BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semanggi Air (Marsilea Crenata) Semanggi atau paku bernama ilmiah Marsilea crenata adalah tanaman yang termasuk kedalam famili Marsiliaceae. Merupakan tumbuhan dengan daun berdiri sendiri atau dalam berkas, menjari berbilang 4, tangkai daun panjang dan tegak, panjang 2-30 cm, anak daun menyilang, berhadapan, berbentuk baji bulat telur, gundul atau hampir gundul, dengan panjang 3-22 cm dan lebar 2-18 cm, urat daun rapat berbentuk kipas, pada air yang tidak dalam muncul diatas air. Biasanya di temukan di sawah, selokan dan genangan air dangkal (Sugiman, 2013). Klasifikasi dan identifikasi semanggi air (Marsilea crenata) menurut Haenk (1825) diacu dalam Afriastini (2003), adalah sebagai berikut: Klasifikasi Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Divisi
: Pteridophyta (paku-pakuan)
Kelas
: Pteridopsida
Ordo
: Salviniales
Famili
: Marsileaceae
6
7
Genus
: Marsilea
Spesies
: Marsilea crenata
Gambar 2.1 Semanggi air (Afriastini, 2003) Semanggi air (dapat dilihat pada gambar 2.1) merupakan tumbuhan air yang banyak terdapat di lingkungan air tawar seperti, sawah, kolam, danau, dan sungai. Tumbuhan ini biasanya tumbuh dengan jenis-jenis tumbuhan air lainnya seperti exeng kecil, genjer, rumput air, serta teki alit dll. Tumbuhan ini memiliki beberapa nama seperti jukut calingcingan (Sunda), tapak itek (Malaysia), upatupat (Filipina), chutul phnom (Kamboja), pak vaen (Laos), phak waen (Thailand), dan water clover fern (Inggris). Tumbuhan ini sering dianggap sebagai hama pada tanaman padi namun memiliki nilai kegunaan yang beraneka ragam (Afriastini, 2003). Tumbuhan Marsilea crenata adalah sekelompok paku air (Salviniales) dari marga Marsilea yang di Indonesia mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi saluran irigasi. Morfologi tumbuhan marga ini khas, karena bentuk entalnya yang menyerupai payung yang tersusun dari empat anak daun yang berhadapan. Akibat
8
bentuk daunnya ini, nama “Semanggi” dipakai untuk beberapa jenis tumbuhan dikotil yang bersusunan daun serupa, seperti klover. Semua anggotanya heterospor,memiliki dua tipe spora yang berbeda kelamin. Daun tumbuhan ini (biasanya Marsilea crenata) biasa dijadikan bahan makanan yang dikenal sebagai pecel semanggi, khas dari daerah Surabaya. Semanggi air (Marsilea crenata) diketahui mengandung fitoestrogen (estrogen tumbuhan) yang berpotensi mencegah osteoporesis. Tumbuhan ini juga berpotensi sebagai tumbuhan bioremediasi, karena mampu menyerap logam berat Cd dan Pb. Habitat tumbuhan ini pada tempat yang terkena sinar matahari atau agak rindang pada dataran rendah hingga ketinggian 3000 m dpl. Bagian tanaman yang digunakan adalah seluruh bagian tumbuhan. Kandungan kimia berupa minyak atsiri; saponin; zat samak (Sugiman, 2013). Semanggi air (Marsilea crenata) merupakan salah satu jenis tumbuhan air (Johnson, 2011). Kandungan mineral pada daun dan tangkai semanggi air adalah kalium, fosfor, besi, natrium, kalsium, seng, dan tembaga. Semanggi air juga memiliki kandungan fitokimia seperti alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat, gula pereduksi, dan asam amino (Nurjanah dan Abdullah, 2012). 2.2 Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan S. Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Dapat dilihat pada gambar 2.2) (Madhavi et al.,
9
1985; Maslarova, 2001). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Cook dan S. Samman, 1996).
