RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA NOMOR : 022/ PERDIR/ RSPKUSAMP/ XI/ 2018
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA
DIREKTUR RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA
Menimbang
:
a. bahwa dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, rumah sakit berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hakhak pasien; b. bahwa
salah satu standar penilaian dalam akreditasi rumah sakit
adalah implementasi hak-hak pasien pada pelayanan kesehatan; c. bahwa dalam rangka pemenuhan hak-hak pasien, rumah sakit perlu melakukan upaya-upaya sistematis dan terorganisir; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk memberikan kepastian hukum, perlu membentuk sebuah peraturan direktur.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran; 2. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; 3. Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit; 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis; 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
Kedokteran; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien;
MEMUTUSKAN
Menetapkan
: PERATURAN DIREKTUR TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
PKU
MUHAMMADIYAH SAMPANGAN SURAKARTA
Pasal 1 KETENTUAN UMUM (1) Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU Muhammadiyah Sampangan
Surakarta,
yaitu
institusi
pelayanan
kesehatan
yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. (2) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit Umum Daerah RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta. (3) Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui ole Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. (5) Karyawan Rumah Sakit adalah seluruh pegawai Rumah Sakit terdiri dari jajaran direksi/manajemen, Dokter dan Dokter Gigi, Tenaga Kesehatan, dan tenaga non kesehatan. (6) Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut Tindakan Kedokteran
adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik,
terapeutic atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(7) Tim Handling Komplain adalah tim yang dibentuk Rumah Sakit untuk menerima pengaduan Pasien dan keluarganya atas pelayanan kesehatan. (8) Panduan adalah merupakan petunjuk dalam melakukan kegiatan. (9) Standar Prosedur Operasional yang selanjutnya disebut SPO, merupakan suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses kerja rutin tertentu.
Pasal 2 HAK-HAK PASIEN
Setiap Pasien Rumah Sakit memiliki hak: (1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; (2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban Pasien (3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; (4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; (5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga Pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; (6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; (7) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; (8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; (9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya; (10)
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis ,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; (11)
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; (12)
didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(13)
menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu Pasien lainnya; (14)
memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit; (15)
mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya; (16)
menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya; (17)
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan stndar baik secara perdata ataupun pidana; dan (18)
mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT (1) Rumah Sakit berkewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak Pasien Rumah Sakit sebagaimana tercantum dalam Pasal 2, dengan memberlakukan peraturan dan standar Rumah Sakit, melakukan pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien, serta melakukan monitoring dan evaluasi penerapannya. (2) Seluruh Karyawan Rumah Sakit bertanggung jawab atas pelaksanaan hak-hak Pasien dengan melaksanakan segala ketentuan yang diatur dalam peraturan ini.
Pasal 4 PERSETUJUAN UMUM (GENERAL CONSENT) (1) Setiap Pasien berhak atas tubuhnya sendiri, dan untuk menghormati hak pasien tersebut, Rumah Sakit wajib menyampaikan persetujuan umum (general consent) kepada setiap Pasien dan/atau keluarga Pasien, sebelum Pasien memperoleh pelayanan di rawat jalan dan rawat inap. (2) Setiap Pasien wajib mengisi formulir Persetujuan Umum (General Consent) yang berisi tentang:
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
a. Persetujuan untuk perawatan dan pengobatan; b. Persetujuan pelepasan informasi; c. Hak dan tanggung jawab pasien; d. Informasi rawat inap; e. Privasi; dan f. Informasi Biaya. (3) Penyampaian persetujuan umum (general consent) sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, serta formulir Persetujuan Umum (General Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 5 PENYAMPAIAN INFORMASI TATA TERTIB SERTA HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN (1) Rumah Sakit wajib menyampaikan informasi tentang tata tertib/peraturan yang berlaku di Rumah Sakit serta hak dan kewajiban pasien. (2) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan pada saat pendaftaran Pasien di rawat inap dan rawat jalan bersama pengisian Persetujuan Umum (General Consent). (3) Tata tertib Rumah Sakit dan hak dan kewajiban pasien diberikan kepada Pasien
dan/atau
keluarganya
Pasien/Pengunjung
RS
PKU
dalam
bentuk
Muhammadiyah
leaflet
Tata
Sampangan
Tertib
Surakarta,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (4) Penyampaian
informasi
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(1),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 6 PENYAMPAIAN INFORMASI HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN (1) Dalam perawatan kesehatan yang dilaksanakan oleh Rumah Sakit, Pasien memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit, menggunakan fasilitas Rumah Sakit secara bertanggung jawab, menghormati
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
hak-hak pasien lain, pengunjung, dan hak Tenaga Kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di Rumah Sakit, memberikan memberikan informasi yang
lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya, memberikan
informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan yang dimilikinya,
mematuhi rencana
terapi
yang
direkomendasikan oleh
Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit yang disetujui oleh Pasien setelah mendapatkan penjelasan, mematuhi nasihat dan petunjuk Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan, dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. (2) Rumah Sakit dalam hal ini
wajib menyampaikan kewajiban pasien
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sehingga Pasien dapat berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab dalam pelayanan kesehatan yang diperolehnya di Rumah Sakit. (3) Penegasan kewajiban pasien terhadap pelayanan kesehatan, disampaikan kembali oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan kepada Pasien saat memperoleh pelayanan di rawat jalan maupun rawat inap. (4) Penyampaian
informasi
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat
(2),
pelaksanaannya mengacu pada Panduan Hak Dan Kewajiban Pasien Dalam Pelayanan, SPO Hak Pasien Dalam Pelayanan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 7 PENGADUAN ATAS KUALITAS PELAYANAN RUMAH SAKIT (1) Pasien berhak untuk menyampaikan pengaduan atas kualitas pelayanan Rumah Sakit. (2) Rumah Sakit wajib menyediakan fasilitas bagi pengaduan secara 24 (duapuluh empat) jam atas kualitas pelayanan Rumah Sakit. (3) Fasilitas bagi pengaduan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), meliputi pengaduan secara langsung melalui Unit Pengaduan Masyarakat, dan tidak langsung melalui kotak saran, website, telepon, media massa dan kuisioner. (4) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga merupakan tanggung jawab Tim Pelayanan
Pengaduan
ditindaklanjuti segera.
(Handling
Komplain)
Rumah
Sakit,
untuk
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(5) Pengaduan Pasien dan keluarga yang dilayani adalah pengaduan pasien dan keluarga yang bertujuan untuk perbaikan mutu pelayanan kesehatan. (6) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga memerlukan klarifikasi, maka Rumah Sakit wajib memberikan klarifikasi kepada Pasien dan Keluarga. (7) Apabila pengaduan Pasien dan keluarga tidak memerlukan klarifikasi, maka Rumah Sakit menangani pengaduan tersebut secara internal dan dijadikan bahan evaluasi bagi peningkatan kualitas pelayanan Rumah Sakit. (8) Setiap pengaduan Pasien dan keluarga kepada Rumah Sakit dituangkan dalam formulir Laporan Tindak Lanjut Pengaduan sebagaimana terlampir dalam Peraturan ini dan dilaporkan secara periodik kepada Direktur Rumah Sakit. (9) Dokumentasi Laporan Tindak Lanjut Pengaduan disimpan oleh Tim Handling Komplain (10)
Pelaksanaan pengaduan Pasien dan keluarga mengacu pada Panduan
Penyelesaian Keluhan/Komplain dan SPO Penanganan Keluhan/Komplain.
Pasal 8 DOKTER PENANGGUNG JAWAB PELAYANAN (1) Rumah Sakit wajib menyediakan Dokter penanggung jawab pelayanan bagi perawatan Pasien. (2) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan. (3) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan informasi secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya. (4) Informasi yang diberikan meliputi elemen-elemen sebagai berikut; a. Diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding) dan dasar diagnosis; b. Kondisi Pasien; c. Rancana tindakan; d. Tata cara dan tujuan tindakan; e. Manfaat dan risiko tindakan; f. Nama orang yang mengerjakan tindakan; g. Kemungkinan alternatif dari tindakan; h. Prognosis dari tindakan; i.
Kemungkinan hasil tidak terduga;
j.
Kemungkinan hasil bila tidak dilakukan tindakan.
(5) Dokter Penanggung Jawab Pelayanan dalam memberikan Informasi kepada pasien dilakukan secara lisan kemudian didokumentasikan secara tertulis pada
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
formulir pemberian informasi didalam rekam medis pasien yang sudah disediakan.
Pasal 9 PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG BERBEDA (SECOND OPINION) (1) Setiap Pasien berhak untuk meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Dokter lain yang memiliki Surat Ijin Praktik baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit. (2) Rumah Sakit memfasilitasi Pasien untuk memperoleh konsultasi dari Dokter lain baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit. (3) Pasien yang ingin memperoleh konsultasi dari Dokter lain, wajib mengisi formulir Persetujuan Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (4) Pelaksanaan second opinion di Rumah Sakit mengacu pada Panduan Permintaan Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) dan SPO Memperoleh Pendapat Medis Yang Berbeda (Second Opinion) yang tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 10 PRIVASI PASIEN (1) Setiap Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang dideritanya. (2) Rumah Sakit wajib menjaga identitas Pasien agar tidak dapat dibaca dan dilihat oleh khalayak umum. (3) Rumah Sakit wajib menjaga rahasia penyakit Pasien, dan tidak dibenarkan untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak lain, kecuali atas ijin Pasien dan/atau menurut peraturan perundang-undangan. (4) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien rawat inap kelas perawatan II dan III dengan cara Rumah Sakit memasang gorden/tirai pada setiap tempat tidur Pasien. (5) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien di ruang pemeriksaan dan tindakan dengan cara
menempatkan Pasien dalam ruang pemeriksaan, menutup
gorden, memasang selimut, mempersilakan keluarga Pasien untuk menunggu di luar, dan menutup pintu pada saat melakukan pemeriksaan dan tindakan.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(6) Rumah Sakit menjaga privasi Pasien pada saat melakukan transportasi Pasien dengan menutupi tubuh Pasien dengan selimut. (7) Tidak dibenarkan siapa pun membicarakan privasi Pasien di Rumah Sakit. (8) Rumah Sakit menjaga kerahasiaan rekam medis. (9) Rumah Sakit memfasilitasi pasien apabila menghendaki tidak mau dijenguk selama perawatan di Rumah Sakit. (10)
Pelaksanaan privasi pasien di Rumah Sakit mengacu pada Panduan Privasi
dan SPO Menjaga Privasi Pasien dan SPO Kerahasiaan Rekam Medis yang tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 11 MANAJEMEN NYERI (1) Setiap pasien berhak mendapatkan hak untuk dikelola masalah nyeri yang dideritanya. (2) Rumah sakit mengatur assesmen dan monitoring nyeri dalam panduan manejemen nyeri.
Pasal 12 PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT) (1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan harus meminta persetujuan Pasien, dan persetujuan tersebut diperoleh setelah Dokter/Dokter gigi dan Tenaga Kesehatan memberikan informasi yang memadai tentang tindakan kedokteran tersebut. (2) Setiap pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter/Dokter Gigi dan Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya dengan mengisi formulir Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Surat Pernyataan Penolakan Pengobatan. (3) Persetujuan tindakan kedokteran dilakukan untuk: a. semua tindakan pembedahan dan tindakan invasive; b. semua tindakan anastesi, dan sedasi sedang serta sedasi dalam; c. semua tindakan pemberian produk darah dan komponen darah; dan d. semua tindakan yang berisiko tinggi.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(4) Semua tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan obatobatan yang memerlukan persetujuan, dapat dilihat pada Daftar Tindakantindakan Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan Daftar Obat Yang Memerlukan Persetujuan Tindakan Kedokteran
(Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan ini. (5) Pelaksanaan persetujuan/penolakan tindakan kedokteran mengacu pada Panduan Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) dan SPO Penolakan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (6) Jika Pasien dan/atau keluarga Pasien memutuskan untuk menghentikan pengobatan dan pulang atas permintaan sendiri, Pasien wajib mengisi Surat Pernyataan Penolakan Pengobatan dan Surat Pernyataan Pulang APS yang tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (7) Pasien dapat menolak tindakan resusitasi dengan mengisi Formulir Penolakan Tindakan Resusitasi, dan pelaksanaannya mengacu pada Panduan Penolakan Resusitasi (Do Not Resucitation (DNR)), dan SPO Penolakan Tindakan Resusitasi.
