LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS Departemen Gerontik Puskesmas Kedungkandang
Disusun oleh : Kelompok 7 Adimas Mokhtar Sudayu
125070200111040
Farid Dwiyanto Nugroho
125070200111046
Siti Khoiriya
125070200111009
Priskila Prasetyaningrum
125070200111015
Dwi Retno Selvitriana
125070200111127
Amanda Kardinasari
125070218113030
Rahajeng Widhiyasasi
125070200111028
Ella Ade Yantika
125070200111002
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS
I.
Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA), DM adalah kelompok
penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin, penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya. Diagnosis DM menurut ADA jika hasil pemeriksaan gula darah: 1) kadar gula darah sewaktu lebih atau sama dengan 200 mg/dl, 2) kadar gula puasa lebih atau sama dengan 126 mg/dl, 3) kadar gula darah lebih atau sama dengan 200 mg/dl pada 2 jam setelah beban glukosa 75 pada tes toleransi glukosa (ADA, 2011). DM merupakan penyakit kronik, progresif dengan karakteristik ketidak mampuan tubuh dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang menyebabkan peningkatan level gula darah (Black & Hawks, 2009). DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo dkk,2011). DM merupakan penyakit yang heterogonik, baik karena manifestasinya maupun
karena
jenisnya.DM
adalah
sindrom
yang
disebabkan
oleh
terganggunya insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia yang disertai abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein (Inzucchi, 2004). DM adalah gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula(glukosa) darah akibat kekurangan ataupun resistensi insulin (Bustan, 2007). II.
Epidemiologi Menurut WHO (2015), sekitar 1,5 juta kematian pada tahun 2012 secara
langsung disebabkan oleh diabetes dan sebanyak 90% menderita DM tipe 2. Lebih dari 80% kematian disebabkan oleh diabetes di negara berkembang dan penduduk yang berpenghasilan rendah. Di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia dan di Afrika, ini akibat trend urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang tidak sehat (WHO, 2015). Di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-8 (7,7%) yang angka kejadiannya DM-nya terus meningkat (4,5% - 11,9 %). Kedudukan
Indonesia berada diantara Timor Leste (6,9%) dan Sri Lanka (7,8%). Di Indonesia sendiri angka kejadian DM menduduki peringkat ke 3 (6,5 %) diantara penyakit jantung (8, 9 %) dan Infeksi saluran pernapasan bawah (5,2 %) yang terus meningkat dari tahun 2010 hingga 2012 (WHO, 2015). DM lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding dengan pria, lebih sering pada golongan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Beberapa hal yang dihubungkan dengan faktor risiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya aktivitas fisik dan rendahnya konsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2010).
III. Etiologi Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI) a. Faktor genetic Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya. b. Faktor imunologi Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. c. Faktor lingkungan Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pancreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destuksi sel β pancreas. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-
sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia (Price, 1995 cit Indriastuti 2008). Diabetes Melitus tipe II disebut juga Diabetes Melitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanakkanak. IV. Faktor Resiko Faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan diabetes mellitus dibagi menjadi 2 yaitu: a. Faftor risiko yang tidak dapat dimodifikasi 1. Riwayat keluarga dengan DM Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM orang tua DM tipe 2 lebih terkait dengan faktor riwayat keluarga bila dibandingkan tipe 1. Anak dengan ayah penderita Dm tipe 1 memiliki kemungkinan terkena diabetes 1:17. Namun bila kedua orang tua menderita DM tipe 1 maka kemungkinan menderita DM 1:4-10. Pada Dm tipe 2, kemungkinan 1:7 bila salah satu orang tua kena DM pada usia <50 tahun dan 1:13 bila > 50 tahun. Namun bila kedua orang tuanya menderita DM tipe 2 kemungkinan anaknya menderita DM 1:2. 2. Umur Risiko untuk prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya usia. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia <40 tahun, sedangkan Dm tipe 2 biasanya terjadi pada usia >40 tahun. 3. Riwayat pernah menderita diabetes gestasional Mendapat diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan risiko diabetes mellitus tipe 2. 4. Riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2500 gram. 5. Ras/ latar belakang etnis
