TEXT BOOK READING “Miastenia Gravis”
Pembimbing: dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S
Disusun Oleh: Nikko Aulia Rachman G4A016003
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
TEXT BOOK READING “Miastenia Gravis”
Oleh: Nikko Aulia Rachman G4A016003
Text Book Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Bagian SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Purwokerto,
Oktober 2017
Mengetahui, Pembimbing
dr. Yuanita Mardastuti, Sp.S
2
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2 DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3 I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi .............................................................................................................. 5 B. Epidemiologi ..................................................................................................... 5 C. Etiologi .............................................................................................................. 5 D. Patofisiologi ....................................................................................................... 6 E. Klasifikasi .......................................................................................................... 10 F. Diagnosis ........................................................................................................... 12 G. Diagnosis Banding ............................................................................................. 15 H. Tatalaksana ........................................................................................................ 15 I. Prognosis ........................................................................................................... 18 J. Komplikasi......................................................................................................... 19 III. KESIMPULAN ....................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21
3
I.
PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun pada manusia. Miastenia artinya “kelemahan otot” dan gravis artinya “parah”. Ini adalah suatu penyakit autoimun dimana tubuh secara salah memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AchR di neuromuscular juction berkurang sehingga menyebabakan kekuatan otot
semakin berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot setelah masa istirahat. Myasthenia gravis mempunyai prevalensi 85-125 per juta, dan insidensi per tahun 2-4 per juta (78) Penyakit ini sering dijumpai pada usia 20 tahun hingga 40 tahun yang didominasi oleh perempuan; dan pada usia 60 tahun hingga 80 tahun yang sama antara perempuan dan laki-laki. Laporan
RISKESDAS 2010 menyebutkan
insidensi miastenia gravis di Indonesia diperkirakan 1 kasus dari 100000. Data yang didapatkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa myasthenia gravis pada periode tahun 2010-2011 (910). Tingkat kematian mencapai 90% pada waktu lampau. Kematian disebabkan akibat kegagalan pernafasan. Banyak pilihan terapi pada miastenia gravis dapat mengurangi
insidensi
kematian.
Terapi
miastenia
gravis
meliputi
anti
asetilkolinesterase, imunosupresan, imunoglobulin, dan tindakan pembedahan timektomi yang menghasilkan remisi spontan 10% hingga 20% pada pasien miastenia gravis.
4
II.
TINJAUN PUSTAKA
A. Definisi Miatenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang hubungan antara saraf dan muskulus sehingga terjadi kelemahan abnormal pada otot bila digunakan terus menerus dan akan membaik setelah penderita beristirahat. Antibodi menyerang pada reseptor asetilkolin (AChR) di neuromuscular junction sehingga menghambat terikatnya Ach dengan AchR (Cavalcante, 2013; Howard, 2017).
B. Epidemiologi Miastenia gravis adalah penyakit yang jarang terjadi dan dapat ditemui pada berbagai usia. Manifestasi penyakit biasanya muncul pada usia 20-50 tahun. Perempuan lebih sering mendertia dibandingkan dengan lakidengan rasio miastenia gravis adalah 6 : 4. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 20 pada perempuan dan pada laki-laki biasanya terjadi pada usia 40 tahun (Howard, 2017).
C. Etiologi Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya myastenia gravis yaitu (Cavalcante, 2013) : a. Genetik Halotipe gen HLA A1–B8–DR3 dan cytotoxic lymphocyteassociated protein-4 (CTLA4), IFN-II, IL-10, IL-12 dan protein tyrosine phosphatase nonreceptor-22 (PTPN22) dapat bekerja pada tingkat gen menyebabkan hiperplasia pada timus dan timoma yang akan memproduksi antibodi AchR. b. Pengaruh jenis kelamin Berdasarkan penelitian Cavalcante (2013) menyebutkan bahwa peningkatan pada hormon estrogen yang lebih banyak pada perempuan. Estrogen dapat memberikan efek menyebabkan thymopoeisis, selain itu
5
penelitian ini juga menyebutkana bahwa ditemukan reseptor estrogen yang lebih banyak pada penderita miastenia gravis. c. Obat-obatan Penggunaan obat seperti D-penicillamine meningkatkan kadar antiAchR antibodi yang merusakan AchR reseptor. d. Infeksi, tumor dan hiperplasia timus Tymoma, Hiperplasia timus dan infeksi pada timus dapat meningkatkan kadar mediator inflamasi dan reaksi imunologi yang menginduksi produksi dari antibodi anti-AchR
D. Patofisilogi Patofisiologi miastenia gravis diperankan oleh mekanisme imunologi. Kelainan autoimun yang terkait dengan pasien seperti autoimun tiroiditis, arthritis rhematoid, dan lupus erimatosus mendukung terjadinya miastenia gravis pada pasien. Potensial aksi menyebabkan difusi Ca pada presinap dan dan merangsang pelepasan sekitar 250 vesikel yang membawa Ach. Ach dilepaskan dari vesikel presinap menuju reseptor pada vesikel post sinap di neuromoscular junction saat terjadi sebuah potensia aksi yang terjadi pada motor end plate. Reseptor Ach di membran postsinaptik akan berhubungan dengan Ach yang dikeluarkan. Interaksi Ach dan AchR menyebabkan kanal pada AchR terbuka dan natrium masuk ke dalam serat otot sehingga terjadi depolarisasi. Depolarisasi ini yang terjadi terus menerus akan memicu potensial aksi pada musculars sehingga terjadi kontraksi sepanjang serat otot tersebut (Darchman, 2012).