Pasal 13 PELAYANAN KEROHANIAN (1) Setiap Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya selama hal tersebut tidak mengganggu Pasien lainnya. (2) Rumah Sakit mengidentifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien, dan wajib memperhatikan dan menghargai nilai serta keyakinan Pasien dan keluarga tersebut. (3) Pelaksanaan identifikasi agama dan keyakinan setiap Pasien mengacu pada Panduan Pelayanan Kerohanian. (4) Rumah Sakit memberikan pelayanan kerohanian kepada pasien sesuai dengan Panduan Pelayanan Kerohanian sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini. (5) Untuk pasien yang beragama islam, pelayanan rohani diberikan saat pasien menjalani perawatan di rawat inap Rumah Sakit. Untuk pasien non muslim, pasien berhak meminta pelayanan kerohanian dengan mengisi formulir
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
Permintaan
Pelayanan
Kerohanian.
Selanjutnya
Rumah
Sakit
akan
memfasilitasi pelayanan kerohanian dengan memanggil petugas dari pihak Kementrian Agama kota Surakarta. (6) Pelayanan kerohanian pada Pasien dapat berupa motivasi, konsultasi, ceramah, agama, atau do’a yang dipimpin oleh rohaniawan. (7) Pada Pasien terminal, Rumah Sakit menawarkan bimbingan rohani dan Pasien didampingi keluarganya.
Pasal 14 PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK PASIEN (1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama perawatan di Rumah Sakit. (2) Pasien tidak dibenarkan memakai dan membawa perhiasan dan barang berharga lainnya dengan sengaja selama dirawat di Rumah Sakit, dan dalam hal ini Rumah Sakit tidak bertanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan pada barang-barang tersebut. (3) Rumah Sakit tidak menerima penitipan uang atau barang-barang berharga pada pasien yang sadar atau ada pendamping keluarga. (4) Pada Pasien tidak sadar/hilang ingatan dan tanpa pendamping keluarga, Rumah Sakit bertanggung jawab atas perhiasan dan barang berharga Pasien, serta dalam hal ini Rumah Sakit menyediakan loker khusus penyimpanan barang berharga Pasien dan menyiapkan Formulir Penitipan Harta Benda Milik Pasien. (5) Pelaksanaan perlindungan terhadap harta dan benda milik Pasien di Rumah Sakit mengacu pada Panduan Perlindungan Harta Dan Benda Milik Pasien dan
SPO
Perlindungan
Harta
Benda
Milik
Pasien
dan
SPO
Penitipan/Penyimpanan Barang Milik Pasien sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 15 PERLINDUNGAN PASIEN TERHADAP KEKERASAN FISIK
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229
SURAKARTA
Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
(1) Setiap Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama perawatan di Rumah Sakit. (2) Seluruh karyawan Rumah Sakit wajib menggunakan tanda pengenal. (3) Seluruh pengunjung, tamu dan pekerja lepas di Rumah Sakit wajib teridentifikasi. (4) Rumah Sakit memberikan perlindungan keamanan secara khusus kepada populasi yang rentan kekerasan fisik, seperti: bayi dan anak-anak, Pasien cacat, Pasien lanjut usia, Pasien perempuan yang mengalami kekerasan, orang dengan gangguan jiwa, pasien tidak sadar atau pasien koma. (5) Rumah Sakit menempatkan kamera CCTV pada area-area beresiko seperti Ruang Anak, Ruang Bersalin dan ruang bayi. (6) Pelaksanaan perlindungan Pasien terhadap kekerasan fisik mengacu pada Panduan Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik, dan SPO sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 16 PELAYANAN PASIEN TERMINAL (1) Setiap Pasien mempunyai hak untuk didampingi keluarga saat kondisi kritis. (2) Rumah Sakit menghormati hak Pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan Pasien terminal sesuai agama dan kepercayaannya. (3) Pelaksanaan pelayanan Pasien terminal mengacu pada Panduan Pelayanan Pasien Terminal dan SPO Pelayanan Pasien Terminal sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan ini.
Pasal 17 LAIN-LAIN (1) Rumah Sakit tidak melakukan penelitian klinis. (2) Rumah Sakit tidak melakukan donasi organ.
RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SAMPANGAN Semanggi RT 002 / RW 020 Pasar Kliwon 0271-633894 Fax : 0271-630229 Sehat-aMANah-taNGGungjawab-Islami
SURAKARTA Pasal 18 PENUTUP Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Pada tanggal
: Surakarta : 1 November 2018
Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta
dr. Rosnedy Ariswati, M.Kes NBM: 827348
LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH
SAKIT
MUHAMMADIYAH
PKU SAMPANGAN
SURAKARTA NOMOR: 022/ PERDIR/ RSPKUSAMP/ XI/ 2018 TENTANG PELAKSANAAN
PEDOMAN HAK
DAN
KEWAJIBAN PASIEN
LAMPIRAN I: PANDUAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
BAB I DEFINISI
1.
Hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu yang merupakan kebutuhan pibadinya, sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas.
2.
Kewajiban adalah tanggung jawab seseorang untuk melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan haknya.
3.
Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
4.
Persetujuan Umum atau General Consent adalah pernyataan kesepakatan yang diberikan oleh pasien terhadap peraturan Rumah Sakit yang bersifat umum.
5.
Persetujuan Tindakan atau Informed Consent adalah pernyataan setuju (consent) atau izin dari seseorang (pasien) yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi (informed) yang cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud.
Penjelasan hak dan kewajiban pasien dalam pelayanan adalah informasi yang diberikan oleh pihak Rumah Sakit kepada pasien atau keluarganya yang mencakup informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Hak pasien dan keluarga merupakan pelaksanaan hak asasi manusia atas pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dilindungi oleh hukum, sehingga seluruh
3
staf rumah sakit bertanggungjawab melindungi dan mengedepankan hak pasien dan keluarga.
Tujuannya agar pasien dan keluarga memahami apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
BAB II RUANG LINGKUP
1. Setiap pasien mempunyai hak: a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. b. Pasien berhak memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien. c. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur dan tanpa diskriminasi. d. Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu sesuai dengan standar profesi kedokteran / kedokteran gigi dan sesuai dengan standar prosedur operasional (SPO). e. Pasien berhak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan. g. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit. h. Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang mempunyai SIP (Surat Izin Praktik) yang terdaftar di rumah sakit tersebut maupun di luar Rumah Sakit (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat. i.
Pasien berhak atas privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
j.
Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi : 1) Penyakit yang diderita atau diagnosis, tata cara tindakan medis apa yang hendak dilakukan dan tujuan tindakan medis.
4
2) Kemungkinan penyakit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya. 3) Alternatif terapi lainnya. 4) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. 5) Prognosis. 6) Perkiraan biaya pengobatan. k. Pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya dan berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya
dan
mengakhiri
pengobatan
serta
perawatan
atas
tanggungjawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya. l.
Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
m. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya. n. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit. o. Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan perlakuan rumah sakit terhadap dirinya. p. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. q. Menggugat atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata maupun pidana. r. Mengeluhkan pelayanan Rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektonik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Setiap pasien mempunyai kewajiban : a. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang masalah kesehatannya. b. Mengetahui kewajibannya dan tanggungjawab pasien dan keluarga. c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti. d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan. e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan Rumah Sakit. f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
5
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
BAB III TATA LAKSANA
1. Penjelasan Tentang hak dan kewajiban pasien a. Hak dan kewajiban pasien secara lengkap tercantum dalam persetujuan umum (general consent). b. Pasien/keluarga wajib membaca uraian hak dan kewajiban yang tercantum dalam persetujuan umum (general consent). c. Petugas isi mempunyai tanggungjawab dalam memberikan penjelasan kepada pasien/keluarga tentang hak dan kewajiban pasien dalam bahasa yang mudah difahami. d. Informasi yang diberikan petugas isi meliputi : (1) Hak dan kewajiban sebagai pasien. (2) Persetujuan pelayanan kesehatan. (3) Akses infomasi kesehatan. (4) Rahasia medis. (5) Privasi. (6) Barang pribadi. (7) Pengajuan keluhan. (8) Kewajiban pembayaran. (9) Tata tertib pasien (10) Pelayanan kerohanian e. Jika diperlukan mintalah kepada pasien/keluarga untuk mengulang beberapa penjelasan terpenting yang telah diberikan sebagai bukti verifikasi bahwa pasien/keluarga telah memahaminya. f. Berikan kesempatan pasien/keluarga untuk bertanya. g. Pastikan pasien/keluarga menandatangani fomulir persetujuan umum (general consent). h. Fomulir persetujuan umum (general consent) disimpan dalam rekam medis pasien yang bersangkutan. i.
Salinan tentang hak dan kewajiban pasien diberikan kepada pasien/keluarga dalam bentuk leaflet.
2. Akses mendapatkan informasi hak dan kewajiban pasien
6
Informasi tentang hak dan kewajiban pasien dapat diperoleh pasien/ keluarga/ pengunjung Rumah Sakit melalui : a. Petugas isi Rumah Sakit. b. Petugas Informasi. c. Petugas medis dan perawat. d. Infomasi tertulis tentang hak dan kewajiban pasien tercantum pada : (1) Formulir persetujuan umum (general consent). (2) Leaflet tentang hak dan kewajiban pasien. (3) X-Banner yang berisi tentang hak dan kewajiban pasien.
BAB IV DOKUMENTASI
1.
Seluruh pasien yang dirawat inap maupun yang dirawat jalan untuk pertama kali, wajib mendapat penjelasan dan menandatangani persetujuan umum (general consent).
2.
Penjelasan tentang persetujuan umum (general consent) dilakukan dibagian isi meliputi penjelasan tentang hak dan kewaiban pasien, persetujuan pelayanan kesehatan, rahasia medis, privasi, barang pribadi, pengajuan keluhan, kewajiban pembayaran, tata tertib pasien, dan pelayanan kerohanian.
3.
Formulir
persetujuan
umum
(general
consent)
ditandatangani
pasien/keluarga dan disimpan dalam rekam medis pasien yang bersangkutan. 4.
Leaflet, X-Banner tentang hak dan kewajiban pasien.
LAMPIRAN II: PANDUAN PENYELESAIAN KELUHAN/KOMPLAIN
7
BAB I DEFINISI
1. Keluhan/komplain
pelanggan
adalah
suatu
bentuk
pernyataan
ketidakpuasan/kekecewaan pelanggan mengenai kebutuhan dan harapan yang tidak terpenuhi. Pernyataan dapat disampaikan dengan melalui berbagai saluran. 2. Komplain atau keluhan adalah saran dan masukan berupa kritikan dan atau keberatan yang disampaikan secara lisan ataupun tertulis dari pihak eksternal maupun internal rumah sakit mengenai kinerja yang dihasilkan oleh rumah sakit/perusahaan. 3. Marah adalah perasaan seseorang akibat pengalaman yang tidak memuaskan atau mengganggu. Luapan tersebut akibat tekanan yang terlampau besar. Kemarahan dalam bentuk komplain atau keluhan bisa disampaikan langsung pada pihak terkait, tapi bisa juga disampaikan pada pihak-pihak luar.
Rumah sakit sebagai penyedia layanan harus bisa memastikan bahwa dia mengetahui apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh pelanggan. Apabila ada kebutuhan/ harapan pelanggan yang belum terpenuhi maka mereka pasti akan kecewa. Hanya sedikit dari pelanggan yang mau mengungkapkan kekecewaannya melalui komplain. Untuk mengatasi hal tersebut, rumah sakit sebagai pemberi layanan mempunyai kewajiban untuk mencoba memenuhinya dan juga menyiapkan saluran komplain untuk menampung keluhan pelanggan agar mereka tidak mencari saluran lain diluar rumah sakit. Klien/kostumer yang marah biasanya ingin: a. Didengar b. Dimengerti c. Dihormati d. Diberi permintaan maaf e. Diberi penjelasan f. Ada tindakan perbaikan dalam waktu yang tepat
A. Strategi Meredam Kemarahan Pelanggan 1. Dengarkan
8
a. Biarkan
klien
melepaskan
kemarahannya.