Risiko DM tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli amerika, dan asia. b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi 1. Berat badan lebih/ obesitas (BB> 120% BB idaman/ IMT> 23 kg/m2) dan ratio lingkar pinggang pinggul laki-laki 0,9 dan perempuas 0,8 lingkar pinggang pria = wanita 90cm, HDL dibawah 35 mg/dl dan / tingkat trigliserida >250 mg/dl dapat meningkatkan risiko DM tipe 2. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. 2. Kurang aktivitas fisik Glukosa darah dibakar menjadi energy dan sel-sel tubuh menjadi lebih sensitif terhadap insulin. Peredaran darah lebih baik dan risiko Dm tipe 2 turun 50%. 3. Hipertensi, tekanan darah diatas 140/90 mmHg Tekanan darah >140/90 mmHg dapat menimbulkan risiko Dm tipe 2 Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular Diet tidak sehat, dengan tinggi gula dan rendah serat (Depkes, 2008) 4. Stres Kondisi stres kronik cenderung membuat seseorang mencari makanan yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar serotonin pada otak. Serotonin mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi efek mengkonsumsi makanan yang manismanis dan berlemak tinggi terlalu banyak berbahaya bagi mereka yang berisiko terkena diabetes mellitus. 5. Alkohol Alkohol dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada pankreas yang dikenal dengan istilah pankreatitis. Penyakit tersebut dapat menimbulkan gangguan produksi insulin dan akhirnya dapat menyebabkan diabetes mellitus. 6. Riwayat - Diabetes dalam keluarga - Diabetes gestasional - Melahirkan bayi dengan berat badan >4kg - Kista ovarium (Polycystic Ovary Sindrome) - IFC atau IGT 7. Obesitas >120% berat badan ideal Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin dari dalam sel target insulin diseluruh tubuh. Jadi membuat insulin yang tersedia kurang efektif dalam meningkatkan efek metabolik yang biasa. 8. Umur : 20-59 th (8,7%) dan >65 th (18%) 9. Etnik/ras : ras kulit hitam risiko naik 10. Hipertensi >140/90mmHg
11. Hiperlipidemia : kadar HDL rendah <35mg/dl, kadar lipid darah tinggi >250mg/dl 12. Faktor-faktor lain : - kurang olahraga dan pola makan rendah serat, tinggi lemak, -
rendah karbohidrat pernah mengalami gangguan toleransi glukosa kemudian
-
normal kembali riwayat terkena penyakit infeksi virus, misalnya virus rubella,
-
morbili riwayat lama mengkonsumsi obat-obatan atau suntikan golongan kortikosteroid (Smletzer & Bare, 2002).
V.
Klasifikasi Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Depkes RI 2005,
berdasarkan etioya, diabetes mellitus dibagi menjadi : a. Diabetes mellitus tipe 1 Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut. - Melalui proses imunologik (Otoimunologik) - Idiopatik b. Diabetes meliitus tipe 2 Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin c. Diabetes meliitus tipe lain Defek genetik fungsi sel β - Kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3) - Kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) - kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1) - DNA mitokondria Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas - Pankreatitis - Trauma/pankreatektomi - Neoplasma - Cystic Fibrosis - Hemokromatosis - Pankreatopati fibro kalkulus Endokrinopati - Akromegali - Sindroma Cushing - Feokromositoma - Hipertiroidisme Diabetes karena obat atau zat kimia : Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon. Diabetes karena infeksi Diabetes imunologi (jarang)
Sindroma
genetic
lain
:
Sindroma
Down,
Klinefelter,
Turner,
Huntington, Chorea, Prader Willi. d. Diabetes meliitus gestasional Diabetes Mellitus Gestasional (GDM = Gestational Diabetes Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Diabetes dalam masa kehamilan, walaupun umumnya kelak dapat pulih sendiri beberapa saat setelah melahirkan, namun dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandung. Akibat buruk yang dapat terjadi antara lain malformasi kongenital, peningkatan berat badan bayi ketika lahir dan meningkatnya risiko mortalitas perinatal. Disamping itu, wanita yang pernah menderita GDM akan lebih besar risikonya untuk menderita lagi diabetes di masa depan. Kontrol metabolisme yang ketat dapat mengurangi risiko-risiko tersebut. e. Pra-diabetes Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Kondisi pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah atau menunda timbulnya diabetes. Ada dua tipe kondisi pra-diabetes, yaitu : 1) Impaired Fasting Glucose (IFG), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang sekitar 100-125 mg/dl (kadar glukosa darah puasa normal : <100 mg/dl). 2) Impaired Glucose Tolerance (IGT)
atau Toleransi
Glukosa
Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada diantara 140-199 mg/dl.