Gambar 2.2 Struktur kimia C6-C3-C6 (Abdi et al., 2010) Flavonoid terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida, gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid adalah golongan senyawa fenol terbesar sebagai kandungan khas tumbuhan hijau (zat warna alami yang disebut antosianin). Flavonoid ada di seluruh bagian tanaman termasuk pada daun dan tangkai (Kristiono, 2009). Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa aromatik yang termasuk polifenol dan mengandung antioksidan. Zat antioksidan adalah suatu zat yang dapat menghambat atau memperlambat proses oksidasi. Flavonoid sebagai antioksidan berperan dalam menghambat berbagai bentuk ROS sehingga dapat mencegah stres oksidatif pada sel (Brunetti et al., 2013).
10
2.3 Fitoestrogen 1. Pengertian Fitoestrogen Fitoestrogen adalah estrogen lemah yang didapatkan pada tanaman. Istilah fitoestrogen berhubungan dengan beberapa kelas senyawa kimia seperti flavones, flavanones, isoflavones, coumestans, dan lignans. Bila dikonsumsi, fitoestrogen dapat menstabilkan kadar hormon dalam tubuh karena memiliki struktur yang mirip dengan estrogen endogen, tetapi memberikan efek campuran antara efek estrogenik dan efek anti-estrogenik (Raharjo, 2009). Menurut Hideki et al., (2003), Fitoestrogen adalah zat yang terdapat pada tumbuhan dan biji-bijian dengan struktur kimianya mirip estrogen, mempunyai efek estrogenik lemah dan bekerja pada reseptor estrogen. Fitoestrogen berasal dari kata “fito” yang berarti tanaman dan “estrogen” karena memiliki struktur dan aktifitas biologik menyerupai estrogen. Fitoestrogen merupakan tumbuhan yang bersifat non steroid dan berkhasiat serupa hormon estrogen. Tumbuhan golongan fitoestrogen ini disamping banyaknya manfaat dalam pengunaanya juga tidak terlepas dari efek samping yang khususnya disebabkan oleh terganggunya sistem hormon endokrin dengan masuknya zat yang berikatan dengan hormon estrogen endogen tersebut. Sebagai contoh pengunaan Genistein pada masa pranatal dilaporkan bersifat karsinogenik terhadap uterus dari tikus. Data pada binatang umumnya sangat tergantung pada waktu pengunaan, khususnya saat-saat bayi binatang yang dilahirkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki. Selain dari pada itu masalah gangguan reproduksi juga banyak
11
ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari binatang percobaan, tumbuhtumbuhan yang biasa dimakan binatang dan kelompok binatang ganas yang mengunakan atau memakan tumbuhan golongan fitoestrogen dalam jumlah yang banyak. 2. Jenis Fitoestrogen Jenis fitoestrogen adalah isoflavones, coumestans, dan lignans. Isoflavones terutama ditemukan dalam tumbuhan polong, kacang-kacangan seperti kacang kedelai, buncis, kacang panjang, daun semanggi dan produk kedele ( termasuk susu, tahu, tempe, miso, tauco) (Suparman, 2003). Nilai konsumsi fitoestrogen yang dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh sistem pengolahan makanan-makanan yang mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen dapat tercuci dalam air selama pengolahan seperti dalam minuman yang diperoleh saat kopi atau daun teh direbus dalam air (Thompson et al., 2006). Menurut Suparman (2003), Enterodiol dan Enterolactone merupakan hasil metabolisme
dari
lignan
tumbuh-tumbuhan
yaitu
Matairesinol
dan
Sekoisolarisiresinol. Enterodiol dibentuk dengan cara dehidroksilasi dan demetilasi sekoisolarisiresinol oleh mikroflora usus, sedangkan enterolactone selain
dibentuk
dari
matairesinol
juga
dibentuk
dengan
oksidasi
sekoisolarisiresinol oleh mikroflora lumen usus. 3. Efek Estrogenik Fitoestrogen Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus – OH/Hidroksil yang berjarak 11,0-11,5 AO pada intinya, sama persis dengan inti
12