Cari
fakta
inti
permasalahannya, jangan lupa bahwa pada tahap ini kita berurusan dengan perasaan dan emosi, bukan sesuatu yang rasional. Emosi selalu menutupi maksud klien yang sesungguhnya. b. Dengarkan dengan empati, bayangkan kita berada dalam posisi klien yang lelah, gelisah, sakit, khawatir akan vonis dokter, dll. c. Tatap mata klien dan fokus, jauhkan semua hal yang merintangi konsentrasi kita pada klien (telepon, tamu lain,dll). d. Ulangi setiap fakta yang dikemukakan klien, sebagai tanda kita benar-benar mendengarkan mereka. 2. Berusaha sependapat dengan pelanggan a. Bukan berarti kita selalu membenarkan klien/kostumer, kita mencari point-point dalam pernyataan yang bisa kita setujui. b. Misalnya : “ Ya Pak, saya sependapat bahwa tidak seharusnya pasien menunggu lama untuk bisa mendapatkan kamar. Tapi saat ini kamar perawatan kami memang sedang penuh, kami berjanji akan mencari jalan keluarnya dan melaporkannya pada Bapak sesegera mungkin”. 3. Tetap tenang dan kuasai diri a. Ingatlah karakteristik pelanggan di rumah sakit adalah mereka yang sedang cemas, gelisah dan khawatir akan kondisi diri atau keluarganya, sehingga sangat bisa dimengerti bahwa dalam kondisi seperti itu seseorang cenderung bertindak emosional. b. Berhati-hati dengan nada suara, harus tetap rendah, positif dan menenangkan. Jangan terbawa oleh nada suara klien yang cenderung tinggi dan cepat. c. Sampaikan informasi dengan sopan dan pelan-pelan. d. Tetap gunakan kata-kata hormat seperti silakan, terimakasih atas masukannya, dan sebut klien dengan namanya. 4. Mengakui kemarahan kostumer Gunakan kata-kata seperti,”Saya mengerti kalau Ibu menjadi marah. Ibu benar, kalau saya jadi Ibu mungkin saya juga akan marah. Saya berjanji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari”. 5. Permohonan maaf a. Dalam rangka meredamkan marah kita harus meminta maaf apapun yang terjadi.
9
b. Permohonan maaf dapat disampaikan tanpa harus mengakui kesalahan, karena sering kali terjadi kesalahan justru ada pada kostumer/klien yang belum memahami peraturan. c. Misalnya ”Saya mohon maaf atas kesalahfahaman ini”atau “Saya mohon maaf atas kesulitan yang telah Ibu alami”. 6. Perlihatkan empati a. Simpati: Berhenti pada rasa kasihan. “Saya simpati dengan korban bencana alam”. b. Empati memahami masalah klien/kostumer dan berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaiki. c. Pahami persepsi klien/kostumer dan tempatkan pada posisi klien.
B. Hal-hal Yang Tidak Boleh Dilakukan 1. Jangan berdebat Ingat bahwa saat ini kita masih dalam proses meredakan kemarahan klien. Kesempatan untuk menjelaskan fakta dan kebenaran akan datang setelah kustomer/klien reda dan menjadi lebih logis dan rasional. 2. Jangan bertanya “Kenapa?” a. “Kenapa Ibu tidak datang lebih pagi?” b. “Kenapa kartu pasien Ibu bisa hilang?” c. Pertanyaan seperti itu cenderung meningkatkan kemarahan kostumer karena mereka merasa disalahkan. 3. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan atau mematuhi persepsi kita 4. Konsep dua belas tabu a. Menyalahkan, “Jangan marah-marah dulu dong Bu, Ibu sendiri yang datang terlambat”. b. Sarkastik (sinis), “Bisa saja hal ini saya lakukan, tapi biayanya cukup besar lho Pak”. c. Menjelekan pihak lain, ”Iya memang perawat itu orangnya judes”. d. Memotong pembicaraan kostumer. e. Memberikan isyarat non verbal yang berlawanan dengan perkataan verbal. “Ya, saya akan membantu semaksimal mungkin” dengan ekspresi datar atau jemu. f. Melempar ke pihak lain, ”Wah itu urusan bagian IGD bu”.
10
g. Menggunakan kata-kata klise, ”Ini peraturan bakunya, Rumah sakit lain pasti lebih sulit”. h. Hindari humor, humor bisa dilakukan nanti saat masalah sudah selesai dan emosi kostumer sudah sepenuhnya reda. i. Minta dikasihani, ”Mohon maklum bu saya sedang ada masalah keluarga”, ”Kalo atasan saya tahu, saya bisa kehilangan pekerjaan,” j. Pukul rata masalah dan menganggap komplain tersebut adalah hal biasa. Kostumer akan merasa heran karena perusahaan mengambil langkah untuk memperbaiki masalah yang sudah biasa ini. k. Mencari-cari kesalahan kostumer, ”Ya memang kami lalai, tapi Bapak juga jangan lapor dulu”. l. Memakai istilah teknis yang tidak dimengerti orang awam.
C. Cara Memecahkan Permasalahan 1. Identifikasi a. Tentukan pokok masalah, coba dapatkan detilnya untuk membantu mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Cara yang paling efektif adalah dengan bertanya langsung, “Berapa nomor antrian yang Ibu dapatkan?” b. Pada akhir pembicaraan seharusnya sudah ada jawaban atas tiga pertanyaan berikut: 1) Apa yang terjadi sehingga pelanggan marah ? 2) Perlakuan apa yang diterima pelanggan ? 3) Apa yang pelanggan inginkan? 2. Penilaian (Asessment) a. Pada tahap ini kita sudah memahami permasalahan pelanggan dan sudah bisa membayangkan bagaimana pemecahannya. b. Yang perlu dipertimbangkan adalah, pengaruh munculnya masalah ini pada orang banyak dan pada Rumah Sakit. c. Resiko cost: biaya, waktu, tenaga. d. Ketidaknyamanan pelanggan. 3. Negosiasi 4. Tindakan a.
Proses ini berdasarkan pada APA dan KAPAN
11
b.
Pelanggan harus tahu apa yang akan terjadi pada keluhan mereka setelah mereka menyampaikan keluhannya, dan kapan hal itu akan dilaksanakan
c.
Tentukan tenggat waktu yang realistis, lebih baik kita mempunyai banyak waktu dalam merealisasikan janji kita
d.
Bila ternyata sampai pada tenggat waktu yang ditentukan namun janji belum terealisasikan, segera hubungi pelanggan dan jelaskan permasalahannya
D. Pengaruh Respon Organisasi Terhadap Sikap Pelanggan Pasca Pelayanan Respon organisasi terhadap keluhan akan dievaluasi oleh pelanggan, hasilnya adalah kepuasan dan ketidakpuasan terhadap penanganan keluhan. Dari kepuasan atau ketidakpuasan tersebut akan dapat mempengaruhi cerita pelanggan kepada orang lain (word of mouth likelihood), isi cerita yang disampaikan tersebut bisa bersifat negative maupun bersifat positive (word of mouth valence). Dari aktivitas word of mouth tersebut juga akan mempengaruhi pelanggan untuk kembali (mendapatkan pelayanan ulang di tempat tersebut). Terdapat enam buah dimensi respon organisasi yang dihipotesiskan yang mempengaruhi kepuasan menyeluruh dari pelanggan yang mengeluh dan juga mempengaruhi akfivitas word of mouth serta keinginan untuk kembali (intention to repurchase) sebagai berikut : 1) Timeliness yaitu kecepatan waktu dalam merespon pengaduan 2) Facilitation (Mekanisme atau prosedur yang digunakan organisasi untuk mendukung keluhan pelanggan) Pemfasilitasian akan membuat keluhan pelanggan didengar oleh organisasi. 3) Redress (Perbaikan) salah satu respon yang diharapkan pelanggan ketika memiliki masalah adalah perbaikan / penggantian yang adil. Menurut Conlon dan Muray (1996) memperlihatkan bahwa perbaikan memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan dan keinginan untuk membeli ulang. 4) Apology (Permintaan maaf) permintaan maaf bukanlah suatu ungkapan bahwa organisasi telah bersalah, tetapi lebih sebagai sebuah indikasi bahwa organisasi memperhatikan keluhan / komplain pelanggan secara serius dan akan menangani keluhan tersebut.
12
5) Credibility
(Kredibilitas)
kredibilitas
merujuk
kepada
keinginan
organisasi untuk menyikapi bahwa pelanggan telah mendapat masalah. Menurut Morris, 1988, organisasi dievaluasi tidak hanya oleh tanggapan organisasi terhadap keluhan tetapi juga penjelasan / perhitungan mengenai masalah yang telah dihadapi pelanggan dan juga apa yang akan dilakukan organisasi untuk mencegah agar kejadian yang sama tidak terjadi di masa depan. 6) Attentiveness (Perhatian)perhatian merujuk pada cara memberikan perhatian dan komunikasi oleh organisasi kepada pelanggan yang mengeluh interaksi antara organisasi dengan pelanggan yang mengeluh dapat meningkatkan / mengurangi kepuasan pelanggan.
Keenam dimensi respon organisasi tersebut diatas akan mempengaruhi kepuasan pelanggan (satisfaction) secara menyeluruh. Kepuasan adalah perasaan senang secara menyeluruh dari pelanggan terhadap organisasi yang telah merespon / menangani keluhan pelanggan dengan baik. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, disebutkan bahwa kepuasan pelanggan terhadap penanganan keluhan berkolerasi positif dengan aktivitas word of mouth dan keinginan untuk membeli ulang. word of mouth likelihood didefinisikan sebagai kemungkinan pelanggan yang mengeluh akan menceritakan pengalamannya terhadap orang lain dan word of mouth valence didefinisikan sebagai isi dari cerita pelanggan yang diceritakan kepada orang lain tersebut dimana isi cerita bisa bersifat positif maupun negative. Pelanggan yang puas akan melakukan aktifitas word of mouth kepada orang lain, dan dia akan bertindak konsisten sesuai dengan apa yang telah dia katakan kepada orang lain tersebut. Apabila pelanggan yang mengeluh mendapatkan
respon
yang
menyenangkan
dari
organisasi,
maka
kemungkinan untuk menceritakan pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut akan semakin kecil.
BAB II RUANG LINGKUP
13
Ruang lingkup manajemen Komplain pada Rumah Sakit adalah sebagai berikut: a. Prosedur pelayanan b. Persyaratan pelayanan c. Kejelasan petugas pelayanan d. Kedisiplinan petugas pelayanan e. Tanggung jawab petugas pelayanan f. Kemampuan petugas pelayanan g. Kecepatan pelayanan h. Keadilan mendapatkan pelayanan i.
Kesopanan dan keramahan petugas pelayanan
j.
Kewajaran biaya pelayanan
k. Kepastian biaya pelayanan l.
Kepastian jadwal pelayanan
m. Kenyamanan lingkungan n. Keamanan pelayanan
BAB III TATA LAKSANA 1. Media – Media yang Digunakan dalam Penanganan Keluhan / Komplain a. Kotak Saran b. Telepon c. Website 2. Alur Penanganan Keluhan/Komplain Pelanggan
14
Direktur RS PKU Sampangan
Manajer Mutu dan IT
Tim Handling Komplain
Unit terkait Media Pengaduan :
Pengaduan Masyarakat
Kotak saran Telepon Website RS Kuisioner
BAB IV DOKUMENTASI
1. Laporan petugas unit terkait terkait pengaduan masyarakat. 2. Laporan pembahasan dan analisa komplain oleh tim handling komplain. 3. Tindak lanjut komplain bila belum ada penyelesaian oleh manajer mutu dan direktur.