6
Gambar 2.1 Mekanisme yang terjadi pada neuromuscular junction
Penderita miastenia gravis mengalami pengurangan dalam jumlah AChR yang terdapat di motor end plate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaps sehingga terjadi pengurangan jumlah reseptor. Hal ini menyebabkan depolarisasi pada motor end plate menjadi sedikit dan tidak terjadi potensial aksi, akibatnya tidak terjadi kontraksi otot yang maksimal. Mekanisme yang menyebabkan terjadi mistenia gravis, antibodi terhadap AChR menginduksi endositosis sehingga terjadi deplesi pada AchR membran postsinaps, hal ini menyebabkan disfungsi pada reseptor dengan memblokir tempat berikatnya reseptor dengan asetilkolin, selain itu autoantibodi juda dapat merusak motor end plate sehigga terjadi kehilangan beberapa reseptor asetikolin (Darchman, 2012).
7
Gambar 2.2 Perbedaan neuromucular junction pada orang normal dengan miastenia gravis
Gambar 2.3 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi penghancuran autoantibodi terhadap AChR.
Miastenia gravis tidak menyerang otot polos dan jantung karena reseptor kolinergik yang bebeda.
Timus berperan dalam peningkatan
jumlah antibodi pada reseptor asetilkolin. Sebanyak 75% pasien miastenia gravis mengalami kelainan pada kelenjar timus sebanyak 85% dengan hiperplasia timur dan 15% mengalami timoma. Timus adalah organ yang mengatur imunitas terkait dengan sel T (Darchman, 2012).
8
Autoantibodi yang menyerang reseptor nikotinik asetilkolin secara tidak langsung menghambat kontraksi otot dan menyebabkan kelemahan otot. Antibodi anti aertilkolin reseptor atau antibodi anti AChR dideteksi sebanyak 90% pada penderita miastenia gravis generalisata. Hilangnya toleransi imunologik terhadap AChR belum dipahami sepenuhnya. Miastenia gravis juga dapat dihubungkan dengan “penyakit terkait sel B”, karena antibodi AChR yang terbentuk melalui sel B. Sel T menginduksi sel B untuk memproduksi antibodi. Asetilkolin reseptor memiliki 5 subunit salah satunya adalah reseptor gamma, antibodi IgG dapat menyerang subunit pada reseptor ini terutama reseptor alfa yang berperang sebaigai binding site dari asetilkolin. Selain itu, ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptorreseptor asetilkolin (Darchman, 2012).
Kelemahan pada otot-otot menyebabkan manifestasi ganguan otot okular terutama otot levator palperbra sehingga terjadi ptosis dan dipoplia. Gangguan pada otot wajah, laring, dan faring menyebabkan regurgitasi makanan, suara yang abnormal dan kesulitan untuk menutup rahang, sehingga banyak pasien yan mengalami keluhan sering tersedak dan suara yang parau. Kelemahan otot volunter dan pernafasa menyebabkan pernafasan menjadi tidak efektif (Darchman, 2012).
9
Bagan 2.1 Patofisiologi Miastenia gravis
E. Klasifikasi Myastenia Gravis Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (2009), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kelas I Terdapat kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal. b. Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
10
c. Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan. d. Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa. e. Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otototot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan tingkat sedang. f. Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan. g. Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan. h. Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat. i. Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan. j. Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
11
k. Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.