estrogen sendiri. Para peneliti sepakat bahwa jarak 11 AO dan gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrak agar mempunyai efek estrogenik yakni memiliki afinitas untuk menduduki reseptor estrogen. Efek estrogenik akan muncul bila berikatan dengan reseptor estrogen tersebut. Namun ternyata afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen dan diperlukan jumlah yang besar fitoestrogen untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen. Fitoestrogen bersifat estrogenik terhadap metabolisme tulang, arteria koronaria, metabolisme lipoprotein, dan otak, tetapi bersifat antiestrogenik terhadap endometrium dan glandula mamae (Suparman, 2003) Cara kerja fitoestrogen meniru (mimic) aktivitas hormon estrogen dalam tubuh. Estrogen adalah hormon yang berfungsi sebagai molekul sinyal. Prosesnya dimulai dari masuknya molekul estrogen melalui darah kedalam sel dari bermacam-macam jaringan target estrogen. Didalam sel, molekul estrogen mencari reseptor estrogen (RE) untuk berintegrasi. RE mengandung tempat spesifik (spesific site) dimana hanya estrogen atau molekul lain yang berhubungan erat seperti fitoestrogen dapat mengikatnya. Sekali berada intraseluler, molekul estrogen mengikat reseptor protein dan membentuk suatu ikatan ligand-hormone receptor complex (ligand adalah molekul yang mengikat protein pada tempat spesifik). Peristiwa ini dimungkinkan karena molekul estrogen dan reseptornya mempunyai bentuk sama untuk berikatan ibarat kunci yang sesuai dengan lubangnya. Ikatan tersebut memicu proses seluler yang spesifik, “menghidupkan” gen spesifik. Gen ini akan memicu pembentukkan protein untuk metabolism sel.
13
Salah satu responnya yaitu perkembangan uterus untuk persiapan terjadinya kehamilan atau pencegahan kehilangan massa tulang (Suparman, 2003). 2.4 Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Pada umumnya ekstraksi akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia maka akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Ahmad, 2006). Proses pemisahan senyawa dari simplisia dilakukan dengan menggunakan pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu senyawa akan larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Kepolaran suatu pelarut ditentukan oleh besar konstanta dieletriknya, yaitu semakin besar nilai konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin besar. Menurut Ahmad (2006) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut antara lain: 1. Selektifitas, yaitu pelarut hanya melarutkan komponen target yang diinginkan dan bukan komponen lain.
14
2. Kelarutan, yaitu kemampuan pelarut untuk melarutkan ekstrak yang lebih besar dengan sedikit pelarut. 3. Toksisitas, yaitu pelarut tidak beracun. 4. Penguapan, yaitu pelarut yang digunakan mudah diuapkan. 5. Ekonomis, yaitu harga pelarut relatif murah. Menurut Ahmad (2006), proses dari ekstraksi dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang digunakan dan senyawa yang diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana adalah maserasi. Maserasi merupakan perendaman bahan dalam suatu pelarut. Metode ini dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak serta terhindar dari perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan. Secara umum metode ekstraksi dibagi dua macam yaitu ekstraksi tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah melarutkan bahan yang akan diekstrak dengan satu jenis pelarut. Kelebihan dari metode ini yaitu lebih sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama, akan tetapi rendemen yang dihasilkan sangat sedikit. Adapun metode ekstraksi bertingkat adalah melarutkan bahan atau sampel dengan menggunakan dua atau lebih pelarut. Kelebihan dari metode ekstraksi bertingkat ini ialah dapat menghasilkan rendemen dalam jumlah yang besar dengan senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya. Ekstraksi bertingkat dilakukan secara berturut-turut yang dimulai dari pelarut non polar berupa kloroform, selanjutnya pelarut semipolar berupa etil asetat dan dilanjutkan dengan pelarut polar seperti metanol atau etanol (Sudarmadji dkk., 2007).