LAMPIRAN III: PANDUAN PERMINTAAN PENDAPAT MEDIS YANG BERBEDA (SECOND OPINION)
15
BAB I DEFINISI
Second Opinion adalah pendapat medis yang diberikan oleh dokter lain terhadap suatu diagnose atau terapi maupun rekomendasi medis lain terhadap penyakit yang diderita pasien. Opini Medis adalah pendapat, pikiran atau pendirian dari seorang dokter atau ahli medis terhadap suatu diagnose, terapi dan rekomendasi medis lain terhadap penyakit seseorang. Undang-Undang no.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian 4 pasal 32 poin H tentang hak pasien menyebutkan:“setiap pasien memiliki hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun diluar rumah sakit”. Kesalahan diagnosis dan perbedaan penatalaksanaan pengobatan dokter yang satu berbeda dengan dokter lainnya sering terjadi di belahan dunia manapun. Di negara yang paling maju dalam bidang kedokteran pun, para dokter masih saja sering melakukan overdiagnosis, overtreatment atau wrong diagnosis pada penanganan pasiennya.
BAB III RUANG LINGKUP Permasalahan kesehatan yang memerlukan second opinion yaitu: 1. Keputusan dokter mengenai tindakan operasi, diantaranya operasi usus buntu, operasi amandel (tonsilektomi), operasi caesar, operasi hordeolum (bintitan), operasi ligasi ductus lacrimalis (mata belekan dan berair terus) dan tindakan operasi lainnya. 2. Keputusan dokter tentang pemberian obat jangka panjang lebih dari 2 minggu, misalnya pemberian obat TBC jangka panjang, pemberian antibiotika jangka panjang, pemberian anti alergi jangka panjang dan pemberian obat-obat jangka panjang lainnya. 3. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemberian obat yang sangat mahal: baik obat minum, antibiotik atau pemberian susu.
16
4. Kebiasaan dokter memberikan terlalu sering antibiotika berlebihan pada kasus yang tidak seharusnya diberikan: seperti infeksi saluran nafas, diare, muntah, demam virus, dan sebagainya. BRUiasanya dokter memberikan diagnosis infeksi virus tetapi selalu diberi antibiotik. 5. Keputusan dokter dalam mengadviskan pemeriksaan laboratorium dengan biaya sangat besar dan tidak sesuai dengan indikasi penyakit yang dideritanya. 6. Keputusan dokter mengenai suatu penyakit yang berulang diderita misalnya: penyakit tipes berulang, pada kasus ini sering terjadi overdiagnosis tidak mengalami tifus tetapi diobati tifus karena hasil laboratorium yang menyesatkan. 7. Keputusan diagnosis dokter yang meragukan: biasanya dokter tersebut menggunakan istilah “gejala” seperti gejala tifus, gejala demam berdarah, gejala usus buntu dan lain-lain. 8. Keputusan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak direkomendasikan oleh institusi kesehatan nasional atau internasional.
BAB III TATA LAKSANA 1. Prosedur Meminta Second Opinion a. Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit. b. Pastikan pasien sudah mendapat informasi yang benar mengenai proses penyakit yang dideritanya dari DPJP. c. Hindari hal yang menyebabkan pasien/keluarga tidak tenang. d. Berikan penguatan terhadap informasi yang diberikan oleh tim kesehatan lain dengan tepat. e. Jika pasien/keluarga masih bingung, dukung pasien untuk mencari/mendapakan second opinion sesuai kebutuhan/indikasi. f. Jelaskan
kepada
pasien/keluarga
tentang
hal
yang
perlu
dipertimbangkan dalam meminta pendapat lain. g. Siapkan formulir permintaan pendapat lain/second opinion dan rekam medis pasien.
17
h. Persilahkan pasien/keluarga mengisi formulir dengan lengkap dan menandatanganinya. i.
Fasilitasi pasien untuk mendapatkan penjelasan second opinion dari dokter dengan kompetensi yang sama.
2. Edukasi Pasien atau Keluarga Sebelum Melakukan Second Opinion a. Berikan saran untuk mencari second opinion kepada dokter yang sesuai kompetensinya atau keahliannya. b. Rekomendasi atau pengalaman keberhasilan pengobatan temana atau keluarga terhadap dokter tertentu dengan kasus yang sama sangat penting untuk dijadikan referensi. Karena, pengalaman yang sama tersebut sangatlah penting dijadikan sumber referensi. c. Anjurkan mencari informasi sebanyak-banyaknya di internet tentang permasalahan kesehatan yang tersebut. Jangan mencari informasi sepotong-sepotong, karena seringkali akurasinya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Carilah sumber informasi internet dari sumber yang kredibel seperti WHO, CDC, IDAI, IDI, atau organisasi resmi lainnya. d. Keputusan second opinion dalam keadaan emergensi atau kondisi tertentu juga harus dilakukan dalam waktu singkat hari itu juga, seperti operasi usus buntu. e. Anjurkan mencari second opinion terhadap dokter yang dapat menjelaskan dengan mudah, jelas, lengkap, dan dapat diterima dengan logika biasanya dokter tersebut akan menjelaskan tidak berbelit-belit dan mudah diterima. Dokter yang cerdas dan bijaksana biasanya tidak akan pernah menyalahkan keputusan dokter sebelumnya atau tidak akan pernah menjelek-jelekkan dokter sebelumnya atau menganggap dirinya paling benar. f. Ketika melakukan second opinion sebaiknya awalnya jangan menceritakan dulu pendapat dokter sebelumnya, agar dokter terakhir tersebut dapat objektif dalam menangani kasusnya. Kecuali dokter tersebut menanyakan pengobatan yang sebelumnya pernah diberikan atau pemeriksaan yang telah dilakukan.
18
g. Jangan menggurui dokter yang bila sudah memperoleh informasi tentang kesehatan, karena informasi yang Anda dapat belum tentu benar. Tetapi sebaiknya diskusikan informasi yang didapat kemudian mintakan pendapat dokter tersebut tentang hal itu. h. Bila pendapat kedua dokter tersebut berbeda, maka ambil salah satu keputusan tersebut berdasarkan argument yang
dapat
diterima
secara logika. Atau, dalam keadaan tertentu ikuti advis dari dokter tersebut bila terdapat perbaikan bermakna dan sesuai penjelasan dokter maka keputusan tersebut mungkin dapat dijadikan pilihan. Bila hal itu masih membingungkan, tidak ada salahnya melakukan pendapat ketiga. Biasanya, dengan berbagai pendapat tersebut penderita akan dapat memutuskannya. Bila pendapat ketiga tersebut masih sulit dipilih biasanya kasus yang dihadapi adalah kasus yang sangat sulit. i.
Keputusan second opinion terhadap terapi alternatif sebaiknya tidak dilakukan karena pasti terjadi perbedaan pendapat dengan pemahaman tentang kasus yang berbeda dan latar belakang keilmuan yang berbeda.
j.
Kebenaran ilmiah dibidang kedokteran tidak harus berdasarkan senioritas dokter atau gelar professor yang disandang. Tetapi berdasarkan kepakaran dan landasan pertimbangan kejadian ilmiah berbasis bukti penelitian di bidang kedokteran (evidence base medicine).
BAB IV DOKUMENTASI Bukti permintaan pendapat lain dari pasien/keluarga berupa formulir persetujuan permintaan pendapat lain (second opinion) yang telah terisi lengkap dan ditandatangani. Formulir tersebut kemudian disimpan dalam rekam medis pasien yang bersangkutan.
LAMPIRAN IV: PANDUAN PRIVASI
19
BAB I DEFINISI
1.
Kerahasiaan pribadi (Privasi) adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari public, atau untuk mengotrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi kadang dihubungkan dengan anonimitas walaupun anonimitas terutama lebih dihargai oleh orang yang dikenal public. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dar keamanan.
2.
Privasi
merupakan
tingkatan
interaksi
atau
keterbukaan
yang
dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindari atau berusaha supaya sulit dicapai orang lain. 3.
Adapun defenisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan atau kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain.
4.
Identifikasi privasi pasien adalah suatu proses untuk mengetahui kebutuhan privasi pasien selama dalam rumah sakit
5.
Privasi pasien adalah merupakan hak pasien yang perlu dilindungi dan dijaga selama dalam rumah sakit. Guna mengetahui kebutuhan pasien akan privasinya selama dalam rumah sakit sebagai bentuk kepedulian Rumah Sakit yang diterapkan untuk melindungi hak-hak asasi pasien (hak privasi).
6.
Faktor privasi
7.
Ada perbedaan jenis kelamin dalam privasi, dalam suatu penelitian pria lebih memilih ruangan yang terdapat tiga orang sedangkan wanita tidak mempermasalahkan isi dalam ruangan itu. Menurut Maeshall perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan privasi.
8.
Faktor situasional
20
9.
Kepuasan akan berhubungan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk mandiri
10. Faktor budaya 11. Pada penelitian tiap-tiap budaya tidak ditemukan perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan tetapi berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi. Misalnya rumah orang jawa tidak terdapat pagar dan menghadap ke jalan, tinggal dirumah kecil dengan dinding dari bambu terdiri dari keluarga tunggal anak,ayah,dan ibu
BAB II RUANG LINGKUP
Pasien rawat inap maupun rawat jalan berhak mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya. Lingkup hak pasien dalam hal privasi melliputi : a. Privasi identitas pasien. b. Privasi di ruang perawatan. c. Privasi di ruang pemeriksaan. d. Privasi saat dilakukan tindakan. e. Privasi saat dimandikan. f. Privasi saat membantu BAB/BAK. g. Privasi saat transportasi. h. Privasi saat di kamar operasi. i.
Privasi rekam medis.
j.
Privasi saat akan mengakhiri kehidupan.
BAB III
21
TATA LAKSANA
1. Menjaga Privasi Identitas Pasien a. Menjaga identitas pasien/informasi tentang kesehatan pasien agar tidak dapat dilihat/dibaca oleh khalayak umum. b. Identitas pasien tidak dicantumkan di Nurse Station, di depan kamar pasien, dan di dalam kamar pasien. c. Menggunakan simbol-simbol/istilah yang hanya diketahui oleh petugas RS PKU Sampangan. 2. Privasi di ruang perawatan a. Untuk kamar perawatan yang memuat lebih dari satu orang agar menempatkan pasien dalam satu kamar, tidak bercampur antara pasien laki-laki dan perempuan, dan setiap tempat tidur pasien agar dipasang gorden/sampiran. b. Memastikan satu orang perawat (PPJA) dan satu orang dokter (DPJP) yang bertanggung jawab terhadap pasien. c. Peliputan yang dilakukan oleh media massa baik berupa wawancara maupun pengambilan gambar harus mendapat izin dari Rumah Sakit, dokter yang merawat pasien, dan pasien sendiri atau keluarga pasien. d. Melakukan wawancara survey harus seizin pasien. e. Memfasilitasi pasien yang menghendaki tidak mau dijenguk. 3. Menjaga Privasi di Ruang Pemeriksaan a. Menempatkan pasien dalam ruang pemeriksaan. b. Menutup gorden pada saat pemeriksaan. c. Memasang selimut pada saat melakukan pemeriksaan. d. Memberitahukan
pasien/keluarga
pasien
akan
dilakukan
pemeriksaan dan memberikan izin keluarga pasien untuk melihat jalannya pemeriksaan seizin dari pasien. e. Menutup pintu kamar pada saat dilakukan pemeriksaan. 4. Menjaga Privasi Pasien Saat Melakukan Tindakan a. Membuka bagian yang akan dilakukan intervensi. b. Kalau perlu, memberikan pakaian khusus pada pasien.