VI. Patofisiologi
Lingkungan, gaya hidup tidak sehat, pajanan terhadap obatobatan atau toksik
Sel-sel pankreas memiliki kesamaa antigen dengan mikroorganisme atau obat-obatan tertentu
Memicu perubahan secara antigenik sel-sel pankreas
Obesitas Autoantibodi reseptor insulin Mutasi reseptor insulin Hemakromatosis (akumulasi zat besi di jaringan) Genetik
Glukosa tidak cukup tersedia untuk sel
Adenohipofisis meningkatkan sekresi hormon kortikotropin
Insensitivitas reseptor insulin
Sel beta langerhans rusak Mobilisasi protein dari semua sel tubuh
Kegagalan produksi insulin
Protein tersedia dalam bentuk asam amino di dalam cairan tubuh
Reseptor insulin tidak berikatan dengan insulin
Glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel
Glukosa terjebak dalam aliran darah
Sel kekurangan glukosa
Keletihan
Kelaparan sel-sel tubuh (kecuali sel otak dan eritrosit)
Polifagia
Intoleransi aktivitas
Peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) *
Kelebihan produk ACTH (Adrenocortikotropin hormone)
Tumor adrenal Merangsang korteks adrenal menghasilkan hormon glukokortikoid (terutama kortisol)
Stimulasi pembentukan autoantibodi
Malfungsi hipofisis anterior
Glukoneogenesis di hati
Terdapat tumor pada penyekresi GH di hipofisis anterior
Kelebihan hormon pertumbuhan
Peningkatan pemecahan karbohidrat dan protein
Kelaparan sel-sel tubuh (kecuali sel otak dan eritrosit)
Hati merespon dengan melakukan glukoneogenesis (asam amino, asam lemak, glikogen)
Penggunaan asam lemak bebas sebagai pengganti energi
Produk keton meningkat
pH plasma turun (asam)
Pemecahan glikogen otot secara terus-menerus
Gangguan metabolisme protein
Massa otot menurun
Penurunan BB
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Pertumbuhan jaringan terhambat
Luka sukar sembuh
Hiperglikosila si protein
LDL dan VDL membawa lemak masuk ke sel endotel arteri
Demielinisasi saraf perifer
Oksidasi kolesterol dan trigliserida
Perlambatan hantaran saraf, berkurangnya sensitifitas, hilangnya sensasi suhu dan nyeri
Membentuk radikal bebas
Resiko infeksi
Asidosis metabolik
Nafas berbau keton
Neuropati diabetik
Resiko cedera
Merusak sel endotel**
*Hiperglikemia
Penebalan membran basal
Peningkatan pengeluaran glukosa dalam urin
Peningkatan tekanan osmotik ekstrasel
Reabsorbsi cairan di tubulus ginjal terganggu
Perpindahan air secara osmosis keluar dari sel
Pelebaran glomerulus
Lesi sklerotik nodular Diuresis osmotik
Dehidrasi intra sel
Menghambat aliran darah Poliuria Merusak nefron
Stimulasi pengeluaran ADH Dehidrasi ekstra sel
Gagal ginjal
Haus Risiko gangguan volume cairan
Polidipsi
**Merusak sel endotel
Reaksi inflamasi dan imun
Leukosit tertarik ke area cedera dan menempel
Bermigrasi ke interstisial
Terbentuk jaringan parut
Lumen vaskular menyempit
Resistensi perifer meningkat
Trombosit tertarik ke area cedera
Peningkatan tekanan darah
Aktifasi pembekuan dan fibrosis
Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah
Aterosklerosis
Angiopati
Hipertensi
Melepaskan sitokin proinflamatori
Terbentuk bekuan darah (trombus)
Merangsang proliferasi sel otot polos
Sel otot polos tumbuh di tunika intima
Kebutaan
Mikrovaskular Terbentuk plak aterosklerosis (pertumbuhan sel otot polos, trombus, jaringan parut, penimbunan lemak)
Tekanan intraokuler meningkat
Edema interstisial
Terbentuk jaringan parut di retina
Makrovaskular
Gangguan jantung
Retinopati
Perubahan kulit/atopi
Mikroaneurisma
Kulit rapuh
Hemoragik
ulkus
Gangguan ginjal
Kerusakan integritas kulit
VII. Manifestasi Klinis 1. Diabetes Tipe I hiperglikemia berpuasa glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia keletihan dan kelemahan ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian) 2. Diabetes Tipe II lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer) VIII. Komplikasi Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi akut yang terjadi pada penderita Diabetes Mellitus tapi selain ulkus diabetik antara lain : a. Komplikasi Akut. Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka pendek dari glukosa darah. Hipoglikemik dan ketoadosis diabetik masuk ke dalam komplikasi akut b. Komplikasi kronik. Yang termasuk dalam komplikasi kronik ini adalah makrovaskuler dimana komplikasi ini menyerang pembuluh darah besar, kemudian mikrovaskuler yang menyerang ke pembuuluh darah kecil bisa menyerang mata (retinopati), dan ginjal. Komplikasi kronik yang ketiga yaitu neuropati yang mengenai saraf. Dan yang terakhir menimbulkan gangren. c. Komplikasi jangka panjang dapat juga terjadi antara lain, menyebabkan penyakit jantung dan gagal ginjal, impotensi dan infeksi, gangguan penglihatan (mata kabur bahkan kebutaan), luka infesi dalam , penyembuhan luka yang jelek. d. Komplikasi pembedahan, dalam perawatan pasien post debridement komplikasi dapat terjadi seperti infeksi jika perawatan luka tidak ditangani dengan prinsip steril.