15
2.5 Tikus Putih (Ratus Norvegicus) Tikus putih yang memiliki nama ilmiah Ratus novergicus adalah hewan coba yang sering dipakai untuk penelitian. Hewan ini termasuk hewan nokturnal dan sosial. Salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup tikus putih dengan baik ditinjau dari segi lingkungan adalah temperatur dan kelembaban. Temperatur yang baik untuk tikus putih yaitu 19°C–23°C, sedangkan kelembaban 40-70 % (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Data taksonomi tikus (dapat dilihat pada tabel 2.1) yang sudah diketahui menurut Sugiyanto (1995), yaitu : Tabel 2.1 Klasifikasi Tikus Putih (Ratus norvegicus) (Sugiyanto, 1995) Taksonomi Tikus Putih Kingdom
Animalia
Filum
Chordata
Klas
Mamalia
Ordo
Rodensia
Famili
Muridae
Subfamili
Murinae
Genus
Rattus
Spesies
Norvegicus
Data tentang fisiologi tikus putih (Rattus norvegicus, L.) menurut Bivin, Crawford dan Brewer (1979), Ringler dan Dabch (1979), Carr dan Krantz (1949), Mitruka dan Rawnsley (1981) dalam Smith (1988) antara lain:
16
Jangka hidup
: 2-3 tahun, ada yang dapat hidup selama 4 tahun
Produksi ekonomi
: 1 tahun
Kehamilan
: 20-22 hari
Umur saat disapih
: 21 hari
Umur ketika dewasa : 40-60 hari Berat lahir
: 5-6 gram
Volume darah
: 57-70 ml/gr
Sel darah merah
: 7,2-9,6 x 106/mm3
Sel darah putih
: 5,0-13,0 x 106/mm3
Trombosit
: 150-460 x 103/mm3
2.6 Trombositopenia Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana trombosit dalam sistim sirkulasi jumlahnya dibawah normal (150.000-350.000/μl darah) (Guyton dan Hall, 2007). Trombositopenia biasanya dijumpai pada penderita anemia, leukemia, infeksi virus dan protozoa yang diperantarai oleh sistem imun (Human Infection Virus, demam berdarah dan malaria). Trombositopenia juga dapat terjadi selama masa kehamilan, pada saat tubuh mengalami kekurangan vitamin B12 dan asam folat, dan sedang menjalani radioterapi dan kemoterapi (Hoffbrand dkk., 2007).
17
Trombositopenia disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah kegagalan produksi trombosit, peningkatan konsumsi trombosit, distribusi trombosit abnormal, dan kehilangan akibat dilusi. Penggunaan obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan trombositopenia, salah satunya adalah kotrimoksazol. Suatu mekanisme imunologis sebagai penyebab sebagian besar trombositopenia yang diinduksi obat (Hoffbrand,dkk., 2007). Selain dari mekanisme tersebut, pada penelitian sebelumnya kotrimoksazol digunakan sebagai obat untuk membuat trombositopenia pada hewan uji mencit (Astukara, 2008). Mekanisme sumbat trombosit sangat penting untuk menutup kerusakan kecil pada pembuluh darah yang sangat kecil, trombosit berperan penting dalam proses ini. Pada pasien trombositopenia terdapat perdarahan baik kulit seperti patekia atau perdarahan mukosa mulut. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme homeostatis secara normal (Guyton dan Hall, 2007). 2.7 Trombopoetin Thrombopoietin (TPO) dengan sinonim megakaryocyte-derived growth factor (MDGF) merupakan hematopoietic growth factor yang berperan penting dalam trombopoisis dan megakariositopoisis normal (Wendling et al., 1998). Thrombopoietin disintesa terutama di hati dan seluruhnya dieskresikan, diperkirakan jumlah produksi TPO oleh hati antara 62-100%. Jumlah produksi yang lebih sedikit ditemukan pada ginjal, otak dan testis. Thrombopoietin bekerja pada sel progenitor hematopoitik dengan meningkatkan pool sel yang
18