22
c. Menutup pintu dan keluarga menunggu di luar ruangan/memberikan izin untuk
menunggu kepada
yan mempunyai keterkaitan
kepentingan dengan kondisi pasien. 5. Menjaga Privasi Pasien Saat Memandikan a. Memberitahu kepada pasien dan keluarga, bahwa pasien akan dimandikan. b. Menutup gorden dan menyarankan agar keluarga pasien menunggu di luar. c. Membuka bagian-bagian tubuh yang hanya akan dibersihkan saja secara bertahap. d. Menggunakan selimut mandi. 6. Menjaga Privasi Pasien Saat Membantu BAB/BAK a. Memberitahu kepada keluarga pasien agar menunggu di luar. b. Menutup gorden. c. Membuka pakaian bawah pasien. d. Menutupi pasien dengan selimut mandi. 7. Privasi Pasien Saat Melakukan Transportasi a. Menutupi tubuh pasien dengan selimut. b. Memastikan bahwa semua bagian tubuh pasien tertutup, kecuali muka pasien. c. Menaikkan pengaman brancard/tempat tidur. 8. Menjaga Privasi Pasien Saat di Kamar Operasi a. Membuka bagian/area yang akan dioperasi. b. Tidak membicarakan privasi pasien walaupun pasien sudah tertutup kecuali muka pasien. c. Jangan tertawa/menertawakan keadaan pasien walaupun pasien dalam kondisi terbius. d. Menutup kembali semua tubuh pasien pada saat selesai operasi. 9. Menjaga Privasi Rekam Medis Pasien a. Memastikan penempatan rekam medis pasien di tempat yang aman. b. Rekam medis hanya boleh dibawa oleh petugas RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta c. Tidak dibenarkan rekam medis dibaca oleh semua orang kecuali dokter/perawat yang merawat pasien tersebut atau tenaga kesehatan yang berkepentingan dengan kesembuhan pasien.
23
d. Semua rekam medis setelah pasien pulang disimpan oleh bagian rekam medis. e. Rekam medis akan dimusnahkan setelah berumur lebih dari lima tahun. 10.
Menjaga Privasi Pasien Saat Berakhirnya Kehidupan a. Keluarga pasien diinformasikan kondisi pasien. b. Bila pasien dirawat di bangsal, makapasien dipindahkan ke tempat khusus atau dengan menutup gorden sehingga terpisah dari pandangan pasien lainnya. c. Mengurangi kegiatan di kamar tersebut atau menimilkan kebisingan. d. Memfasilitasi
bila
keluarga
membutuhkan
pendamping
rohaniawan.
BAB IV DOKUMENTASI
1. Sesuai kebijakan RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta tentang hak dan kewajiban pasien, maka seluruh pasien yang dirawat di Rumah Sakit ini (rawat inap, maupun rawat jalan) mendapatkan privasi/jaminan kerahasiaan pribadi pasien yang telah tercantum dalam Formulir Persetujuan Umum (General Consent) dan seluruh staf Rumah Sakit wajib menghormati dan melaksanakan hak privasi pasien tersebut. 2. Pasien yang menghendaki adanya privasi khusus atau privasi tertentu, dilakukan
identifikasi
dicatat/didokumentasikan
di
bagian dalam
isi Formulir
Rumah
Sakit
Persetujuan
dan
Umum
(General Consent).
24
LAMPIRAN V: PANDUAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)
BAB I DEFINISI
1.
Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2.
Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang selanjutnya disebut Tindakan Kedokteran, adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
3.
Tindakan Invasif, adalah tindakan yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
4.
Tindakan Kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah tindakan medis
yang
berdasarkan
tingkat
probabilitas
tertentu,
dapat
mengakibatkan kematian atau kecacatan. 5.
Pasien, adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
6.
Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan
7.
Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anakanak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya. Ayah : a. Ayah Kandung b. Termasuk “Ayah” adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat. Ibu : a. Ibu Kandung b. Termasuk “Ibu” adalah Ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan atau berdasarkan hukum adat
25
Suami : Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang perempuan
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku. Istri : a. Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari 1 (satu) istri persetujuan / penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka. 8.
Wali, adalah orang yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum, atau orang yang menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
9.
Induk semang, adalah orang yang berkewajiban untuk mangawasi serta ikut bertangung jawab terhadap pribadi orang lain, seperti pemimpin asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang belum dewasa.
10.
Gangguan Mental, adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku yang secara klinis menimbulkan penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang, mencakup Gangguan Mental Berat, Retardasi Mental Sedang, Retardasi Mental Berat, Dementia Senilis.
11.
Pasien Gawat Darurat, adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
BAB II RUANG LINGKUP
1. Konsep Umum a. Bahwa masalah kesehatan seseorang (pasien) adalah tanggung jawab seorang (pasien) itu sendiri. Dengan demikian, sepanjang keadaan kesehatan tersebut tidak sampai menggangu orang lain, maka keputusan untuk mengobati atau tidaknya masalah kesehatan yang dimaksud, sepenuhnya terpulang dan menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. Bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan
26
oleh dokter atau dokter gigi untuk meningkatkan atau memulihkan kesehatan seseorang (pasien) hanya merupakan suatu upaya yang tidak wajib diterima oleh seorang (pasien) yang bersangkutan. Karena
sesungguhnya
dalam
pelayanan
kedokteran,
tidak
seorangpun yang dapat memastikan keadaan hasil akhir dari diselenggarakannya pelayanan kedokteran tersebut (uncertainty result), dan karena itu tidak etis jika sifat penerimaannya dipaksakan. Jika seseorang karena satu dan lain hal, tidak dapat atau tidak bersedia menerima tindakan kedokteran yang ditawarkan, maka sepanjang penolakan tersebut tidak membahayakan orang lain, harus dihormati. b. Bahwa hasil dari tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila terjalin kerjasama yang baik antara dokter dan pasien sehingga dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam rangka menjalin kerjasama yang baik ini perlu diadakan ketentuan yang mengatur tentang perjanjian antara dokter atau dokter gigi dengan pasien. Pasien menyetujui (consent) atau menolak, adalah merupakan hak pribadinya yang tidak boleh dilanggar, setelah mendapat informasi dari dokter atau dokter gigi terhadap hal-hal yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi sehubungan dengan pelayanan kedokteran yang diberikan kepadanya. c. Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapatkan informasi dan consent berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan Informed Consent dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang (pasien) yang diberikan secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang kedokteran yang dimaksud. d. Bahwa, untuk mengatur keserasian, keharmonisan, dan ketertiban hubungan dokter atau dokter gigi dengan pasien melalui informed consent harus ada pedoman sebagai acuan bagi seluruh personil rumah sakit.
27
2. Jenis-Jenis Informed Consent a. Persetujuan tindakan kedokteran. b. Persetujuan tindakan kedokteran dan terapi beresiko tinggi. c. Persetujuan tindakan pembiusan. d. Persetujuan pemberian transfusi darah. 3. Informasi yang Diberikan Meliputi a. Diagnosa. b. Tata cara tindakan medis. c. Tujuan tindakan. d. Alternatif tindakan dan resikonya. e. Resiko dan komplikasinya. f. Prognosis terhadap tindakan. g. Perkiraan biaya 4. Urutan Prioritas untuk Memberikan Persetujuan a. Pasien sendiri. b. Suami atau istrinya. c. Anaknya yang sudah dewasa. d. Orang tuanya. e. Saudara kandungnya. f. Keluarga lain, teman, atau kenalan bila yang disebut di atas tidak ada.
Dasar Hukum Sebagai
dasar
ditetapkannya
Panduan
Pelaksanaan
Persetujuan
Tindakan Kedokteran ini adalah peraturan perundang-undangan dalam bidang kesehatan yang menyangkut persetujuan tindakan kedokteran, yaitu : a. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; b. Undang –Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran; e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan f. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis; g. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan tindakan kedokteran;
28
h. Keputusan
Direktorat
Jendral
HK.00.06.3.5.1866 tahun 1999
Pelayanan tentang
Medik
Nomor
:
Pedoman Pelaksanaan
Persetujuan Tindakan Medis.
BAB III TATA LAKSANA
Persetujuan dan Penjelasan Tindakan Kedokteran Dalam menetapkan dan Persetujuan Tindakan Kedokteran harus memperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut : a. Memperoleh Informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan adalah kewajiban dokter atau dokter gigi. b. Pelaksanaan Persetujuan Tindakan kedokteran dianggap benar jika memenuhi persyaratan dibawah ini : 1) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan untuk tindakan kedokteran yang dinyatakan secara spesifik (The Consent must be for what will be actually performed) 2) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan tanpa paksaan (Voluntary) 3) Persetujuan atau Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak memberikannya dari segi hukum 4) Persetujuan dan Penolakan Tindakan Kedokteran diberikan setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan. c. Informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika sekurangkurangnya mencakup : 1)
Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2)
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3)
Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
4)
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
5)
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
29
6)
Risiko atau akibat pasti jika tindakan kedokteran yang direncanakan tidak dilakukan;
7)
Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan kedokteran yang dilakukan;
8)
Informasi akibat ikutan yang biasanya terjadi sesudah tindakan kedokteran.
d. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan. Dokter atau dokter gigi yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter atau dokter gigi lain dengan sepengetahuan dokter atau dokter gigi yang bersangkutan. Bila terjadi kesalahan dalam memberikan informasi tanggung jawab berada ditangan dokter atau dokter gigi yang memberikan delegasi. Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Penjelasan tersebut dicatat dan didokumentasikan dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan mencantumkan Tanggal Waktu Nama Tandatangan pemberi penjelasan dan penerima penjelasan Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan yang akan diberikan dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan, maka dokter atau dokter gigi dapat memberikan penjelasan kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga kesehatan lain sebagai saksi. a) Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali : 1) Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum;
30
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan; 3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya b) Penjelasan tentang prognosis meliputi : 1) Prognosis tentang hidup-matinya (ad vitam); 2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam); 3) Prognosis tentang kesembuhan (ad senationam). Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya. Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan secara langsung, maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain dapat
yang kompeten. Tenaga kesehatan tertentu
membantu
memberikan
kewenangannya. Tenaga
penjelasan
sesuai
dengan
tersebut
adalah
tenaga
kesehatan
kesehatan yang ikut memberikan pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien. Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak memberikan
persetujuan
atau
penolakan
tindakan
kedokteran. e. Pihak yang Berhak Memberikan Persetujuan Yang
berhak
untuk
memberikan
persetujuan
setelah
mendapatkan informasi adalah: 1)
Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
2)
Bagi Pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (informed consent) atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut : a.
Ayah/ Ibu Kandung
b.
Saudara – saudara kandung
31
3)
Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir, persetujuan (Informed Consent) atau Penolakan Tindakan medis diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut :
4)
a.
Ayah/Ibu Adopsi
b.
Saudara – saudara Kandung
c.
Induk Semang
Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan (Informed Consent) atau penolakan penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
5)
a.
Ayah/Ibu kandung
b.
Wali yang sah
c.
Saudara – Saudara Kandung
Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle) Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan menurut hal tersebut.
6)
a.
Wali
b.
Curator
Bagi Pasien dewasa yang telah menikah/ orang tua, persetujuan atau penolakan tindakan medik diberikan pleh mereka menurut urutan hal tersebut. a.
Suami/ Istri
b.
Ayah/ Ibu Kandung
c.
Anak- anak Kandung
d.
Saudara – saudara Kandung
Cara pasien menyatakan persetujuan dapat dilakukan secara terucap (oral consent), tersurat (written consent), atau tersirat (implied consent). Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko
tinggi
harus
memperoleh
ditandatangani
oleh
yang
berhak
persetujuan memberikan
tertulis
yang
persetujuan.
Persetujuan tertulis dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir Persetujuan Tindakan Medis Kedokteran. Sebelum ditandatangani atau dibubuhkan cap ibu jari tangan kiri, formulir tersebut sudah diisi lengkap oleh dokter atau dokter
32
gigi yang akan melakukan tindakan kedokteran atau oleh tenaga medis lain yang diberi delegasi, untuk kemudian yang bersangkutan dipersilahkan membacanya, atau jika dipandang perlu dibacakan dihadapannya. Persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak mengandung risiko tinggi. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
A. Ketentuan pada Situasi Khusus 1. Tindakan
penghentian/penundaan
bantuan
hidup
(withdrawing/
withholding life ) pada seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien. 2. Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien diberikan setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter atau dokter gigi yang bersangkutan. Persetujuan harus diberikan secara tertulis.