Tabel 2.1 Klasifikasi miastenia gravis berdasarkan MGFA Gejala Kelas
I II III IV V
Miastenia okular, kelemahan menutup mata Kelemahan ringan otot non okular Kelemahan sedang otot non okular Kelemahan berat otot non okular Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik Kelas II-IV dibagi menjadi subgrup : a. Predominan kelemahan otot ekstremitas dan dada b. Predominan kelemahan otot bulbar
F. Diagnosis a.
Anamnesa Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan kelemahan dan kelelahan otot. Kelemahan otot terjadi pada penggunaan otot secara berulang, dan semakin berat dirasakan. Gejala ini membaik dan dapat menghilang setelah penderita beristirahat. Awalnya otot yang terserang adalah otot kelopak mata dan gerakan bola. Pasien sering mengeluh kelumpuhan di otot tersebut yaitu mengantuk karena turunnya kelopak mata secara abnormal dan muncul gejala berupa penglihatan ganda (Mumenthaler dan Mattle, 2006). Setelah itu pasien mengeluh serangan pada otot
12
wajah berupa kesulitan untuk tersenyum, menguyah dan menelan makanan disertai gangguan berbicara apabila kelemahan terjadi pada palatm dan lidah. Kelemahan otot seluruh tubuh dapat terjadi dan dirasakan asimetris (Christiane, 2007). b. Pemeriksaan Fisik Penegakan diagnosis miastenia gravis dilakukan pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang jelas. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi tidak jelas. Penderita menjadi anartris dan afonis. Pemeriksaan lain yaitu penderita diminta untuk mengedipkan matanya terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Kemudian penderita disuruh istirahat, tampak suara dan ptosis membaik setelah penderita beristirahat (John, 2004). Beberapa tes dilakukan untuk diagnosis miastenia gravis, tes antara lain (Howard, 2008) : 1) Uji Tensilon (edrophonium chloride) : Disuntikkan 2 – 8 mg tensilon disuntikan IV. Setelah tensilon dimasukkan perhatikan otot-otot yang mengalami kelemahan, yaitu pada kelopak mata yang mengalami ptosis. Apabila ptosis terjadi akibat miastenia gravis maka ptosis akan hilang setelah injeksi tensilon diberikan. 2) Uji Prostigmin (neostigmin) : Neostigmin diberikan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara IM (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Kelemahan akan membaik tidak lama setelah pemberian neostigmin, seperti ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 3) Uji Kinin : Tablet kinin diberikan sebanyak 3 tab masing-masing 200 mg. Kemudian, berikan kembali 3 tablet setelah 3 jam dengan sediaan yang sama. Apabila kelemahan terjadi akibatan miastenia gravis, maka keluhan kelemahan akan semakin memberat. 4) Ice Pack Test : Aplikasikan ice pack pada kelopak mata setelah terjadi kelopak mata yang jatuh. Akan tampak perbaikan yang
13
signifikan pada bagian yang mengalami kelemahan pada penderita miastenia gravis. c. Pemeriksaan Penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium, yaitu tes antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalam serum; kadar melebihi 1,8 nmol/L meununjang diagnosis. Selain itu, juga diperlukan tes genetik. Antibodi terhadap reseptor asetilkolin ditemukan pada 80% miastenia gravis dewasa, pada 92% miastenia gravis juvenile atau masa pubertas dan post-pubertas, dan sebanyak 52% pada pre-pubertas. Ditemukan persentase tinggi seronegatif pada miastenia gravis anak, terutama pada pasien prepubertas atau dengan miastenia gravis juvenile terisolasi. Anak dengan yang antibodi terhadap reseptor asetilkolinnya negatif, tetapi gejala timbul pada usia lebih muda, mungkin suatu miastenia gravis kongenital. Sekitar 40% – 50% pasien yang antibodi terhadap reseptor asetilkolinnya negatif ternyata
memiliki
antibodi
terhadap
reseptor
muskarinik.
Miastenia gravis tipe muskarinik lebih sering pada wanita, klinis lebih berat dengan gejala, terutama pada bulbar dan otot-otot pernapasan, namun jarang terjadi pada anak-anak (Howard, 2008). 2) Single-fiber electromyography (SFEMG). Tindakan ini sangat sulit dilakukan pada anak-anak terkait tolerabilitas dan kepatuhan pasien, sehingga tidak jarang membutuhkan sedasi. SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). Repetitive Nerve Stimulation (RNS) Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
14
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi. 3) Radiologi a) Chest x-ray (foto roentgen thorak) dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum. b) Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia tua. c) MRI digunakan apabila diagnosis miastenia gravis sulit ditegakkan
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang
lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
G. Diagnosis Banding Diagnosa banding adalah penyakit dengan gejala kelemahan pada orofaringeal, atau kelemahan tungkai yaitu distrofi muskular, bulbar palsy yang progresif, ophtalmopelgia. Pemeriksaan fisik dan status neurologis disertai dengan tidak berkurangnya gejala dengan pemberian neostigmin atau edrophonium dengan jelas terlihat pada penyakit selain miastenia gravis. Beberapa kondisi seperti gangguan transmisi neuromuskular pada intoksikasi botulium, gigitan ular, intoksikasi organofosfat, dan sindrom Labert-Eaton dapat menampakan perbaikan gejala klinis setelah pemberian edoprhonium.