bertanggung jawab terhadap pertumbuhan sel megakariosit dan turunannya (Kuter et al., 2007). Pada uji invitro pembentukan koloni unit megakariosit yang dilakukan oleh Wendling et al., (1998), TPO berdampak terhadap proliferasi sel progenitor megakariosit, dan memiliki berbagai efek terhadap megakariosit matang, antara lain meningkatkan jumlah sel dan ukuran megakariosit, dan meningkatkan ekskpresi marker spesifik permukaan trombosit. Secara invivo menurut Khaushansky et al., (2010), TPO meningkatkan jumlah trombosit tikus 4 kali lipat, 3-5 hari setelah pemberian. Sedangkan pada manusia pemberian TPO pada sukarelawan yang sehat terjadi peningkatan jumlah trombosit 5 hari setelah pemberian dan mencapai puncak setelah 12-14 hari (Kuter et al., 2007). Thrombopoietin berikatan dengan reseptornya dan mengaktifkan jalur JAK (Janus Kinase) dan STAT (Signal Transuducer and Activator of Transcription) yang selanjutnya menstimulasi pertumbuhan megakariosit dan produksi trombosit. Pada keadaan fisiologis, TPO secara konstan diproduksi dan memasuki sirkulasi, ketika TPO berikatan dengan reseptor TPO di megakariosit dan trombosit, kemudian TPO akan masuk dan dihancurkan. Pada situasi dimana produksi trombosit menurun atau massa megakariosit menurun, kadar TPO disirkulasi akan meningkat dalam usaha untuk meningkatkan produksi trombosit. Tidak ada sistem sensor oleh massa trombosit sebagaimana massa eritrosit mengatur produksi eritropoitin oleh ginjal (Kuter et al., 2007). Studi eksperimental
trombositopenia
diinduksi
kemoterapi
pada
binatang
mengindikasikan terdapatnya hubungan terbalik antara jumlah trombosit di
19
sirkulasi dengan kadar TPO. Hal ini mendukung konsep bahwa trombosit berikatan dengan trombopoetin (Folman, 2008). 2.8 Trombosit 1. Pengertian Trombosit Trombosit adalah sel darah yang berperan penting dalam hemostatis. Trombosit melekat pada lapisan endotel pembuluh darah yang robek (luka) dengan membentuk plug trombosit. Trombosit tidak mempunyai inti sel, berukuran 1-4µ, dan sitoplasmanya berwarna biru dengan granula ungu kemerahan (Kiswari, 2014). Trombosit merupakan devirat dari megakariosit, berasal dari fragmenfragmen sitoplasma megakariosit. Granula trombosit mengandung faktor pembekuan darah, adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATP), kalsium serotonin, serta katekolamin. Sebagian besar diantaranya berperan dalam merangsang mulainya proses pembekuan darah. Umur trombosit sekitar 10 hari (Kiswari, 2014). 2. Pembentukan Trombosit Trombosit berasal dari fragmentasi sitoplasma megakariosit, suatu sel muda besar yang berada dalam sumsum tulang. Megakariosit matang ditandai oleh proses replikasi endomiotik inti dan makin besarnya volume plasma, sehingga pada akhirnya sitoplasma menjadi granular dan terjadi pelepasan trombosit. Setiap megakariosit mampu menghasilkan 3000-4000 trombosit, waktu dari diferensiasi stem cell sampai dihasilkan trombosit memerlukan waktu sekitar
20
10 hari. Umur trombosit pada darah perifer adalah 7-10 hari (Kiswari, 2014). Jumlah trombosit pada tikus putih normal sebesar 150-460x103/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). 3. Fungsi Trombosit Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respons hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsinya (Putra, 2012). 2.9 Limpa Limpa adalah organ limfoid sekunder yang berfungsi sebagai tempat memproduksi limfosit, menyaring dan menghancurkan sel darah merah yang tua dan rusak, menjerat benda asing, menghancurkan bakteri dan virus dan pada masa fetal, limpa adalah hematopoiesis aktif (Samuelson, 2007). Struktur utama limpa terdiri atas dua bagian. Satu bagian untuk penyimpanan eritrosit dan penjeratan antigen, yang disebut pulpa merah. Satu bagian lagi untuk mekanisme tanggap kebal, yaitu pulpa putih. Keterkaitan antara pulpa merah dan pulpa putih didasarkan atas penyebaran pembuluh darahnya. Pembuluh yang masuk ke limpa berjalan memasuki limpa berjalan mengikuti trabekula
muskularis
memasuki
daerah
fungsionalnya.