B. Penolakan Tindakan Kedokteran 1. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. 2. Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak memberikan atau menolak memberikan persetujuan tindakan kedokteran adalah orang tua, keluarga, wali atau kuratornya. 3. Bila pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri tidak diikut sertakan menandatangani persetujuan tindakan kedokteran, kecuali untuk tindakan keluarga berencana yang sifatnya irreversible; yaitu tubektomi atau vasektomi. 4. Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima informasi dan kemudian menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan dokter atau dokter gigi maka orang tersebut dianggap telah menyetujui kebijakan medis apapun yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi. 5. Apabila yang bersangkutan, sesudah menerima informasi, menolak untuk memberikan persetujuannya maka penolakan tindakan kedokteran
33
tersebut harus dilakukan secara tertulis. Akibat penolakan tindakan kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien. 6. Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter pasien. 7. Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap saat, kecuali tindakan kedokteran yang direncanakan sudah sampai pada tahapan pelaksanaan yang tidak mungkin lagi dibatalkan. 8. Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran yang telah diberikan oleh keluarga, maka yang berhak menarik kembali (mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau anggota keluarga lainnya yang kedudukan hukumnya lebih berhak sebagai wali. 9. Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan kedokteran harus diberikan secara tertulis dengan menandatangani format yang disediakan.
BAB IV DOKUMENTASI Dokumen Persetujuan Tindakan Kedokteran a. Semua hal – hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan tindakan kedokteran harus dicatat dalam rekam medis. b. Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran harus disimpan bersama-sama rekam medis. c. Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan kedokteran, menggunakan formulir dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Tenaga keperawatan bertindak sebagai salah satu saksi; 2) Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien; 3) Formulir harus sudah mulai diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum tindakan kedokteran; 4) Dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelaan harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa telah memberikan informasi dan penjelasan secukupnya; 5) Sebagai tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf harus membubuhkan cap jempol jari kanan.
34
LAMPIRAN VI: PANDUAN PENATALAKSANAAN NYERI
BAB I DEFINISI 1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of Pain) 2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit. 3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti. 1
BAB II RUANG LINGKUP Pentalaksanaan nyeri meliputi pasien nyeri yang datang pada klinik rawat jalan, IGD maupun rawat inap di RS, dimana semua petugas medis perawatan bertanggung jawab menatalaksanai rasa nyeri pada pasien sesuai dengan kebijakan RS dan mengacu pada panduan penatalaksanaan nyeri yang telah di tetapkan.
BAB III TATA LAKSANA
ASESMEN NYERI 1. Anamnesis a. Riwayat penyakit sekarang i.
Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
ii.
Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia. 35
iii.
Pola penjalaran / penyebaran nyeri
iv.
Durasi dan lokasi nyeri
v.
Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
vi.
Faktor yang memperberat dan memperingan
vii.
Kronisitas
viii.
Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri
sebelumnya,
termasuk respons terapi ix.
Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka
x.
Penggunaan alat bantu
xi.
Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of daily living)
xii.
Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu
c. Riwayat psiko-sosial i. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika ii. Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien iii. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan eksaserbasi nyeri iv. Pembatasan /restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya. v. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan
kooperasi
pasien
dengan
program
penanganan
/
manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka. vi. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi pasien / keluarga.
36
d. Riwayat pekerjaan i. Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat
benda
berat,
membungkuk atau memutar;
merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi i. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin) ii. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek samping. iii. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
f. Riwayat keluarga i. Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
g. Asesmen sistem organ yang komprehensif i. Evaluasi
gejala
gastrointestinal,
kardiovaskular, neurologi,
psikiatri,
reumatologi,
pulmoner,
genitourinaria,
endokrin, dan muskuloskeletal) ii. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan sebagainya.2
2. Asesmen nyeri a. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale i. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya. ii. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
0 = tidak nyeri
37
1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)3
Numeric Rating Scale3
b. Wong Baker FACES Pain Scale i. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya
dengan angka,
gunakan asesmen ii. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
0 - 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2 – 3 = sedikit nyeri
4 – 5 = cukup nyeri
6 – 7 = lumayan nyeri
8 – 9 = sangat nyeri
10
= amat sangat nyeri (tak tertahankan)
38
Wong Baker FACES Pain Scale4
c. COMFORT scale i. Indikasi: pasien bayi, anak, dan dewasa di ruang rawat intensif / kamar operasi / ruang rawat inap yang tidak dapat dinilai menggunakan Numeric Rating Scale Wong-Baker FACES Pain Scale. ii. Instruksi: terdapat 9 kategori dengan setiap kategori memiliki skor 1-5, dengan skor total antara 9 – 45.
Kewaspadaan
Ketenangan
Distress pernapasan
Menangis
Pergerakan
Tonus otot
Tegangan wajah
Tekanan darah basal
Denyut jantung basal
COMFORT Scale5 Kategori
Skor
Kewaspadaan
1 – tidur pulas / nyenyak
Tanggal / waktu
2 – tidur kurang nyenyak 3 – gelisah
39
4 – sadar sepenuhnya dan waspada 5 – hiper alert Ketenangan
1 – tenang 2 – agak cemas 3 – cemas 4 – sangat cemas 5 – panik
Distress pernapasan
1 – tidak ada respirasi spontan dan tidak ada batuk 2 – respirasi spontan dengan sedikit / tidak ada respons terhadap ventilasi 3 – kadang-kadang batuk atau terdapat tahanan terhadap ventilasi 4 – sering batuk, terdapat tahanan / perlawanan terhadap ventilator 5 – melawan secara aktif terhadap ventilator, batuk terus-menerus / tersedak
Menangis
1 – bernapas dengan tenang, tidak menangis 2 – terisak-isak 3 – meraung 4 – menangis 5 – berteriak
Pergerakan
1 – tidak ada pergerakan 2 – kedang-kadang bergerak perlahan 3 – sering bergerak perlahan 4 – pergerakan aktif / gelisah 5 – pergrakan aktif termasuk badan dan kepala
40
1 – otot relaks sepenuhnya, tidak ada tonus otot
Tonus otot
2 – penurunan tonus otot 3 – tonus otot normal 4 – peningkatan tonus otot dan fleksi jari tangan dan kaki 5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari tangan dan kaki Tegangan wajah
1 – otot wajah relaks sepenuhnya 2 – tonus otot wajah normal, tidak terlihat tegangan otot wajah yang nyata 3 – tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata 4 – tegangan hampir di seluruh otot wajah 5 – seluruh otot wajah tegang, meringis
Tekanan basal
darah 1 – tekanan darah di bawah batas normal 2 – tekanan darah berada di batas normal secara konsisten 3 – peningkatan tekanan darah sesekali ≥15% di atas batas normal (1-3 kali dalam observasi selama 2 menit) 4 – seringnya peningkatan tekanan darah ≥15% di atas batas normal (>3 kali dalam observasi selama 2 menit) 5 – peningkatan tekanan darah terus-menerus ≥15%
Denyut jantung 1 – denyut jantung di bawah batas normal basal
2 – denyut jantung berada di batas normal secara konsisten 3 – peningkatan denyut jantung sesekali ≥15% di atas batas normal (1-3 kali dalam observasi
41
selama 2 menit) 4 – seringnya peningkatan denyut jantung ≥15% di atas batas normal (>3 kali dalam observasi selama 2 menit) 5 – peningkatan denyut jantung terus-menerus ≥15% Skor total
d. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang, asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri. e. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut: i. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik pada pasien ii. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit. iii. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena iv. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah pemberian obat nyeri.6
f. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pascapembedahan, nyeri neuropatik).
42
3. Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan umum i. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh ii. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien iii. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik iv. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental i. Nilai orientasi pasien ii. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera. iii. Nilai kemampuan kognitif iv. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi i. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan ii. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris. iii. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal / dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris. iv. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri v. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik i. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.
Derajat
Definisi
5
Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan kuat
4
Mampu melawan tahanan ringan
3
Mampu bergerak melawan gravitasi
2
Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak mampu melawan gravitasi
1
Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak menghasilkan
43
pergerakan Tidak terdapat kontraksi otot
0
e. Pemeriksaan sensorik i. Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran, dan suhu.
f.
Pemeriksaan neurologis lainnya i. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala ii. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
Refleks
Segmen spinal
Biseps
C5
Brakioradialis
C6
Triseps
C7
Tendon patella
L4
Hamstring medial
L5
Achilles
S1
iii. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor neuron) iv. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan khusus i. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi. ii. Kelima tanda ini adalah:
Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
44
Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
4. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG) a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi obat. d. Membantu menegakkan diagnosis e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons terhadap terapi f.
Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli-neuropati, radikulopati.
5. Pemeriksaan sensorik kuantitatif a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas) d. Pemeriksaan sensasi persepsi
6. Pemeriksaan radiologi a. Indikasi: i. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang ii. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular. iii. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi. iv. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang v. Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu b. Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri. i. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma) ii. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)
45
iii. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal. iv. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
7. Asesmen psikologi a. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi. b. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan c. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial
FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK 1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5% a. Berisi lidokain 5% (700 mg). b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal. c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pascaherpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain f.
Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di area yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.
2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA) a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5% b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi. c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik. d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anesthesia lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas. e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital. f.
Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan tutuplah dengan kassa oklusif.
46
3. Parasetamol a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik.
Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih besar. b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS) a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-piretik b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid. c. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi renal, peningkatan enzim hati. d. Ketorolak: i. merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri sedang-berat ii. bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opioid untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek
samping
opioid
(depresi
pernapasan,
sedasi,
stasis
gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.
5. Efek analgesik pada Antidepresan a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif. b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera saraf perifer, nyeri sentral) c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin: efek antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali sehari.
6. Anti-konvulsan a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
47
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 1004800 mg/hari (3-4 kali sehari).
7. Antagonis kanal natrium a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 13mg/kgBB/jam titrasi. c. Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.
8. Antagonis kanal kalsium a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing, mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan. b. Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin.
9. Tramadol a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS. b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi. c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi. d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral. e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam. f.
Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.
48
Jadwal titrasi tramadol Protokol Titrasi
Dosis inisial
Jadwal titrasi
Direkomendasikan untuk
Titrasi 10-hari
4 x 50mg
2 x 50mg selama 3 hari.
Lanjut usia
selama 3 hari
Naikkan menjadi 3 x 50mg selama 3
Risiko jatuh
hari. Lanjutkan dengan 4 x 50mg.
Sensitivitas medikasi
Dapat dinaikkan sampai tercapai efek analgesik yang diinginkan. Titrasi 16-hari
4 x 25mg
2 x 25mg selama 3 hari.
Lanjut usia
selama 3 hari
Naikkan menjadi 3 x 25mg selama 3
Risiko jatuh
hari. Naikkan menjadi 4 x 25mg selama 3
Sensitivitas medikasi
hari. Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x 25mg selama 3 hari. Naikkan menjadi 4 x 50mg. Dapat dinaikkan sampai tercapai efek analgesik yang diinginkan.
10. Opioid a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat ditiadakan oleh nalokson. b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil, meperidin. c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi. d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping: i. Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat pemberian secara infus, opioid long acting
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin, antiemetik tertentu)
Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit, hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan intrakranial.
49
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas intermiten
ii. Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan menggunakan skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 =
sedasi
ringan,
kadang
mengantuk,
mudah
dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
iii. Sistem Saraf Pusat:
Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
iv. Toksisitas metabolit
Petidin
(norpetidin)
menimbulkan
tremor,
twitching,
mioklonus multifokal, kejang
Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal, terutama pada pasien usia > 70 tahun
v. Efek kardiovaskular :
Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume intravascular; serta level aktivitas simpatetik
Morfin menimbulkan vasodilatasi
Petidin menimbulkan takikardi
vi. Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah: hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic.