IX. Pemeriksaan A. Pemeriksaan Kaki Diabetik: a. Riwayat penyakit : riwayat ulkus dan amputasi, iabetes >10 tahun, A1c>7%, Gangguan penglihatan, Keluhan neurologi, Klaudikasio
b. Pemeriksaan
Fisik
:
kalus,
korn,
bunion,
kaput
metatarsal
menonjol,
hammertoes,clawtoes,halux valgus c. Pemeriksaan kulit : kulit kering, rambut kaki jarang, kuku menebal dan berwarna kuning, ingrowing nail, maserasi pada sela jari, ulkus d. Vascular : palpasi denyut ADP dan ATP (tidak ada denyut nadi/lemah), Ankle Brachial Index (ABI)<0,9 e. Neuropati : dengan menggunakan garputala 128 Hz dan monofilamenttidak f.
dirasakan getaran dan tdak terasa pada ≥1 titik Biomekanik kaki : 1. Dorso dan plantar flexi ankle dan ibu jarimobilitas sendi terbatas, 2. Cara berjalangangguan keseimbangan, menggunakan tongkat atau perlu dibantu, 3. Pemeriksaan sepatu sepatu sempit, 4. Kemampuan melihat dan menyentuh jari kakitidak mampu melihat dan menyentuh
jari kaki g. Wagner Classification 0. Skin intact 1. Superficial Ulcer 2. Deep ulcer (up to tendon,bone) 3. Deep ulcer with infection 4. Ulcer with gangrene of 1-2 toes 5. Ulcer with gangrene involving the whole foot B. Pemeriksaan Laboratorium 1. Pituitary a. Growth hormone Indikasi : Digunakan untuk melihat kelebihan / kekurangan hormon pertumbuhan meningkat akromegali, Nilai normal dewasa (L: 5 ng/mL; P: <10 ng/mL) Implikasi keperawatan : Pasien harus berpuasa, istirahat, tidak boleh stress secara fisik maupun emosi. b. Water deprivation test (tes penurunan airurin tampung) Indikasi : Menegakkan penyebab polydipsia and polyuria, Membedakan pasien dengan central diabetes insipidus (DI), nephrogenic DI, dan psychogenic polydipsia Makna klinis: PeningkatanSIADH, Penurunan diabetes insipidus Nilai normal: 1-5 pg/ml Implikasi keperawatan: Ajarkan pasien untuk berpuasa selama 12 jam, Ajarkan pasien untuk menahan cairan dan menghindari kebiasaan merokok, kopi dan alkohol pada tengah malam, Stop minum demopresin 24 jam sebelum pemeriksaan. 2. Thyroid a. TSH Normal: 2-10 mcg/ml Digunakan untuk evaluasi fungsi tiroid dengan mengukur sekresi TSH di pituitary b. T3 dan T4 Normal T3= 75-220 ng/dl; T4= 4-12 mcg/dl Mengukur triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4) untuk evaluasi fungsi tiroid. Meningkat hipertiroid, Menurun hipotiroid 3. Parathyroid a. Serum Calcium: normal= 9-10.5 mg/dl b. Serum Phospat: normal = 3-4.5 mg/dl Indikasi: evaluasi fungsi paratiroid dan metabolisme calsium. Meningkat hiperparatiroidisme. Menurunhipoparatiroidisme
4. Adrenal a. Kortisol Normal: 5-23 mcg/dl (8 am); 3-13 mcg/dl (8 pm) Tujuan: mengukur total serum kortisolevaluasi fungsi korteks adrenal Meningkatcushing syndrom Menurun addison diseases Implikasi keperawatan: 1. Kaji tingkat stress TTVmonitoringlaporkan dokter 2. Perhatikan jam pengambilan sampel (8 am/ 8pm) b. Aldosterone Normal: 5-20 mg/dl (upright position); 8.5 mg/dl (supine position) atau Plasma aldosterone - supine position and normal sodium diet : 209 ng/dl (55-250 pmol/L). Plasma aldosterone - upright position (standing/seated for at least 2 hr) and normal sodium diet : 2-5x supine value Urine aldosterone : 5-20 μmg/24 hr (14-56 nmol/24 hr) Sampel: urine or serum Indikasi: diagnosis hyperaldosteronism dan pembeda antara aldosteronoma dengan idiopathic hyperaldosteronism Interpretasi: High values: primary hyperaldosteronism, aldosterone secreting adrenal tumor, idiopathic adrenal hyperaldosteronism Low values: adrenal insufficiency, congenital adrenal hyperplasia b.d defisiensi 11beta-hydroxylase Implikasi Keperawatan: Minta pasien untuk posisi upright selama 2 jam sebelum c.