H. Tatalaksana Berdasarkan International consesnsus guidance for managemant of myasthenia gravis (2016) adalah sebagai berikut : a. Piridostigmin Piridostigmin adalah inhibitor asetilkonesterase harus digunaan sebagai terapi inisial pada pasien. Dosis harus disesuai dengan gejala yang dikeluhkan. Penghentian piridostigmin tanpa keluhan yang muncul menindikasikan pasien telah mencapai sasaran
15
terapi dan dapat dilakukan tappering pada terapi yang lain. Kortikosteroid atau imunosupresif harus digunakan pada semua pasien yang belum mncapai sasaran terapi setelah penggunaa piridostigmin yang adekuat. Dosis piridosgtimin adalah 30-120 mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi. b. Agen imunosupresif nonsteroid Agen imunosupresif nonsteroid harus digunakan sendirian ketika kortikosteroid dikontraindikasikan atau bisa digunakan sebagai konjugasi terapi inisial dengan kortikosteroid pada pasien dengan risiko efek samping penggunaan steroid. Agen nonsteroid juga digunakan pada respon inadekuat terapi dan gejala berulang yang tidak bisa berkurang dengan penggunaan steroid. Obat yang digunaan sebagai agen imunospuresif nonsteroid adalah
azathioprine,
cyclosporine,
mycophenolate
mofetil,
methotrexate dan takrolimus dengan azathioprine sebagai first line therapy karena efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat lainnya. Azathioprine
diberikan
secara
oral
dengan
dosis
pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai. Respon maksimal dapat terjadi setelah 12-36 bulan penggunaan. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
16
dosis, namun obat ini memiliki efek samping beupa nefrotosisistas dan hipertensi. c. Miastenia gravis refrakter Pasien dengan miastena gravis yang refrater harus diberikan terapi immunoglobulin intravena, plasma exchange atau (PE), cyclospospamide, dan rituximab. Penggunaan terapi PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi juga ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. IVIG atau intravena immunoglobulin diindikasikan pada pasien yang menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, selain itu timbul flu like symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise pada 24 jam pertama. Cyclophosphamide adalah suatu alkilating agent yang berefek pada proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.
17
d. Dosis imunosupressif dan durasi imunosupresif Ketika pasien sudah mencapai sasaran terapi, dosis dari kortikosteroid harus diturunkan secara bertahap. Pada imunosupresif non kortikosteroid, ketika sasaran terapi telah tercapai dosis dimaintenance 6 bulan sampai 2 tahun, dan diturunkan secara perlahan dengan dosis paling minimal. Dosis harus disesuai setiap 36 bulan. Penurunan dosis berhubungan dengan resiko terjadinya relaps yang akan menyebabkan dosis sesuai yang meningkat dibandingkan sebelumnya. e. Pasien harus dimonitoring mengenai efek samping dan komplikasi dari penggunaan obat imunosupresif. f. Thymectomy Pasien dengan miastenia gravis non-tymomatous operasi dapat dilakukan untuk meminimalisasi durasi dan dosis yang besar pada imunoterapi, digunakan pada pasien mengalami kegagalan terapi inisial dan pasien dengan intoleransi imunoterapi. Tujuan neurologi utama dari thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien (Gold et al., 2008). Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan). Thymectomy dilakukan saat pasien beada pada kondisi stabil.