Segera
setelah
meninggalkan trabekula, tiap arteriol dikelilingi oleh limfoid yang disebut Periarteriolar Limfoid Sheat (PALS). Arteriol ini bermuara secara langsung atau
21
tidak langsung, ke dalam sinus yang menyalurkan ke venula limpa. Di sekitar PALS tersebar folikel primer yang kaya akan sel limfosit B. Jika terjadi rangsangan antigen, folikel ini membentuk folikel sekunder menjadi germinal center. Setiap folikel kelilingi oleh selapisan sel limfosit T yang disebut zona mantel. Pulpa putih dan pulpa merah dipisahkan oleh sinus pembatas, yaitu suatu selubung retikulum dan satu zona pembatas yang terdiri atas sel fibroblastik reticulum (Tizard, 2004).
Gambar 2.3 Gambaran Histologi Limpa Normal (a) Arteri trabekularis; (b) Vena Centralis; (c) pulpa putih; (d) folikel limfoid sekunder; dam arah panah menunjukkan pulpa merah (Vaughan, 2002). Menurut Matheos (2013), gambaran histologik yang sesuai dengan limpa normal (dapat dilihat pada gambar 2.3), yaitu pulpa merah (pulpa rubra) yang terdiri dari sel makrofag, sel plasma, dan elemen darah; dan pulpa putih (pulpa alba) yang terdiri dari limfosit yang tersusun padat di dalamnya dan arteri sentralis pada bagian tengahnya. Menurut Wangko (2008), Limpa mengandung banyak makrofag dan merupakan tempat pembentukan limfosit aktif dan antibodi.
22
Adanya kontak erat antara sel-sel ini dalam sirkulasi darah sangat berperan dalam per-tahanan tubuh terhadap mikroorganisme, partikel asing, sel abnormal dan dalam mengeluarkan eritrosit tua atau abnormal. Jadi, limpa merupakan organ penting tem-pat sel imun berkonfrontasi dengan mikroba asing dan filter darah yang sangat efektif. Menurut Ganong (2008), sepertiga trombosit darah tersimpan pada limpa, yaitu pada pulpa merah limpa. Menurut Steiniger (2006), Pulpa merah limpa (dapat dilihat pada gambar 2.4) terdiri dari splenic cord dan splenic sinusoid. Splenic cord juga dapat dikatakan sebagai bagian yang terbuka dalam sirkulasi limpa, yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang berisi limfosit, sel plasma, makrofag, granulosit, sel darah merah dan trombosit.
Gambar 2.4 Gambaran histologi pulpa pada limpa Splenic Sinusoid (SS); Central Arteria (CA); Marginal Zone (MZ); Pulpar Vein (PV); Splenic Nodule (SN); Pulpa Merah (RP); dan Pulpa Putih (WP) (Krstic, 1991). Menurut Krstic (1991), pulpa merah terdiri dari :
23
Splenic sinusoid. Sinusoid limpa terdiri dari pembuluh darah yang terjalin dengan jaringan ikat. Fungsi dari splenic sinusoid ini sebagai kapiler yang membawa darah. Hubungan antara kapiler ini melalui saluran-saluran kolateral yang didukung dengan sel retikular dan reticular fibers (RF). Splenic Cord. Merupakan corda yang ada pada limpa. terdiri dari sinus-sinus yang fungsinya menyerupai vena dan berisi darah serta saluran jaringan limpa. Merupakan jaringan terbanyak pada retikulosit selain splenic sinusoid. Zona Marginal. Zona marginal terletak diantara pulpa merah dan putih, terdiri atas sinusoid dan kapiler. Sel-sel yang terdapat pada zona marginal diantaranya makrofag, sel plasma, sel T dan B. Menurut Kiswari (2014), ada empat tugas utama limpa yang berhubungan dengan viabilitas eritrosit dan kemampuan imunologis. Reservoir. Sebagai reservoir atau penyimpanan. Limpa berfungsi sebagai “pelabuhan” dari sepertiga massa trombosit yang beredar dan sepertiga dari massa granulosit yang dapat dimobilisasi ke dalam sirkulasi perifer bila diperlukan. Apabila limpa pecah atau terkena trauma, sejumlah besar trombosit tumpah ke dalam sirkulasi perifer, hal ini menyebabkan terjadinya kerentanan terhadap aktivitas pembekuan, karena trombosit berfungsi sebagai katalis untuk hemostasis. Filtrasi. Limpa memiliki mekanisme unik, yaitu inspeksi untuk setiap eritrosit dan trombosit yang mengalami kelainan. Eritrosit tua yang telah kehilangan elastisitas dan deformabilitasnya, yaitu pada hari-hari terakhir masa hidupnya,