pemeriksaan dilakukan Urinary 17 ketosteroids Normal: 6-20 mg/ 24 jam (L); 6-17 mg/ 24 jam (P)17 KS diproduksi oleh korteks
adrenal Meningkat: cushing syndrome Menurun: addison diseases Implikasi keperawatan: 1. Ajarkan klien untuk tampung urin 24 jam 2. Selama pengumpulan urin harus dijaga dalam kondisi dinginkulkas 5. Pankreas a. Gula darah (puasa/ sewaktu) Guka darah Puasa Normal: 70-100 mg/dl Meningkat: DM, akut pankreatitis Menurun: Addison diseases Implikasi keperawatan : Ajarkan pasien puasa Gula darah sewaktu Diukur sewaktu-waktu tanpa memperhatikan waktu pengukuran Normal : >200mg/dl b. HbA1C Normal: 2.2-4.8% Digunakan untuk kontrol glukosa selama 3 bulan terapi sebelumnya Meningkat: DM tidak terkontrol atau diagnosa awal DM Bukan untuk menegakkan diagnosa DM Implikasi Keperawatan : Tidak perlu puasa c. TTGO Normal: < 140 mg/dl
Digunakan untuk menghitung kadar glukosa setelah 2 jam diberikan beban glukosa 75gr. Seharusnya kadar glukosa kembali pada kadar glukosa sebelum makan….pada DM > 200 mg/dl Perhatian khusus: klien harus menghabiskan 75 gr glukosa dan tidak boleh makan apapun selama 2 jam sampai dengan pengukuran glukosa Implikasi keperawatan 1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, klien makan dan olahraga seperti biasa 2. Puasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan (malam hari) boleh minum air putih 3. Larutkan 75 gr glukosa dalam 250 cc minum dalam waktu 5 menit (anak2: 1,75 gr/kg BB anak) 4. Puasa kembali selama 2 jam 5. Periksa Gula Darah 6. Selama diperiksa tidak boleh merokok dan tetap istirahat d. Urine glukosa e. Urine keton Normal glukosa urin dan keton urin (-) Fungsi: mendeteksi ada tidaknya glukosa dan keton dalam urin. Keton terbentuk akibat metabolisme tidak sempurna dari lemak Keton (+) menunjukkan penurunan insulin dan DK Implikasi keperawatan: 1. Kumpulkan sediaan urin segar , urin sisa dapat mempengaruhi hasil 2. Beberapa obat dapat mempengaruhi hasil f. Tes urin mikroalbumin Normal: 0.2-1.9 mg/dL Ditemukannya mikroalbumin menunjukkan komplikasi diabetik nepropathy Peningkatan: Resiko ESRD C. Metode Imaging (Pencitraan) a. MRI : Identifikasi tumor pada kelenjar pituitary dan hipotalamus b. CT Scan Lebih detail dibandingkan X Ray, menggunakan prinsip radiasi pengion Dapat dikerjakan dengan atau tanpa kontras CT scan abdominal tumor kelenjar adrenal atau pankreas c. Thyroid scan Prosedur: Radiofarmaka diberikan melalui IV kanula Pasien diminta untuk minum 1 gelas air selama 15 menit Pemotretan dilakukan 20 menit setelah pemberian radiofarmaka Pemotretan berlangsung selama kira-kira 20 menit. Posisi pasien terlentang dengan kamera gamma langsung di atas kepala dan leher . Pasien dapat makan dan minum setelah prosedur . Pasien dapat melanjutkan obat setelah prosedur d. Radioactive Iodine (RAI) uptake test Kapsul/ cairan iodine 135 atau 125 Digunakan untuk scan thyroid Implikasi keperawatan: 1. Puasa 8 jam sebelum dilakukan prosedur, tetapi dapat makan 1 jam setelah pemberian kapsul atau cairan iodine
2. Obat tiroid dan medikasi mengandung iodine dilakukan selama 1 minggu sebelum pemeriksaan
X. Penatalaksanaan A. Tujuan Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. B. Pilar penatalaksanaan DM Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. a. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. Berbagai hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Promosi perilaku sehat merupakan faktor penting pada kegiatan pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal dibutuhkan perubahan perilaku. Perlu dilakukan edukasi bagi pasien dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui dukungan tim penyuluh yang terdiri dari dokter, ahli gizi, perawat, dan tenaga kesehatan lain. Setiap kali kunjungan diingatkan kembali untuk selalu melakukan perilaku sehat.
Perilaku sehat bagi penyandang Diabetes Tujuan perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah: Mengikuti pola makan sehat. Meningkatkan kegiatan jasmani. Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman
dan teratur. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
data yang ada. Melakukan perawatan kaki secara berkala Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga
untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Edukasi perubahan perilaku Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kesehatan memerlukan landasan empati, yaitu kemampuan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah: Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan
yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien dan
keluarganya Gunakan alat bantu audio visual
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang: Materi edukasi pada tingkat awal adalah:
Materi tentang perjalanan penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan
Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau
insulin serta obat-obatan lain Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia Pentingnya latihan jasmani yang teratur Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan) Pentingnya perawatan kaki Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :
Mengenal dan mencegah penyulit akut DM Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain Makan di luar rumah Rencana untuk kegiatan khusus Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang DM Pemeliharaan/perawatan kaki
Edukasi dapat dilakukan secara individual dengan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi, dan dokumentasi.