50
Perbandingan Obat-Obatan Anti-Emetik Kategori
Metoklopramid
Droperidol,
Ondansetron
butirofenon Durasi (jam)
4
4-6 (dosis rendah)
Proklorperazin, fenotiazin
8-24
6
24 (dosis tinggi) Efek samping: Ekstrapiramidal
++
++
-
+
Anti-kolinergik
-
+
-
+
sedasi
+
+
-
+
Dosis (mg)
10
0,25-0,5
4
12,5
Frekuensi
Tiap 4-6 jam
Tiap 4-6 jam
Tiap 12 jam
Tiap 6-8 jam
Jalur pemberian
Oral, IV, IM
IV, IM
Oral, IV
Oral, IM
f.
Pemberian Oral: i. sama efektifnya dnegan pemberian parenteral pada dosis yang sesuai. ii. Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral.
g. Injeksi intramuscular: i. merupakan rute parenteral standar yang sering digunakan. ii. Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas penyerapannya tidak dapat diandalkan. iii. Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin. h. Injeksi subkutan i.
Injeksi intravena: i. Pilihan perenteral utama setelah pembedahan major. ii. Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus-menerus (melalui infus). iii. Terdapat risiko depresi pernapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis.
j.
Injeksi supraspinal: i. Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalic periaqueductal gray (PAG). ii. Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak. iii. Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker.
k. Injeksi spinal (epidural, intratekal): i. Secara selektif mengurangi keluarnya neurotransmitter di neuron kornu dorsalis spinal.
51
ii. Sangat efektif sebagai analgesik. iii. Harus dipantau dengan ketat l.
Injeksi Perifer i. Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek anestesi lokal (pada konsentrasi tinggi). ii. Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi2
MANAJEMEN NYERI AKUT 1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu. 2. Lakukan asesmen nyeri: mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan penunjang. 3. Tentukan mekanisme nyeri: a. Nyeri somatik: i. Diakibatkan
adanya
kerusakan
jaringan
yang
menyebabkan
pelepasan zat kima dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit. ii. Karakteristik: onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam. iii. Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral: i. Nosiseptor visceral lebih setikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang kurang bisa dilokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat. ii. Penyebab: iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligament, spasme otot polos, distensi organ berongga / lumen. iii. Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik: i. Berasal dari cedera jaringan saraf ii. Sifat nyeri: rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia. iii. Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya) iv. Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi / radioterapi.
52
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.7 a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO i. OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat. ii. Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien. iii. Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1). iv. Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah morfin, kodein. v. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan. vi. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap
Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid
Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
Topical: lidokain patch, EMLA
Subkutan: opioid, anestesi lokal7
53
3-Step WHO Analgesic Ladder8 *Keterangan:
patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi dan onset kerjanya lama.
Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant (misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
S/R: slow release
PRN: when required
vii. Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut, dengan syarat:
Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa
Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.
54
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten Intravena untuk Nyeri Akut8
tidak
Apakah pasien nyeri sedang/berat? ya Saat dosis telah diberikan, lakukan monitor setiap 5 menit selama minimal 20 menit. Tunggu hingga 30 menit dari pemberian dosis terakhir sebelum mengulangi siklus. Dokter mungkin perlu untuk meresepkan dosis ulangan
tidak
Apakah diresepkan opioid IV?
Minta untuk diresepkan
Gunakan spuit 10ml Ambil 10mg morfin sulfat dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (1mg/ml) Berikan label pada spuit
ya
Siapkan NaCl Ya, tetapi telah diberikan dosis total
Observasi rutin
ATAU Gunakan spuit 10ml Ambil 100mg petidin dan campur dengan NaCl 0,9% hingga 10ml (10mg/ml) Berikan label pada spuit
Observasi rutin ya tidak Nyeri
ya
Skor sedasi 0 atau 1? ya
tidak
Minta saran ke dokter senior Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan kecepatan pernapasan > 8 kali/menit. Pertimbangkan nalokson IV (100ug)
Kecepatan pernapasan > 8 kali/menit? ya Tunggu selama 5 menit
Tekanan darah sistolik ≥ 100 mmHg?*
tidak
ya Usia pasien < 70 tahun?
tidak
Minta saran
Jika skor nyeri 7-10: berikan 2ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 1 ml
ya Jika skor nyeri 7-10: berikan 3ml Jika skor nyeri 4-6: berikan 2 ml
Keterangan: Skor nyeri: 0 = tidak nyeri 1-3 = nyeri ringan 4-6 = nyeri sedang 7-10 = nyeri berat
Skor sedasi: 0 = sadar penuh 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah dibangunkan 3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan S = tidur normal
*Catatan: Jika tekanan darah sistolik < 100mmHg: haruslah dalam rentang 30% tekanan darah sistolik normal pasien (jika diketahui), atau carilah saran/bantuan.
Gunakan tabel obat-obatan antiemetic (jika diperlukan)
55
Teruskan penggunaan OAINS IV jika diresepkan bersama dengan opioid.
viii. Manajemen efek samping:
opioid
Mual dan muntah: antiemetic
Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin.
Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine untuk
mengatasi
mioklonus.
Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.
OAINS:
Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
c. Non-farmakologi: i. Olah raga ii. Imobilisasi iii. Pijat iv. Relaksasi v. Stimulasi saraf transkutan elektrik8
5. Follow-up / asesmen ulang a. Asesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
56
b. Panduan umum: i. Pemberian parenteral: 30 menit ii. Pemberian oral: 60 menit iii. Intervensi non-farmakologi: 30-60 menit.
6. Pencegahan a. Edukasi pasien: i. Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya. ii. Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien iii. Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya. iv. Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal control). b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
7. Medikasi saat pasien pulang a. Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti biasa / normal. b. Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien.
57
8. Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri akut: Algoritma Asesmen Nyeri Akut
Pasien mengeluh nyeri
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
Apakah etiologi nyeri bersifat reversibel?
ya
Prioritas utama: identifikasi dan atasi etiologi nyeri
tidak
Apakah nyeri berlangsung > 6 minggu? tidak
ya
Lihat manajemen nyeri kronik. Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesuai
Tentukan mekanisme nyeri (pasien dapat mengalami > 1 jenis nyeri)
Nyeri somatic
Nyeri viseral
Nyeri neuropatik
Nyeri bersifat tajam, menusuk, terlokalisir, seperti ditikam
Nyeri bersifat difus, seperti ditekan benda berat, nyeri tumpul
Nyeri bersifat menjalar, rasa terbakar, kesemutan, tidak spesifik.
58
Algoritma Manajemen Nyeri Akut7
Nyeri somatic
Nyeri viseral
Parasetamol Cold packs Kortikosteroid Anestesi lokal (topical / infiltrasi) OAINS Opioid Stimulasi taktil
Nyeri neuropatik
Kortikosteroid Anestesi lokal intraspinal OAINS Opioid
Antikonvulsan Kortikosteroid Blok neuron OAINS Opioid Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
Pilih alternatif terapi yang lainnya Pencegahan tidak Lihat manajemen nyeri kronik. Pertimbangkan untuk merujuk ke spesialis yang sesuai
ya Apakah nyeri > 6 minggu?
Edukasi pasien Terapi farmakologi Konsultasi (jika perlu) Prosedur pembedahan Non-farmakologi
ya tidak Kembali ke kotak ‘tentukan mekanisme nyeri’
tidak
Mekanisme nyeri sesuai?
Analgesik adekuat? ya ya Efek samping pengobatan?
Manajemen efek samping
tidak Follow-up / nilai ulang
59
MANAJEMEN NYERI KRONIK 1. Lakukan asesmen nyeri: a. anamnesis dan pemeriksaan fisik (karakteristik nyeri, riwayat manajemen nyeri sebelumnya) b. pemeriksaan penunjang: radiologi c. asesmen fungsional: i. nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan / disabilitas ii. buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien iii. nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
2. Tentukan mekanisme nyeri: a. manajemen bergantung pada jenis / klasifikasi nyerinya. b. Pasien sering mengalami > 1 jenis nyeri. c. Terbagi menjadi 4 jenis: i. Nyeri neuropatik:
disebabkan
oleh
kerusakan
/
disfungsi
sistem
somatosensorik.
Contoh: neuropati DM, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik.
Karakteristik: nyeri persisten, rasa terbakar, terdapat penjalaran
nyeri
sesuai
dengan
persarafannya,
baal,
kesemutan, alodinia.
Fibromyalgia: gatal, kaku, dan nyeri yang difus pada musculoskeletal (bahu, ekstremitas), nyeri berlangsung selama > 3bulan
ii. Nyeri otot: tersering adalah nyeri miofasial
mengenai otot leher, bahu, lengan, punggung bawah, panggul, dan ekstremitas bawah.
Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1/lebih jenis otot, berakibat kelemahan, keterbatasan gerak.
Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive.
Tatalaksana: mengembalikan fungsi otot dengan fisioterapi, identifikasi dan manajemen faktor yang memperberat (postur, gerakan repetitive, faktor pekerjaan)
60
iii. Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif):
Contoh: artritis, infeksi, cedera jaringan (luka), nyeri pascaoperasi
Karakteristik: pembengkakan, kemerahan, panas pada tempat nyeri. Terdapat riwayat cedera / luka.
Tatalaksana: manajemen proses inflamasi dengan antibiotic / antirematik, OAINS, kortikosteroid.
iv. Nyeri mekanis / kompresi:
Diperberat dengan aktivitas, dan nyeri berkurang dengan istirahat.
Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan strain/sprain ligament/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur kompresi, fraktur.
Merupakan nyeri nosiseptif
Tatalaksana:
beberapa
memerlukan
dekompresi
atau
stabilisasi.
3. Nyeri kronik: nyeri yang persisten / berlangsung > 6 minggu
4. Asesmen lainnya: a. Asesmen psikologi: nilai apakah pasien mempunyai masalah psikiatri (depresi, cemas, riwayat penyalahgunaan obat-obatan, riwayat penganiayaan secara seksual/fisik.verbal, gangguan tidur) b. Masalah pekerjaan dan disabilitas c. Faktor yang mempengaruhi: i. Kebiasaan akan postur leher dan kepala yang buruk ii. Penyakit lain yang memperburuk / memicu nyeri kronik pasien d. Hambatan terhadap tatalaksana: i. Hambatan komunikasi / bahasa ii. Faktor finansial iii. Rendahnya motivasi dan jarak yang jauh terhadap fasilitas kesehatan iv. Kepatuhan pasien yang buruk v. Kurangnya dukungan dari keluarga dan teman
5. Manajemen nyeri kronik a. Prinsip level 1:
61
i. Buatlah rencana perawatan tertulis secara komprehensif (buat tujuan, perbaiki tidur, tingkatkan aktivitas fisik, manajemen stress, kurangi nyeri).
Berikut adalah formulir rencana perawatan pasien dengan nyeri kronik:
62
Rencana Perawatan Pasien Nyeri Kronik 1. Tetapkan tujuan Perbaiki skor kemampuan fungsional (ADL) menjadi:____ pada tanggal: _________ Kembali ke aktivitas spesifik, hobi, olahraga____________ pada tanggal: _________ a. ____________________________________________ b. ____________________________________________ c. ____________________________________________ Kembali ke kerja terbatas/ atau kerja normal pada tanggal: __________ 2. Perbaikan tidur (goal: _______ jam/malam, saat ini: ________ jam/malam) Ikuti rencana tidur dasar a. Hindari kafein dan tidur siang, relaksasi sebeum tidur, pergi tidur pada jam yang ditentukan _____________ Gunakan medikasi saat mau tidur a. ______________________________________________ b. ______________________________________________ c. ______________________________________________ 3. Tingkatkan aktivitas fisik Ikuti fisioterapi ( hari/minggu ___________________) Selesaikan peregangan harian (_____ kali/hari, selama _____ menit) Selesaikan latihan aerobic / stamina a. Berjalan (_____ kali/hari, selama _____ menit) b. Treill, bersepeda, mendayung (_____ kali/minggu, selama _____ menit) c. Goal denyut jantung yang ditargetkan dengan latihan ______ kali/menit Penguatan a. Elastic, angkat beban (_____ menit/hari, _____ hari/minggu) 4. Manajemen stress – daftar penyebab stress utama ____________________________________ Intervensi formal (konseling, kelompok terapi) a. _________________________________________________ Latihan harian dengan teknik relaksasi, meditasi, yoga, dan sebagainya a. _________________________________________________ b. _________________________________________________ Medikasi a. _________________________________________________ b. _________________________________________________ 5. Kurangi nyeri (level nyeri terbaik minggu lalu: ____/10, level nyeri terburuk minggu lalu: ____/10) Tatalaksana non-medikamentosa a. Dingin/panas ___________________________________________ b. ______________________________________________________ Medikasi a. ______________________________________________________ b. ______________________________________________________ c. ______________________________________________________ d. ______________________________________________________ Terapi lainnya: ___________________________________________________
Nama Dokter: __________________________________________ Tanggal: _______________
63
ii. Pasien
harus
berpartisipasi
dalam
program
latihan
untuk
meningkatkan fungsi iii. Dokter dapat mempertimbangkan pendekatan perilaku kognitif dengan restorasi fungsi untuk membantu mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi.
