Etika Keperawatan 6e4p6m

ESSAY DILEMA PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK PADA AKHIR KEHIDUPAN PASIEN : RESUSITASI VS TIDAK RESUSITASI Untuk Memenuhi Mata Kuliah Etika dan Hukum Keperawat Dosen Pengampu: Ns. Setyoadi, M.Kep, Sp.Kep.Kom

Oleh: KELOMPOK I Manggar Purwacaraka Ryan Dwi Zulkifli B Pomalango Apriyani Debby Hatmalyakin Nurul Fahmi Badrul Munif Maulidah Gardha Rias Arsy Indari Ni luh Sri Wahyuni Kurnia Laksana Yessi Kornitasari Anggun Setyarini

: 176070300111001 : 176070300111005 : 176070300111010 : 176070300111014 : 176070300111019 : 176070300111023 : 176070300111028 : 176070300111043 : 176070300111036 : 176070300111032 : 176070300111038 : 176070300111047 : 176070300111052 : 176070300111053

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN PEMINATAN GAWAT DARURAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

KATA PENGANTAR

Untaian syukur senantiasa kami sampaikan kehadirat Illahi Robbi-Sang penguasa alam, karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga pembuatan essay kami yang berjudul “Dilema Pengambilan Keputusan Etik Pada Akhir Kehidupan Pasien : Resusitasi V.S Tidak Resusitasi” dapat diselesaikan walaupun masih ada kekurangan. Esai ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama, membahas tentang paparan masalah yang dihadapi perawat terkait dengan pengambilan keputusan resusitasi v.s. tidak resusitasi pada end-of-life (akhir kehidupan pasien). Bagian kedua berisi pembahasan. Bagian ketiga dan keempat berisi kesimpulan dan saran. Terima kasih kami sampaikan kepada Ns. Setyoadi,S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kom selaku dosen dan koordinator mata kuliah etika dan hukum keperawatan, yang telah memberikan ilmu dan pemahaman kepada tim penulis mengenai dilema etik dan pengambilan keputusannya. Terimakasih juga kepada Dr. Ahsan, S.Kp.,MKes. yang telah membimbing kami dalam membuat essay ini sehingga dapat bermanfaat bagi perawat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Akhirnya, besar harapan kami semoga essay ini dapat bermanfaat khususnya bagi tim penulis dan umumnya bagi para pembaca. Kami sadar bahwa essay ini jauh dari sempurna. Maka kritik dan saran yang membangun, guna memperbaiki essay ini sangat kami harapkan.

Malang, 16 April 2018 Tim Penyusun

DILEMA PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK PADA AKHIR KEHIDUPAN PASIEN : RESUSITASI V.S TIDAK RESUSITASI

LATAR BELAKANG Etika adalah suatu ilmu yang sangat penting didalam dunia kesehatan. Setiap hari perawat akan menghadapi berbagai masalah etika. Banyaknya waktu yang dihabiskan perawat bersama pasien dibandingkan dengan petugas kesehatan yang lain memungkinkan perawat untuk lebih mengetahui penderitaan pasien dan menjadikan perawat akan banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga menjadi hal yang krusial bagi profesional perawat untuk memahami masalah etika, memiliki kemampuan untuk menerapkan rasionalisasi moral terhadap masalah tersebut dan untuk mengembangkan keterampilan membuat keputusan etis (Cerit & ̧Leyla, 2012). Berdasarkan International Council of Nurses, (ICN) (2017) Keperawatan, sebagai bagian integral dari sistem perawatan kesehatan, mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan perawatan fisik, sakit jiwa, dan orang cacat pada semua tingkat usia, semua jenis perawatan dan pada semua lingkup komunitas. Secara singkat keperawatan dapat juga didefinisikan sebagai profesi yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan caring (Cerit & ̧Leyla, 2012). Untuk melaksanakan caring ini perawat bukan hanya sekedar membutuhkan pengetahuan teoritis dan keterampilan namun juga memerlukan kesadaran pada kerentanan orang lain, perhatian pada kebutuhan perawatan dan memiliki respon moral yang baik pada kebutuhan pasien. Dikatakan pula bahwa keamanan pasien dan kesejahteraan pasien tidak hanya ditentukan oleh kehebatan perawat dalam pengetahuan dan keterampilan klinik, tetapi juga sangat bergantung pada kemampuan petugas kesehatan dalam mengambil keputusan etik (Park 2012). Dilema etik dapat dijumpai saat tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat mendapatkan pasien yang berada pada kondisi terminal dan mendekati akhir kehidupannya (end of life) atau mengalami tanda-tanda kematian. Meskipun kematian adalah hal yang alami bagi manusia, namun bila kematian ini terjadi pada pasien yang dirawat di RS maka akan dilakukan penyelamatan oleh tim code blue, keluarga akan menunggu di luar ruang perawatan, dan resusitasi yang agresif segera diberikan (Brewer, 2008; Marco, 2005). Petugas akan berusaha memfasilitasi dan melakukan komunikasi dengan pasien dan petugas kesehatan lain untuk menentukan pilihan-pilihan tindakan di akhir kehidupan pasien. Disinilah terkadang muncul dilema etik terjadi. Perawat dan dokter harus mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat apakah seorang pasien benar-benar perlu dilakukan resusitasi ataukah tidak?. Apakah semua pasien henti jantung dan napas harus di resusitasi? Bagaimana dengan pasien yang sudah lanjut usia atau pasien dengan riwayat penyakit kronik yang sudah lama menderita atau pasien dengan keganasan stadium akhir yang angka harapan hidupnya rendah, haruskah