Deteksi dini kelainan kaki risiko tinggi Kaki yang berisiko tinggi antara lain: Kulit kaku yang kering, bersisik, dan retak-retak serta kaku Bulu-bulu rambut kaki yang menipis Kelainan bentuk dan warna kuku (kuku yang menebal, rapuh, ingrowing nail) Kalus (mata ikan) terutama di telapak Perubahan bentuk jari-jari dan telapak kaki dan tulang-tulang kaki yang menonjol Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari Kaki baal, semutan, atau tidak terasa nyeri Kaki yang terasa dingin
b. Terapi Nutrisi Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin. 1) Komposisi makanan yang dianjurkan a) Karbohidrat Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted-Daily Intake) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.
c) Protein Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang
kacangan, tahu, dan tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya
bernilai biologik tinggi. d) Natrium Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur. Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400mg. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
e) Serat Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
f)
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari. Pemanis alternative Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol. Dalam
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah. Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame. Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
penggunaannya,
(Accepted Daily Intake / ADI)
pemanis
berkalori
perlu
diperhitungkan
2) Kebutuhan kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi : Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal : BB ideal ± 10 % Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 % Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/ TB(m2) Klasifikasi IMT* BB Kurang < 18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih ≥ 23,0 Dengan risiko 23,0-24,9 Obes I 25,0-29,9 Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : Jenis Kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria
sebesar 30 kal/ kg BB. Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan Kebutuhan kalori dapat
intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumlah
ditambah
10%
dari
sesuai kebutuhan
dengan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang,
dan 50% dengan aktivitas sangat berat. Berat Badan Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung
kepada tingkat kegemukan Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan
kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk
wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. 3) Pilihan makanan Pilihan makanan untuk penyandang diabetes dapat dijelaskan melalui piramida makanan untuk penyandang diabetes
c. Latihan jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga
akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
d. Terapi farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. I. Obat hipoglikemik oral Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan: A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid B.
Peningkat
sensitivitas
terhadap
insulin:
metformin
dan
tiazolidindion C. Penghambat glukoneogenesis (metformin) D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. E. DPP-IV inhibitor A. Pemicu Sekresi Insulin 1. Sulfonilurea Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. 2. Glinid Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial. B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin Tiazolidindion Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan
tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal
penggunaan
akan
memudahkan
dokter
untuk
memantau efek samping obat tersebut. D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. E. DPP-IV inhibitor Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal
rasional
dalam
pengobatan
DM
tipe
2.
Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (anacretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi
yang
tinggi
dalam
bentuk
aktif
dan
mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis optimal Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan
pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.
II. I.
Suntikan Insulin Insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetic Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) Insulin kerja pendek (short acting insulin) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) Insulin kerja panjang (long acting insulin) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin). Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru
pola sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa,
sedangkan
defisiensi
insulin
prandial
akan
menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan
koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Sasaran pertama terapi hiperglikemia
adalah
mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja
sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari
bila sasaran terapi belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial
(basal bolus). Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk
menurunkan
glukosa
darah
prandial
seperti
golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid),
atau
penghambat
penyerapan
karbohidrat dari lumen usus (acarbose). Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari
hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian. Cara Penyuntikan Insulin Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus terhadap
cubitan permukaan kulit. Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat sediaan
insulin
perbandingan
campuran dosis
yang
tersebut
atau
diperlukan
lain,
dapat
dilakukan
pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan benar, demikian pula mengenai
rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih dari satu
kali oleh penyandang diabetes yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah
unit/mL
dari
semprit).
Dianjurkan
memakai
konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 II.
(artinya 100 unit/mL). Agonis GLP-1 Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Perbandingan golongan OHO III.
Terapi kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO
dan
insulin,
yang
banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin. e. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudahdipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur(untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala),atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. PDGM terutama dianjurkan pada: Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin Penyandang DM dengan terapi insulin berikut Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi Wanita yang merencanakan hamil Wanita hamil dengan hiperglikemia Kejadian hipoglikemia berulang Prosedur pemantauan
PENCEGAHAN A. Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. B. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder
program
penyuluhan
memegang
peran
penting
untuk
meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan pertemuan berikutnya. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang
merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes. C. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier
ditujukan
pada
kelompok
penyandang
diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah
terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes
yang sudah mempunyai penyulit makro angiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien
dan
keluarga.