I. Komplikasi Komplikasi yang mungkin dapat terjadi penderita miastenia gravis adalah sebagai berikut :
18
- Krisis miastenia adalah bentuk eksaserbasi dari miastenia gravis, terjadi kelumpuhan dengan episode akut kegagalan pernapasan yang memerlukan alat bantu pernapasan. Kelumpuhan terjadi pada otot-otot pernapasan, proses bernapas, atau kelumpuhan otot bulbar. Kondisi kritis pada pasien miastenia gravis ditandai dengan sudah tidak dapat menelan, ihkan sekret, atau bernapas adekuat tanpa bantuan alat. Krisis miastenia merupakan komplikasi yang berbahaya mengancam kehidupan sehingga memerlukan perawatan di intensive care untuk penatalaksanaan yang optimal (Filho, 2009). - Krisis kolinergik terjadi akibat dosis penghambat kolinesterase yang berlebihan dengan gejala berupa gejala kolinergik, seperti diare, kram abdominal, hipersalivasi, lakrimasi, inkontinensia urin, hipermotilitas saluran gastrointestinal, emesis, miosis. Krisis sini dapat menyebabkan bronkospasme, seperti wheezing, bronchorrhea, kegagalan napas, diaforesis, dan diakhiri dengan sianosis (Goldenberg, 2013).
J. Prognosis Penyebab kematian adalah krisis miastenia gravis. Faktor yang menentukan prognosis pada krisis miastenia gravis yaitu lamanya pemakaian respirator yang dapat menyebabkan atelektasis paru, anemia, dan infeksi Clostridium difficile. Pemberian penanganan dengan kombinasi antikolinesterase, obat imunosupresif, plasmafaresis, imunoterapi, dan perawatan intensif menghasilkan prognosis yang baik yaitu jangka hidup seperti orang normal. Mortalitas sebesar 3-4% terjadi pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun, miastenia gravis yang progresif, dan timoma (Shah, 2017).
19
KESIMPULAN
1. Miatenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang hubungan antara saraf dan muskulus sehingga terjadi kelemahan abnormal pada otot bila digunakan terus menerus dan akan membaik setelah penderita beristirahat. 2. Miastenia gravis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki 3. Genetik, pengaruh hormonal jenis kelamin, obat-obatan, infeksi, tumor, dan hiperplasia timus dapat menyebabkan miastenia gravis 4. Patomekanisme miastenia gravis diperankan oleh mekanisme imunologi. Kelainan autoimun yang terkait dengan pasien seperti autoimun tiroiditis, arthritis rhematoid, dan lupus erimatosus. Terdapat antibodi aterhadap reseptor asetil kolin yang dapat menghambat ikatan asetilkolin dengan reseptornya. 5. Tatalaksana
berupa
penggunaan
inhibitor
asetilkolinesterase,
imunosupressif steroid maupun steroid pada terapi inisial dan plasma exchange, imunoglobulin intravena pada miastenia gravis yang refrakter atau saat terjadi krisis miastneia gravis. Tindakan operasi timektomi dapat dilakukan dengan indikais tertentu.
20
DAFTAR PUSTAKA
Cavalcante, P., Perrine C., Renato M., Sonia B-A, Pia B., Rozen L.P. 2013. Etiology of myasthenia gravis: Innate immunity signature in pathological thymus. Autoimmunity Reviews 12: 863–874 Christiane, S.G., Toyka K.V. 2007. Myasthenia gravis: Pathogenesis and immunotherapy. Deutsches Arzteblatt 104: 420-426 Drachman, DB. 2012. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular Junction Kasper In: Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th ed. McGraw Hill Filho, J., dan Jose S. 2009. Neurocritical care of Myastenia Crisis. Current Clinical Neurology Miastenia Gravis and Related Disorder Kaminski : 175-183 Goldenberg , W. D. 2016. Emergent Management of Myasthenia Gravis Available at https://emedicine.medscape.com/article/793136-overview (Diakses pada 23 Oktober 2017) Howard, F.J. 2008. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider. St Paul: Myasthenia Gravis Foundation of America Howard, J. F. Myasthenia. 2008 Gravis, a Summary. Available at : http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_g ravis.htm (diakses pada 22 Oktober 2017) Jaretzki, A., R.J. Barohn, R.M. Ernstoff, H.J. Kaminski, J.C. Keesey, et al. 2000. Myasthenia gravis: Recommendations for clinical research standards. Neurology 55: 16–23 Khadilkar S.V., Sahni A.O., Patil S.G. 2004. Myasthenia Gravis. JAPI 52:897-903 Meriggiolo, M.N., Sanders D.B., 2009. Autoimmune myasthenia gravis: emerging clinical and biological heterogeneity. The lancet Neurology 8: 475-486 Sanders, D. B., Gil I.W., Michael B., Amelia E., Nils E.G., et al. 2016. International consensus guidance for management of myasthenia gravis: Executive summary. Neurology 87: 1-7 Setiyohadi B. 2009. Miologi In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing
21
Shah,
Aashit K. 2017. Myasthenia Gravis Available at https://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview (Diakses pada 23 Oktober 2017)
22