mereka di resusitasi atau dibiarkan meninggal dengan damai? (Nordby & Nøhr, 2012). Selain isu withholding (dilakukan) atau withdrawl (tidak dilakukan) resusitasi, isu etik lain yang terkait dengan prosedur ini adalah dilema futilitiy (kesia-siaan), monopoli sumber daya, kehadiran keluarga, informed consent permintaan untuk tidak diresusitasi dan komunikasi perawat-keluarga-tim kesehatan lain (Assarroudi, Nabavi, Ebadi, & Esmaily, 2017; Marco, 2005; Nordby & Nøhr, 2012). Isu futility dihubungkan dengan keberhasilan resusitasi yang diindikasikan dengan berhasilnya pasien untuk kembali survive hingga keluar rumah sakit. Banyak penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan resusitasi sangat rendah hanya 17% dari dari 14.270 kasus cardiac arrest (Brewer, 2008). Meskipun resusitasi berhasil, itu hanya dapat menyelamatkan pasien untuk waktu yang sangat singkat (Nordby & Nøhr, 2012). Tingginya biaya yang dikeluarkan untuk sebuah resusitasi dengan keberhasilan yang belum pasti juga dianggap sebagai kesia-siaan dan tidak mendukung prinsip beneficiene serta nonmaleficiene (Marco, 2005). Prosedur ini juga sering memonopoli sumber daya baik tenaga kesehatan maupun sarana yang ada, sehingga bila ada banyak pasien yang lain dapat menunda perawatan. Informed consent dan kehadiran keluarga seringkali terabaikan bila kondisi pasien sangat kritis dan membutuhkan penangan segera sementara petugas tidak memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan mengenai perlunya resusitasi ini (Assarroudi et al., 2017; Brewer, 2008; Marco, 2005). Perintah untuk tidak melakukan RJP atau sering disebut “Do not attempt cardiopulmonary resuscitation” (DNAR) atau “Do not Resuscitation” (DNR) telah memicu perdebatan pada area praktik klinis yang seringkali penuh dengan tantangan akan hukum dan etika. Dokter merasa enggan dan ragu untuk melakukan DNR pada keluarga pasien yang sedang tertekan atau keluarga pasien yang sering mengeluh. (Fritz, Slowther, & Perkins, 2017; Pitcher, Fritz, Wang, & Spiller, 2017). Kondisi-kondisi diatas merupakan dilema etik yang akan dijumpai oleh perawat dan dokter dalam suatu resusitasi yang akan dilakukan. Kondisi lain adalah apabila pasien yang berada pada akhir kehidupannya dimana upaya pengobatan sudah sulit menampakkan hasil yang baik, dan pasien menyatakan harapannya untuk meninggal dengan tenang dan menolak untuk diresusitasi (Nordby & Nøhr, 2012). Keterlibatan perawat secara aktif dalam membuat keputusan etis, dapat mempengaruhi peran sebagai seorang perawat dan juga mempengaruhi perawatan yang diberikan kepada pasien (Chaloner, 2007). Pemahaman perawat mengenai prinsip-prinsip etik seperti autonomy, beneficience, nonmaleficience dan justice, akan membantu perawat untuk dapat mempertimbangkan dan memilah prinsip yang boleh dan bertentangan dalam pengambilan keputusan. Adanya prinsip tersebut menjadi acuan perawat dan pasien terhadap keputusan yang diambil. Mana yang baik untuk dilakukan, apakah berisiko, bagaimana konsekuensi.

