orang tersebut agar minum madu setiap hari (Hambali, 2011: 103). Madu mengandung banyak sekali unsur pembentuk maupun pengganti jaringan tubuh yang rusak. Bahkan di dalam madu terdapat unsur pembunuh kuman (anti bacterial) yang sangat potensial untuk pencegahan maupun penyembuhan infeksi. Efek antibacterial dari madu ini diperoleh antara lain karena: a.Madu memiliki nilai “osmotic” yang tinggi yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. b.Di dalam madu terkandung enzim (E. Gluko-Oksidase) yang mampu mengkonversi (glukosa + air) menjadi (asam glukonat + H 2O2). Hidrogen peroksida (H2O2) dan asam glukonat itulah yang berfungsi sebagai antibacterial yang sangat potensial. Asam glukonat merupakan senyawa yang sangat mudah larut di dalam selaput membran sel kuman sehingga meningkatkan permeabilitas membrane tersebut dan akan memudahkan terjadinya oksidasi oleh H2O2. Efek antibacterial dari madu ini justru lebih efektif dengan cara mengencerkan madu. Dengan konsentrasi H2O2 yang hanya 0,02 sampai 0,05 m.molekul.per liter, sudah dapat menghambat pertumbuhan kuman dengan sangat efektif dan tidak memiliki efek samping berupa perusakan sel-sel fibroblast pada kulit. Kondisi ini bisa diperoleh dengan pengenceran madu asli antara 9 kali sampai dengan 56 kali pengenceran (Hambali, 2011: 119-121). Di dalam kitab Zadu al-Ma’ad fi Hadyi Khairi al-Ibadi ketika menjelaskan hadits tentang penggunaan madu sebagai obat, dijelaskan bahwa madu diminum disertai air untuk meringankan proses pencernaan pada ludah (Raqith, 2007: 70). c.Madu dengan konsentrasi yang cukup rendah (0,1%) juga dapat meningkatkan jumlah sel limfosit1[2] di dalam darah sehingga keadaan ini dapat menimbulkan peningkatan kemampuan fagositik.
1[2] Limfosit merupakan sel utama dalam system kekebalan manusia dengan menhasilkan senyawa kimia yang disebut perforin yang dapat merusak selaput sel saasaran.
d.Pada konsentrasi yang agak tinggi (1%) madu juga merangsang “monosit” 2[3] untuk melepaskan “sitoksin” yang merupakan Factor Nekrosis3[4] Tumor (TNF), yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi maupun tumor. e.Karena terbentuknya asam glukonat, larutan juga memiliki derajat keasaman yang sangat tinggi (pH 3,2 - 4,5). Keadaan ini akan membantu aksi “makrofag”4[5] untuk menghancurkan bakteri. f.Madu juga mengandung germicidine yang merupakan antibiotic alami yang sangat potensial yang sampai sekarang belum dapat dibuat preparat sintetis yang setara dengannya. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said ra, disebutkan bahwa: فقال.ن رجل أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال أخي يشتكي بطنه أ ن : فقثثال٬م أتثثاه الثالثثثة ث ! عسل اسقه :فقال ٬ الثانية أتى م ث ! عسل اسقه ن ن صثثدق اللثثه وكثثذب بطثثن: فقثثال. قد فعلثثت: فقال٬م اتاه اسقه عسل ! ث ن .أخيك اسقه عسل فسقاه فبرأ “Seseorang mendatangi Nabi saw dan berkata, ‘Sesungguhnya saudaraku sakit perut.’ Nabi-pun bersabda, ‘Minumilah madu!’ Kemudian orang itu daang untuk kedua kalinya dan Nabi bersabda, ’Minumilah madu!’ Kemudian orang itu datang untuk ketiga kalinya dan Nabi bersabda, ‘Minumilah madu!’ Kemudian orang itu mendatangi Nabi untuk keempat kalinya dan berkata, ’Aku telah melaksanakannya’. Nabi bersabda, ’Benarlah Allah dan bohonglah perut saudaramu. Minumilah madu!’ Orang itupun memberi minum madu kepada saudaranya, lalu saudaranya sembuh.” (HR. Bukhari). Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw demikian yakin terhadap kebenaran khasiat madu untuk pengobatan. Walau dengan tiga kali kegagalan penyembuhan, Rasulullah saw masih juga menyuruh sahabatnya itu minum madu untuk keempat kalinya dan ternyata betul sakitnya sembuh. Prof. Nikolai Tsitsin dari Rusia melakukan penelitian terhadap rakyat Georgia yang usia rata-ratanya -banyak yang berusia lebih dari 100 tahun- lebih lama daripada rakyat Rusia, padahal teknologi rakyat Georgia tertinggal dari Rusia. Ternyata penduduk Georgia senang beternak lebah madu sehingga konsumsi madu rakyatnya cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1600 gr/kapita per tahun. Sebagai perbandingan, konsumsi rakyat Indonesia hanya 15 gram/kapita per tahun (Hambali, 2011: 142). Penutup Manusia terdiri dari aspek jasmani dan ruhani. Oleh karena itu dalam memandang kesehatan manusia harus melihat kedua aspek tersebut. Al-Qur’an memberikan panduan yang menarik tentang hal itu, yaitu bahwa dalam kondisi sakitpun manusia jangan sampai melupakan Allah. Bahkan justru Dia-lah sebenarnya Dzat Yang Menyembuhkan.
2[3] Monosit merupakan kelompok sel-sel darah putih (yang diproduksi oleh sumsum tulang belakang) yang termasuk salah satu system kekebalan dalam tubuh. 3[4] Nekrosis adalah kematian sel-sel jaringan tubuh karena berbagai sebab seperti infeksi dan iskemia (atau kekurangan darah). 4[5] Makrofag adalah sel pemangsa yang besar (diameter 21 mikrometer) yang merupakan salah satu jenis sel darah putih yang dihasilkan oleh sumsum tulang belakang.
Selain itu, Al-Qur’an memberikan arahan bahwa seharusnya yang menjadi perhatian utama dalam mewujudkan kesehatan individu maupun masyarakat adalah upaya-upaya yang bersifat preventif, karena manusia pada asalnya adalah dalam kondisi sehat. Namun demikian, tidak berarti meninggalkan upaya kuratif. Al-Qur’an menyebutkan dua hal yang bisa digunakan untuk pengobatan kuratif tersebut, yaitu Al-Qur’an itu sendiri dan madu. []