24
akan difagosit oleh limpa. Bilirubin, zat besi, dan produk samping globin dilepaskan ke dalam plasma dan sirkulasi setelah proses penghancuran, yang kemudian akan didaur ulang. Eritrosit dengan benda inklusi (Howell Jolly body, Heinz body, Pappenheimer body, dll) secara selektif akan dilisis tanpa merusak integritas eritrosit normal yang masuk kembali ke dalam sirkulasi. Salah satu peran penting limpa adalah peran imunologi, yaitu sebaga organ limfoid sekunder terbesar. Limpa berperan penting dalam mendukung aktivitas fagositik pada proses enkapsulasi organisme, misalnya
Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Limpa menyediakan opsonizing antibody, yaitu zat yang mempengaruhi kapsul pada permukaan bakteri. Setelah bakteri dalam keadaan tidak berkapsul, maka lebih rentan terhadap sistem fagositik retikuloendotelial (RES) dan kurang mampu untuk menyebabkan infeksi pada hospes. Tanpa adanya limpa yang berfungsi dengan baik, maka dapat menyebabkan konsekuensi serius, termasuk kematian, terhadap individu yang terinfeksi. Meskipun benar bahwa prosedur plenoktomi mungkin memberikan manfaat hematologi untuk pasien yang memiliki masalah limpa, namun individu yang tidak memiliki limpa akan memiliki resiko lain, seperti yang telah diuraian sebelumnya. Sebagai organ dari sistem hematopoetik, limpa memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang sangat besar. Jika diputuskan untuk melakukan pengambilan limpa dan harus berhati-hati dalam menangani pasien yang tidak mempunyai limpa.
25
2.10 Pengaruh Flavonoid (Isoflavon) Terhadap Trombosit Flavonoid dapat mengalami modifikasi berupa hidroksilasi, metoksilasi, alkilasi, dan glikosilasi yang merupakan faktor penting dan berperan terhadap tingginya
bioaktivitas. Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah
gugus hidroksil ataupun mengikat gula, oleh karena itu flavonoid umumnya larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol. Flavonoid dapat digunakan sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel terhadap efek kerusakan oleh oksigen reaktif. Flavonoid juga dapat mempengaruhi kenaikan jumlah trombosit dan memiliki bioaktivitas sebagai anti kanker, anti virus, anti bakteri, anti peradangan dan anti alergi (Sudaryono, 2011). Menurut Sudaryono (2011), pernah dilakukan penelitian pada daun jambu biji dalam meningkatkan kadar trombosit. Daun jambu biji mengandung kuersentin (dari golongan flavonoid) yang dapat menaikkan jumlah trombosit karena terkandung asam amino serin dan threonin yang mampu membentuk trombopoetin yang berfungsi dalam proses maturasi megakariosit menjadi trombosit. Trombopoetin merupakan hormon yang diproduksi oleh hati, dapat menstimulasi pembentukan trombosit. Trombopoetin berkaitan dengan trombosit yang bersirkulasi dalam darah. Jika jumlah trombosit dalam darah cukup, maka jumlah trombopoetin dalam serum tetap rendah, tetapi jika jumlah trombosit menurun, maka jumlah trombopoetin bebas yang bersirkulasi lebih banyak dan dapat meningkatkan produksi trombosit oleh sumsum tulang belakang.