Dengan kata lain, prinsip etik adalah landasan bagi perawat untuk memutuskan suatu tindakan. Prinsip etik juga menjadi salah satu persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan dan pemberian pelayanan asuhan keperawatan yang professional (Dalami, 2010). TUJUAN Tujuan Umum: Tujuan umum penulisan essai ini adalah untuk membantu perawat agar mampu mengambil keputusan etik dengan tepat. Tujuan Khusus: Tujuan khusus dari essai ini yaitu : 1. Perawat dapat memahami tentang dilema etik. 2. Perawat mampu mengambil keputusan etis atas dilema etik yang dialami. 3. Perawat mampu menjalankan fungsinya sebagai pengambil keputusan etik. MANFAAT 1. Bagi perawat : Perawat sebagai perawat profesional mampu menjalankan perannya dengan memahami dan melakukan pengambilan keputusan etik secara tepat. 2. Bagi Rumah Sakit Masalah dilema etik yang terjadi di rumah sakit dapat terselesaikan dengan baik. PEMBAHASAN a. Identifikasi masalah Perawat maupun dokter adalah profesi yang memiliki pengetahuan dalam melakukan penilaian secara profesional terhadap kondisi pasien. Terkait dengan kewajiban etiknya, perawat dan dokter akan menggunakan efidance base nya dalam menilai apakah kondisi pasien layak untuk diberikan resusitasi atau tidak. Berdasarkan contoh kasus diatas, maka dapat dilihat bahwa tingkat survival pasien sudah sangat rendah. Saat ini dilema etik akan dihadapi sebagai suatu hal yang harus didiskusikan lebih lanjut dengan keluarga sehingga dapat memberikan keputusan yang terbaik. Dilema etik merupakan suatu kondisi yang melibatkan keluarga dalam diskusi tentang masalah akhir kehidupan yang memungkinkan keputusan yang tepat dibuat dan membantu memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam memahami situasi tersebut. Keputusan yang diambil melibatkan perbedaan prinsip, perasaan, dan kepercayaan pribadi tentang apa yang baik dan benar. Sletteboe (1997) dalam Jeannie (2007) menyatakan bahwa dilema tertidiri dari 5 elemen yaitu: kesadaran terhadap alternatif pilihan, alternatif pilihan sama- sama

tidak menarik, keterlibatan, kebutuhan akan pilihan dan ketidakpastian tindakan. Dalam menganalisi sebuah dilemma, elemen ini akan digunakan dalam mempertimbangkan keputusan yang diambil. b.

Langkah-langkah penyelesaian

Keterlibatan perawat secara aktif dalam membuat keputusan etis, dapat mempengaruhi peran sebagai seorang perawat dan juga mempengaruhi perawatan yang diberikan kepada pasien (Chaloner, 2007). Kemampuan dalam membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu hal yang perlu memperhatikan nilai dan kepercayaan pribadi, konsep moral perawatan, dan kode etik keperawatan. Adapun nilai dan etik dalam keperawatan meliputi, otonomi (Autonomy), Beneficience, keadilan (Justice), tidak merugikan (Non maleficience), kejujuran (Veracity), menepati janji (Fidelity), karahasiaan (confidentiality), Akuntabilitas (abiliy). Hal ini menjadi salah satu persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktik keperawatan dan pemberian pelayanan asuhan keperawatan yang professional (Dalami, 2010). Prinsip etika pertama, yakni autonomy. Prinsip ini mengartikan bahwa semua pasien dan keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pilihan terhadap tipe perawatan yang mereka inginkan yang termasuk didalamnya prosedur, perawatan dan penolakan pada beberapa tindakan medis (Hunt, 2015). Perawat menerapkan dan menghormati prinsip autonomy pasien ketika ia memberikan kesempatan pasien untuk mengambil tanggung jawab terhadap perawatannya sendiri. Termasuk tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP), harus mempertimbangkan etik dan norma-norma budaya. Di Amerika Serikat sebagian besar pegambilan keputusan lebih ditekankan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada otonomi penyedia layanan kesehatan yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan, sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat mendominasi tentang keputusan penyedia layanan. Sehingga dalam memberikan suatu tindakan dan mengambil sebuah keputusan dengan memberikan penjelasan kepada pasien mengenai kondisi penyakitnya, dampak yang timbul ketika tindakan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan dan proses perawatan yang diterima, sehingga pasien bebas untuk menentukan keputusannya mengenai proses kesehatan yang akan dia jalani, semua itu menjadi jelas dan tidak merugikan pasien itu sendiri. (Bernhofer, 2012). Prinsip kedua adalah nonmaleficience, dalam hal ini perspektif perawat yaitu tidak membahayakan kondisi dari pada pasien yang dirawat. Seperti senantiasa memantau kondisi pasien, jika memburuk segera memberikan pertolongan yang tepat. RJP menjadi berbahaya dan bersifat merusak ketika risiko kerusakan otak relatif tinggi. Ketika terjadi gangguan aliran darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan organ yang lebih berat, RJP dapat dikatakan berhasil jika dilakukan dengan waktu yang tepat. Dari hasil penelitian didapatkan harapan