Materi penyuluhan
termasuk
upaya
rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistic dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris, dll.) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
XI. Masalah Keperawatan a. Pada Individu Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit diabetes melitus, Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan tersebut. 1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien. 2. Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya
defisiensi
insulin
maka
kadar
gula
darah
tidak
dapat
dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah. Keadaan tersebut
dapat
mengakibatkan
terjadinya
gangguan
nutrisi
dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita. 3. Pola eliminasi. Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine ( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan. 4. Pola tidur dan istirahat. Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang
ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan
istirahat penderita, sehingga pola tidur dan waktu tidur penderita mengalami perubahan. 5. Pola aktivitas dan latihan. Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan. 6. Pola hubungan dan peran. Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita malu dan menarik diri dari pergaulan. 7. Pola sensori dan kognitif. Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. 8. Pola persepsi dan konsep diri. Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh
akan
menyebabkan
penderita
mengalami
gangguan
pada
gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ). 9. Pola seksual dan reproduksi. Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. 10. Pola mekanisme stres dan koping. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit
yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan,
mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. 11. Pola tata nilai dan kepercayaan. Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita. b. Dampak pada keluarga Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah sakit maupun rawat jalan di rumah akan muncul bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM 1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu : a. Pengumpulan data Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan
status
kesehatan
dan
pola
pertahanan
penderita,
mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapt diperoleh
melalui
anamnese,
pemeriksaan
fisik,
pemerikasaan
laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. 1) Anamnese a. Identitas penderita . Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor , tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa medis. b. Keluhan Utama
Adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau, adanya nyeri pada luka. c. Riwayat kesehatan sekarang Berisi tentang kapan terjadinya luka, penyebab terjadinya luka serta
upaya
yang
telah
dilakukan
oleh
penderita
untuk
mengatasinya. d. Riwayat kesehatan dahulu Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun
arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita. e. Riwayat kesehatan keluarga Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, f.
jantung. Riwayat psikososial Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita
sehubungan
dengan
penyakitnya
serta
tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita. 2) Pemeriksaan fisik a. Status kesehatan umum Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan dan tanda – tanda vital. b. Kepala dan leher Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher,telinga
kadang-kadang
berdenging,
adakah
gangguan
pendengaran, lidah sering terasa tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan berdarah, apakah penglihatan kabur / ganda, diplopia, lensa mata keruh. c. Sistem integumen Turgor kulit menurun, adanya luka atau warna kehitaman bekas luka, kelembaban dan shu kulit di daerah sekitar ulkus dan gangren, kemerahan pada kulit sekitar luka, tekstur rambut dan kuku. d. Sistem pernafasan Adakah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita DM mudah terjadi infeksi.
e. Sistem kardiovaskuler Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, f.
takikardi/bradikardi, hipertensi/hipotensi, aritmia, kardiomegalis. Sistem gastrointestinal Terdapat polifagi, polidipsi, mual, muntah, diare, konstipasi, dehidrase, perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen,
obesitas. g. Sistem urinary Poliuri, retensio urine, inkontinensia urine, rasa panas atau sakit saat berkemih. h. Sistem muskuloskeletal Penyebaran lemak, penyebaran masa otot, perubahn tinggi badan, i.
cepat lelah, lemah dan nyeri, adanya gangren di ekstrimitas. Sistem neurologis Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anastesia, letargi, mengantuk, reflek lambat, kacau mental, disorientasi.
3) Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah : a. Pemeriksaan darah b. Urine c. Kultur pus (pada gangren) untuk mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis
kuman. b. Analisa Data Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokan dan dilakukan analisa serta sintesa data. Dalam mengelompokan data dibedakan atas data subyektif dan data obyektif dan berpedoman pada teori Abraham Maslow yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5.
Kebutuhan dasar atau fisiologis Kebutuhan rasa aman Kebutuhan cinta dan kasih sayang Kebutuhan harga diri Kebutuhan aktualisasi diri Data yang telah dikelompokkan tadi di analisa sehingga dapat diambil kesimpulan tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab, yang dapat dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan meliputi aktual, potensial, dan kemungkinan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kekurangan
volume
cairan
berhubungan
dengan
diuresis
osmotik,
kehilangan gastrik, berlebihan diare, mual, muntah, masukan dibatasi, kacau mental. 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral : anoreksia, mual, lambung
penuh,
nyeri
abdomen,
perubahan
hipermetabolisme, pelepasan hormon stress. 3. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan
kesadaran
:
status
dengan tidak adekuatnya
pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit. 4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik, kehilangan gastric , berlebihan (diare, muntah) masukan dibatasi (mual, kacau mental). Tujuan : Kondisi tubuh stabil, tanda-tanda vital, turgor kulit, normal. Kriteria Hasil : - pasien menunjukan adanya perbaikan keseimbangan cairan, dengan kriteria ; pengeluaran urine yang adekuat (batas normal), tanda-tanda vital stabil, tekanan nadi perifer jelas, turgor kulit baik, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab atau basah. 2) Intervensi / Implementasi : a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan tekanan darah ortestastik. R : Hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. b. Kaji pola napas dan bau napas. R : Paru-paru mengeluarkan pernapasan
yang
asam
menghasilkan
karbonat
melalui
kompensasi
alkosis
respiratoris terhadap keadaan ketoasidosis. c. Kaji suhu, warna dan kelembaban kulit.