26
Menurut Damayanti (2013), pemberian ekstrak etanol daun ubi jalar (mengandung flavonoid) pada berbagai dosis menunjukkan peningkatan jumlah trombosit yang berbeda secara bermakna. Pemberian ekstrak dosis 25 mg/kg BB dan 50 mg/kg BB tidak menunjukkan peningkatan jumlah trombosit yang berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol positif, namun tedapat perbedaan bermakna pemberian ekstrak dosis 100 mg/kg BB dibandingkan kontrol positif. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak etanol daun ubi jalar dengan dosis 25 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB memiliki aktivitas peningkatan jumlah trombosit yang sebanding dengan kontrol positif dan ekstrak dosis 100 mg/kg BB memberikan aktivitas peningkatan jumlah trombosit yang lebih tinggi dibandingkan kontrol positif (kuersetin). Hal tersebut diduga karena tidak hanya senyawa kuersetin yang memiliki aktivitas dalam meningkatkan jumlah trombosit tetapi juga senyawa golongan flavonoid dan tanin yang mampu bekerja secara sinergis dalam meningkatkan jumlah trombosit. Flavonoid dan tanin diduga memiliki aktivitas meningkatkan trombosit melalui mekanisme rangsangan terhadap GM-CSF dan IL-3 yang dapat memicu pembentukan sel megakariosit serta memiliki efek dapat memperkuat limpa. Namun untuk membuktikan aktivitasnya beserta mekanisme kerja senyawa tersebut, diperlukan penelitian yang lebih lanjut menggunakan fraksi ataupun isolat. Menurut Zahroh (2013), buah kurma yang memiliki kandungan flavonoid (isoflavon) yang tinggi dapat menghambat aktivitas enzim hialuronidase dalam sumsum
tulang.
Asam
hialuronat
yang
tidak
mengalami
penguraian
(Depolimerisasi) ini akan berikatan dengan reseptor CD4 dan menstimulasi
27
pelepasan IL-6, selanjutnya IL-6 akan merangsang proliferasi dan mempercepat proses maturasi megakariosit sehingga produksi trombosit meningkat dalam darah. 2.11 Pengaruh Flavonoid (Isoflavon) Terhadap Megakariosit Limpa Isoflavon merupakan fitoestrogen alami yang bekerja sama dengan hormon estrogen di dalam tubuh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh George et al., (1983), pemberian injeksi estrogen sebanyak 0,2 mg dapat meningkatkan jumlah megakariosit pada limpa dan sumsum tulang dibandingkan dengan pemberian progesteron dan testosteron yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Peningkatan megakariosit juga terjadi selain pada perlakuan injeksi estrogen, tetapi juga terdapat pada tikus yang bunting. Peningkatan hormon estrogen terjadi seiring dengan peningkatan umur kebuntingan.
Gambar 2.5 Gambaran Histopatologi Megakariosit pada Pulpa Merah Limpa Tikus yang diinduksi Estrogen (a) hari ke-0; (b) hari ke-35; (c) hari ke-150 (George et al., 1983)
28
Menurut Sudaryono (2011), pemberian flavonoid (isoflavon) padat mempengaruhi peningkatan trombosit serta megakariosit. Menurut George et al., (1983) Peningkatan megakariosit dan trombosit terjadi pada limpa dan sumsum tulang. Peningkatan megakariosit dapat distimulasi oleh trombopoetin bebas. Menurut Wendling et al., (1998), trombopoetin (TPO) dengan sinonim megakaryocyte-derived growth factor (MDGF) merupakan hematopoietic growth factor yang berperan penting dalam trombopoisis dan megakariositopoisis normal. Flavonoid (isoflavon) akan mempengaruhi peningkatkan trombopetin bebas yang akan menstimulasi peningkatan megakariosit.