hidup melebihi 80% pada pasien yang diberikan tindakan RJP dengan waktu dan prosedur yang tepat, akan tetapi angka ini menjadi lebih buruk bahkan kurang dari 6% ketika tindakan RJP dilakukan lebih dari 6 menit setelah serangan atau ketika pasien tersebut tidak dilakukan RJP (Byrd & Winkelstein, 2014). Prinsip ketiga adalah Beneficience adalah prinsip etis diartikan sebagai tindakan untuk pemulihan kesehatan, serta meringankan rasa sakit dan penderitaan. Dalam prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan tindakan yang menguntungkan bagi pasien dan sesuai kebutuhan perawatan pasien (Kennedy, 2004). Seperti dalam hal melakukan RJP, perawat memberikan tindakan sesuai dengan prosedur yang ada dan memberikan penjelasan mengenai kondisi kesehatan pasien kepada keluarga pasien. Senantiasa meminta persetujuan pasien dan keluarga dalam memberikan pelayanan, dengan menjadikan informed consent, sebagai dasar dan tanda bukti tindakan yang diterima ataupun tidak oleh pasien (Miller & Colloca, 2011). Prinsip keempat adalah justice yang artinya perawat dituntut untuk memberikan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Perawatan yang diberikan sesuai dengan standar praktik keperawatan secara profesional dan sesuai dengan aturan yang berlaku (Byrd & Winkelstein, 2014). Selanjutnya prinsip kelima yakni veracity atau kejujuran. Kebenaran menjadi suatu hal yang harus disampikan perawat kepada pasiennya. Terkait dengan informasi yang disampaikan kepada pasien harus akurat, komprehensif dan obyektif, sehingga pasien mengerti dan paham mengenai keadaan dirinya (Fjetland & Søreide, 2010). Dengan mengidentifikasi prinsip-prinsip etik di atas, diharapkan perawat dapat mempertimbangkan dan memilah prinsip yang boleh dan bertentangan dalam pengambilan keputusan. Adanya prinsip tersebut menjadi acuan perawat dan pasien terhadap keputusan yang diambil. Mana yang baik untuk dilakukan, apakah berisiko, bagaimana konsekuensi. Dengan kata lain, prinsip etik adalah landasan bagi perawat untuk memutuskan suatu tindakan. Setelah penentuan prinsip etik yang digunakan, selanjutnya mengidentifikasi dan menganalisa prinsip etik yang digunakan dalam pengambilan keputusan etik. Dalam pengambilan keputusan etik mengikutsertakan pasien, keluarga, ataupun profesi lain yang terkait dalam pengambilan keputusan etik. Keputusan etik bersifat situasional, namun tidak dapat serta merta diputuskan sendiri oleh perawat. Keterlibatan pasien dan keluarga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak pasien. Penghormatan tersebut terkait dengan hak pasien untuk mengetahui dan memutuskan sendiri atau autonomi. Dengan melibatkan pihak lain, diharapkan keputusan etis yang diambil adalah keputusan terbaik yang menguntungkan pasien. Langkah selanjutnya dalam pengambilan keputusan etik adalah menganalisa konsekuensi dari pilihan tindakan yang ada. Baik buruknya, ditinjau dari beberapa prinsip tadi. Bagaimana konsekuensi dari suatu tindakan jika dilakukan, dan bagaimana jika tidak dilakukan. Kemudian langkah terakhir adalah