R : Demam, menggigil, dan diaferesis merupakan hal umum terjadi pada proses infeksi. Demam dengan kulit yang kemerahan, kering, mungkin gambaran dari dehidrasi. d. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa. R : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang adekuat. e. Pantau intake dan output. Catat berat jenis urine. R : memeberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, f.
fungsi ginjal dan keefektifan dari terapi yang diberikan. Ukur berat badan setiap hari. R : memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam
memberikan cairan pengganti. g. Kolaborasi pemberian terapi cairan sesuai indikasi R : tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respon pasien secara individual. b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak cukupan
insulin, penurunan masukan oral : anoreksia, mual,
lambung penuh, nyeri abdomen, perubahan kesadaran : status hipermetabolisme, pelepasan hormon stress. Tujuan : berat badan dapat meningkat dengan nilai laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda malnutrisi. Kriteria Hasil : 1) pasien mampu mengungkapkan
pemahaman
tentang
penyalahgunaan zat, penurunan jumlah intake ( diet pada status 2)
nutrisi). mendemonstrasikan perilaku, perubahan gaya hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi / Implementasi : 1. Timbang berat badan setiap hari sesuai indikasi R : Mengetahui pemasukan makan yang adekuat. 2. Tentukan program diet dan pola makanan pasien dibandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien. R: Mengindentifikasi penyimpangan dari kebutuhan. 3. Auskultasi bising usus, catat adanya
nyeri
abdomen/perut kembung, mual,muntah, pertahankan puasa sesuai indikasi. R : mempengaruhi pilihan intervensi.
4. Observasi tanda-tanda hipoglikemia, seperti perubahan tingkat kesadaran, dingin/lembab, denyut nadi cepat, lapar dan pusing. R : secara potensial dapat mengancam kehidupan, yang harus dikali dan ditangani secara tepat. 5. Kolaborasi dalam pemberian insulin, pemeriksaan gula darah dan diet. R : Sangat bermanfaat untuk mengendalikan kadar gula darah. c. Risiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, kadar gula darah yang tinggi, prosedur invasif dan kerusakan kulit. Tujuan : Infeksi tidak terjadi. Kriteria Hasil : 1) mengindentifikasi faktor-faktor risiko individu dan intervensi untuk 2)
mengurangi potensial infeksi. pertahankan lingkungan aseptik yang aman.
Intervensi / Implementasi 1. Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan seperti demam, kemerahan, adanya pus pada luka , sputum purulen, urin warna keruh dan berkabut. R : pasien masuk mungkin dengan infeksi yang biasanya telah mencetus keadaan ketosidosis atau dapat mengalami infeksi 2.
nosokomial. Tingkatkan upaya pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik, setiap kontak pada semua barang yang berhubungan dengan
pasien termasuk pasiennya sendiri. R : mencegah timbulnya infeksi nosokomial. 3. Pertahankan teknik aseptik pada prosedur
invasif
(seperti
pemasangan infus, kateter folley, dsb). R : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman. 4. Pasang kateter / lakukan perawatan perineal dengan baik. R : Mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran kemih. 5. Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh. Masase daerah tulang yang tertekan, jaga kulit tetap kering, linen kering dantetap kencang (tidak berkerut). R : sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada penigkatan risiko terjadinya kerusakan pada kulit / iritasi dan infeksi.
6. Posisikan pasien pada posisi semi fowler. R : memberikan kemudahan bagi paru
untuk
berkembang,
menurunkan terjadinya risiko hipoventilasi. 7. Kolaborasi antibiotik sesuai indikasi. R : penenganan awal dapat membantu mencegah timbulnya sepsis. d. Kurang
pengetahuan
tentang
kondisi,
prognosis
dan
kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan salah interpretasi informasi/tidak mengenal sumber informasi. Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan. Kriteria Hasil : 1) melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan. 2) memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan. Intervensi / Implementasi : 1. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya. R : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya. 2. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang. R : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas. 3. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya. R : diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan. 4. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan. R : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
ADA, 2011, Standards of Medical Care for Patients With Diabetes Mellitus, Diabetes Care 25. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Jakarta : Laporan Nasional. Black & Hawks, 2009. Medical Surgical Nursing, 7thed, St.Louis, Elsevier Saunders. Bustan, M.N, 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Kristianto, Heri. 2014. Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik Sistem Endokrin. Materi Kuliah. Malang PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia 2011 Smeltzer& Bare, 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Soegondo, S, dkk., 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI, Jakarta