mengambil keputusan dengan mempertimbangkan keinginan pasien. Kembali lagi pada prinsip etik pertama yaitu autonomy. Dalam setiap keputusannya perawat tidak pernah terlepas dari risiko yang mengancam dirinya. Setiap pilihan tindakan risiko yang ditanggung baik bagi pasien maupun bagi perawat itu sendiri. Setiap keputusan tindakan yang diambil harus berdasarkan persetujuan antara pihak pemberi layanan dan pihak yang diberi layanan. Keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan bersama, tugas perawat adalah memberikan penjelasan dan informasi sejelas mungkin dan harus bersifat obyektif. Kesepakatan atas suatu tindakan yang didahului oleh adanya pemebrian informasi oleh pasien atau keluarga disebut dengan inform consent. Inform consent mejadi suatu bukti bagi pasien dan perawat itu sendiri, dimana inform consent bertujuan melindungi hak pasien dalam autonomy (Settle, 2013). Selain itu, pembenaran pengambilan keputusan etis dapat ditinjau dari beberapa teori, yaitu teori teleology dan deontology. Teleology berasal dari kata telos yang artinya tujuan, dalam hal ini keputusan etik didasarkan pada tujuan yang hendak dicapai. Bagaimana dampak tindakan yang akan diberikan, apakah berdampak baik. Suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut bertujuan baik pula. Teori kedua adalah teori deontology, yaitu suatu konsep yang menitikbertakan pada moral dan kewajiban. Deontologi berbicara mengenai apa yang seharusnya dilakukan. Menurut Kant dalam (Masruroh & Joko, 2012) suatu tindakan dianggap baik apabila dilakukan berdasarkan kewajiban, terlepas dari tujuan dari tindakan tersebut. Dari kedua teori ini keputusan etik yang diambil bisa dibenarkan ataupun justru disalahkan, namun inilah konsekuensi yang harus diambil oleh pengambil keputusan. Untuk setiap putusan yang diambil haruslah putusan bersama dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait sehingga tanggung jawab pun diambil bersama-sama. c. Pertimbangan pengambilan keputusan dan manfaatnya Pada prinsipnya dalam pengambilan keputusan etik untuk melakukan RJP atau tidak, ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengambil keputusan yaitu: 1. Aspek hukum: American Heart Association mengumumkan bahwa RJP tidak diindikasikan untuk semua pasien. Seseorang dengan kondisi terminal seperti penyakit ireversibel, dimana kondisi kematian adalah hasil yang didapatkan tanpa dilakukannya RJP. American Nurse Association (ANA, 2010) dan American Society of Anaesthesiologists (ASA, 2014) memiliki konsensus tentang mendukung hak pasien untuk menentukan nasib sendiri. Hak itu mencakup hukum dimana pasien atau keluarga dapat menolak prosedur tindakan, selama mereka benar-benar memahami implikasi keputusan mereka dan membiarkan kematian alami tanpa upaya RJP. Perintah Do Not Resuscitation (DNR) adalah dokumen legal dan pemberi layanan yang mengambil keputusan berdasarkan pedoman etik profesi. Downar et al (2011)

menjelaskan bahwa perintah DNR dapat diterima secara hukum, dan tidak boleh disalahartikan dengan euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan tenaga medis. Welie and Have (2015) menyatakan bahwa memberikan perawatan yang mungkin sia-sia melanggar prinsip bioetika dari efisiensi yang tidak efisien dapat diproses melalui hukum. Namun, penerapan DNR ini di beberapa negara masih menjadi pertentangan dari segi legalitasnya di dunia medis. Di China atau Korea Selatan tidak ada undang-undang untuk memberikan persetujuan hukum untuk melakukan RJP karena anggapannya bahwa pasien-pasien dengan kondisi terminal sekalipun harus diperlakukan dengan cara yang sama dengan pasien lain sehingga menciptakan keadilan terhadap semua pasien (Makino et al., 2014). British Medical Association (2014) menganggap bahwa orang-orang yang diberi label sebagai DNR akan diperlakukan nonprioritas bahkan perawatannya terbengkalai dan tidak mendapatkan perawatan diperlakukan dengan adil dalam kondisi yang memerlukan RJP, walaupun pasien yang kompeten menolak RJP secara tidak logis; dokter harus menggali kekhawatiran tentang euthanasia. Field et al (2014) percaya bahwa tidak menginformasikan pasien tentang status DNR merupakan tindakan tidak sah, walaupun dokter harus menandatangani persetujuan DNR. Di Jepang, tidak menyadarkan pasien terkait keputusannya tidak dilakukan RJP akan ditangkap karena perintah DNR secara hukum tidak diterima dan dapat menyebabkan penuntutan pidana karena penerimaan perawatan paliatif pada akhir masa kehidupan telah meningkat pesat selama tahun-tahun terakhir untuk beralih dari dilema tersebut (Makino, 2014). 2. Aspek etis: Aacharya & Maharjan (2014) mengatakan bahwa keputusan akhir hidup dengan DNR adalah keputusan darurat yang sulit, namun pendekatan etis menyederhanakan kompleksitas dan memfasilitasi proses pengambilan keputusan bersama. Pedoman RJP tidak hanya didasarkan pada masalah teknis dan hukum tetapi juga perlu mencakup prinsip-prinsip etika. Oleh karena itu, pertimbangan perlu dilakukan untuk menghormati otonomi pasien, tanpa bahaya dan tambahan penderitaan dan kesempatan setara yang dapat dibenarkan dalam konteks masyarakat tertentu. Kasule (2010) menyatakan bahwa DNR diperbolehkan dengan suatu alasan yang jelas, bahwa resusitasi itu sia-sia dan tidak akan menghasilkan manfaat yang baik dan dampak perbaikan terhadap kondisi pasien. Dalam beberapa kasus, keputusan untuk tidak memberikan tindakan RJP kepada pasien, jika para tim medis telah mengetahui dan menilai rendahnya keberhasilan jika dilakukan RJP (British Medical Association, 2014). Setelah tindakan diputuskan dan dilaksanakan, maka perlu dilakukan evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etik seperti yang

telah diputuskan bersama. Memastikan kondisi pasien dan keluarga dengan tetap mengkomunikasikan segala aspek yang terkait dengan tindakan yang sudah dilaksanakan. Berdasarkan kasus diatas, dari hasil analisa etik maka alternatif teori yang dapat dipilih adalah deontology dan utilitarianisme. Deontologi mendukung bahwa bertindak adalah sesuatu yang tepat, sesuai dengan nilai moral tanpa memperhitungkan hasil dan tujuan. Sedangkan prinsip utilitarianisme mendukung bahwa tindakan resusitasi sesuai dengan nilai moral jika mendatangkan hasil yang baik (Jeannie, 2007). Oleh karena itu tindakan tidak melakukan resusitasi dianggap sesuai dengan nilai moral karena terkait dengan konsekuensi yang memungkinkan pasien untuk meninggal dengan tenang dan bermartabat. Kemudian penyedia layanan kesehatan dan keluarga dapat mempersiapkan kematian pasien dengan baik. Hal ini berdasarkan prinsip autonomy, perawat menerapkan dan menghormati dan memberikan kesempatan kepada pasien atau keluarga untuk mengambil tanggung jawab terhadap perawatannya sendiri. KESIMPULAN Kode etik sangat penting dalam memberikan perspektif perawat dalam pelaksanaan asuhan keperawatan kepada pasien baik kepada individu, keluarga maupun masyarakat. Pemahaman perawat tentang bagaimana cara pengambilan keputusan etik merupakan kunci yang akan menentukan kemampuan perawat dalam mengambil keputusan etik. Dilema etik yang dihadapi seperti kasus diatas sering ditemui di lapangan, akan menjadi media yang baik bagi perawat dalam melaksanakan prinsip etik. Dengan mampunya perawat dalam mengambil keputusan etik yang sesuai dengen aspek hukum dan aspek etis, maka perawat mampu menjalankan fungsinya sebagai perawat profesional. SARAN Saran yang dapat diberikan oleh penulis yakni bahwa perawat dalam mengambil keputusan etis hendaknya berdasarkan pertimbangan kondisi pasien dan keluarga. Segala tindakan yang diberikan mengacu pada pedoman etika profesi. Selain itu, perlu adanya pengembangan kode etik dan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang harus dilakukan berkelanjutan. SPO mengenai pelaksanaan resusitasi harus tersedia dan dibuat dengan jelas. Demikian juga untuk SPO DNR apabila pasien/keluarga menginginkan DNR. SPO yang disusun hendaknya disusun dan direvisi secara reguler mengikuti perkembangan sains dan praktek keperawatan terbaru. Sehingga SPO ini dapat membantu perawat dalam mengatasi dan melindungi perawat dari dilema etik yang mungkin akan dijumpai pada saat tindakan resusitasi atau DNR.

REFERENSI Schlairet MC, Cohen RW (2013). Allow natural death orders: legal, ethical and practical considerations. Hospital Ethics Committee Forum 25, 161-171. Welie, JV , & Have, HA (2014). The ethics of forgoing life-sustaining treatment: theoretical considerations and clinical decision making. 9(14). Weiss SA, Tappen RM (2014). Essentials of nursing leadership and management. America: Frank Allston Davis.