Beritahukan kepada pasien bahwa nyeri kronik adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tatalaksana sering mencakup manajemen stress, latihan fisik, terapi relaksasi, dan sebagainya
Beritahukan pasien bahwa focus dokter adalah manajemen nyerinya
Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri
Berikan medikasi nyeri yang teratur dan terkontrol
Jadwalkan control pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan untuk control dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
Bekerjasama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien
Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap
Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
iv. Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan pasien)
b. Manajemen
level
1:
menggunakan
pendekatan
standar
dalam
penatalaksanaan nyeri kronik termasuk farmakologi, intervensi, nonfarmakologi, dan tetapi pelengkap / tambahan. i. Nyeri Neuropatik
Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
Control gula darah pada pasien DM
Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor dengan kompresi saraf
Control infeksi (antibiotic)
Terapi simptomatik:
antidepresan trisiklik (amitriptilin)
antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi)
OAINS, kortikosteroid, opioid
64
anestesi regional: blok simpatik, blok epidural / intratekal, infus epidural / intratekal
terapi
berbasis-stimulasi:
akupuntur,
stimulasi
spinal, pijat
rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan mobilisasi, metode ergonomis
prosedur ablasi: kordomiotomi, ablasi saraf dengan radiofrekuensi
terapi
lainnya:
hypnosis,
terapi
relaksasi
(mengurangi tegangan otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kognitif (mengurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena nyeri kronis)
ii. nyeri otot
lakukan skrining terhadap patologi medis yang serius, faktor psikososial yang dapat menghambat pemulihan
berikan program latihan secara bertahap, dimulai dari latihan dasar / awal dan ditingkatkan secara bertahap.
Rehabilitasi fisik:
Fitness: angkat beban bertahap, kardiovaskular, fleksibilitas, keseimbangan
mekanik
pijat, terapi akuatik
manajemen perilaku:
stress / depresi
teknik relaksasi
perilaku kognitif
ketergantungan obat
manajemen amarah
terapi obat:
analgesik dan sedasi
antidepressant
opioid jarang dibutuhkan
iii. nyeri inflamasi
control inflamasi dan atasi penyebabnya
obat anti-inflamasi utama: OAINS, kortikosteroid
65
iv. nyeri mekanis / kompresi
penyebab yang sering: tumor / kista yang menimbulkan kompresi pada struktur yang sensitif dengan nyeri, dislokasi, fraktur.
Penanganan efektif: dekompresi dengan pembedahan atau stabilisasi, bidai, alat bantu.
Medikamentosa kurang efektif. Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan.
c. Manajemen level 1 lainnya i. OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan-sedang atau nyeri nonneuropatik ii. Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid jangka panjang untuk nyeri kronik non-kanker.9
66
Skor DIRE (Diagnosis, Intractibility, Risk, Efficacy) 9
Skor
Faktor Diagnosis
Penjelasan 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan objektif minimal atau tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya: fibromyalgia, migraine, nyeri punggung tidak spesifik. 2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi nyeri sedang menetap dengan temuan objektif medium. Misalnya: nyeri punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri neuropatik. 3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan objektif nyata. Misalnya: penyakit iskemik vascular berat, neuropati lanjut, stenosis spinal berat.
Intractability
1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal dalam
(keterlibatan) manajemen nyeri 2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis) 3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi respons terapi tidak adekuat. Risiko (R)
R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi
1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian, gangguan afek berat. 2 = gangguan jiwa / kepribadian medium/sedang. Misalnya: depresi, gangguan cemas. 3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi kepribadian atau gangguan jiwa yang signifikan
Kesehatan
1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan, penyalahgunaan obat. 2 = medikasi untuk mengatasi stress, atau riwayat remisi psikofarmaka 3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan.
Reliabilitas
1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja / jadwal control, komplians buruk 2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi secara keseluruhan dapat diandalkan 3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal control, dan terapi)
Dukungan sosial
1 = hidup kacau, dukungan keluarga minimal, sedikit teman dekat, kehilangan peran dalam kehidupan normal 2 = kurangnya hubungan dengan oral dan kurang berperan dalam sosisl 3 = keluarga mendukung, hubungan dekat. Terlibat dalam kerja/sekolah, tidak ada isolasi sosial
Efikasi
1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan penggunaan
67
dosis obat sedang-tinggi 2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan opioid dosis sedang-tinggi) 3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai dengan dosis yang stabil. Skor total
=D+I+R+E
Keterangan: Skor 7-13: tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang Skor 14-21: sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
iii. Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal, injeksi intra-sendi, injeksi epidural iv. Terapi pelengkap / tambahan: akupuntur, herbal
d. Manajemen level 2 i. meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau infus intratekal). ii. Indikasi: pasien nyeri kronik yang gagal terapi konservatif / manajemen level 1. iii. Biasanya rujukan dilakukan setelah 4-8 minggu tidak ada perbaikan dengan manajemen level 1.
68
Berikut adalah algoritma asesmen dan manajemen nyeri kronik: Algoritma Asesmen Nyeri Kronik
Pasien mengeluh nyeri
Asesmen nyeri Anamnesis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fungsi
Pasien dapat mengalami jenis nyeri dan faktor yang mempengaruhi yang beragam
Tentukan mekanisme nyeri
Nyeri neuropatik Perifer (sindrom nyeri regional kompleks, neuropati HIV, gangguan metabolik) Sentral (Parkinson, multiple sclerosis, mielopati, nyeri pasca-stroke, sindrom fibromyalgia)
Nyeri otot
Nyeri inflamasi Artropati inflamasi (rematoid artritis) Infeksi Nyeri pasca-oparasi Cedera jaringan
Nyeri miofasial
Apakah nyeri kronik?
tidak
Nyeri mekanis/kompresi Nyeri punggung bawah Nyeri leher Nyeri musculoskeletal (bahu, siku) Nyeri viseral
Pantau dan observasi
ya Apakah etioya dapat dikoreksi / diatasi?
ya
Atasi etiologi nyeri sesuai indikasi
tidak Asesmen lainnya Masalah pekerjaan dan disabilitas Asesmen psikologi dan spiritual Faktor yang mempengaruhi dan hambatan
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
69
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik9
Prinsip level 1 Buatlah rencana dan tetapkan tujuan Rehabilitasi fisik dengan tujuan fungsional Manajemen psikososial dengan tujuan fungsional
Manajemen level 1: Nyeri neuropatik
Manajemen level 1: Nyeri otot
Manajemen level 1: Nyeri mekanis/kompresi
Manajemen level 1: Nyeri inflamasi
Manajemen level 1 lainnya Farmakologi (skor DIRE) Intervensi Pelengkap / tambahan
Layanan primer untuk mengukur pencapaian tujuan dan meninjau ulang rencana perawatan
Tujuan terpenuhi? Fungsi Kenyamanan hambatan
tidak
Telah melakukan manajemen level 1 dengan adekuat?
ya Rencana perawatan selanjutnya oleh pasien
ya
Manajemen level 2 Rujuk ke tim interdisiplin, atau Rujuk ke klinik khusus manajemen nyeri
tidak
Asesmen hasil
70
MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK 1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi 2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat. 3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri 4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik
1. Asesmen nyeri pada anak
Nilai karakteristik nyeri Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif dan neuropatik Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak
2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder
Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku
3. Pilih terapi yang sesuai Obat
Analgesik Analgesik adjuvant anestesi
Non-obat
Kognitif Fisik perilaku
4. Implementasi rencana manajemen nyeri
Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak) Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri Revisi rencana jika diperlukan
71
5. Pemberian analgesik: a. ‘By the ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat). i. Awalnya, berikan analgesik ringan-sedang (level 1). ii. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naiklah ke level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten). iii. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant. iv. Analgesik adjuvant
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapat diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1.
Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik.
Kategori:
Analgesik
multi-tujuan:
antidepressant,
agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical.
Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant, antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal
Analgesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksan otot,
benzodiazepine,
inhibitor
osteoklas,
radiofarmaka. b. ‘By the clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik. i. Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi. c. ‘by the child’: mengacu pada peemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing-masing individu. i. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur ii. Sesuaikan dosis analgesik jika perlu d. ‘By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral. i. Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan efektif; biasanya per oral.
72
ii. Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan. iii. Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien. iv. Opioid kurang poten jika diberikan per oral. v. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan. vi. Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri yang kontinu pada anak.
Indikasi: pasien nyeri di mana pemberian per oral dan opioid parenteral
intermiten
tidak
memberikan
hasil
yang
memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral)
e. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal i. Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatif. ii. Harus dipantau dengan baik iii. Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obatobatan dan peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital / skor nyeri. f.
Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik i. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh ii. Pemeriksaan penunjang yang sesuai iii. Evaluasi faktor yang mempengaruhi iv. Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif, fisik, dan perilaku). v. Lakukan pendekatan multidisiplin
g. Berikut adalah tabel obat-obatan non-opioid yang sering digunakan untuk anak:
Obat-obatan non-opioid Obat Parasetamol
Dosis 10-15mg/kgBB oral, setiap
Keterangan Efek antiinflamasi kecil, efek gastrointestinal dan
73
Ibuprofen
4-6 jam
hematologi minimal
5-10mg/kgBB oral, setiap 6-
Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
8 jam
gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan gastrointestinal atau hipertensi.
Naproksen
Diklofenak
10-20mg/kgBB/hari oral,
Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien dengan
terbagi dalam 2 dosis
disfungsi renal. Dosis maksimal 1g/hari.
1mg/kgBB oral, setiap 8-12
Efek antiinflamasi. Efek samping sama dengan
jam
ibuprofen dan naproksen. Dosis maksimal 50mg/kali.
h. Panduan penggunaan opioid pada anak: i. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah jalur oral. ii. Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus perjam kontinu prn. iii. Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24. Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50%. iv. Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya. v. Jika efek analgesik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas , tingkatkan dosis sebesar 50%. vi. Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima opioid >1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan. vii. Meperidin tidak boleh digunakan untuk jangka lama karena dapat terakumulasi dan menimbulkan mioklonus, hiperrefleks, dan kejang.
i.
Terapi alternatif / tambahan: i. Konseling ii. Manipulasi chiropractic iii. Herbal
6. Terapi non-obat a. Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaat dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak
74
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya, warna, mainan, permen, computer, permainan, film, dan sebagainya. c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku
yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri. d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam. 10
Terapi non-obat Kognitif
Perilaku
Fisik
Informasi
latihan
pijat
Pilihan dan control
terapi relaksasi
fisioterapi
Distraksi dan atensi
umpan balik positif
stimulasi termal
Hypnosis
modifikasi gaya hidup / perilaku
stimulasi sensorik
psikoterapi
akupuntur TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation)
MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI) 1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun. 2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya dibandingkan dewasa muda. 3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit degenerative. 4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah, dan kaki. 5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah: a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric. b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
75
6. Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini: Functional Pain Scale Skala nyeri
Keterangan
0
Tidak nyeri
1
Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2
Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3
Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon, menonton TV, atau membaca)
4
Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon, menonton TV, atau membaca)
5
Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
*Skor normal / yang diinginkan : 0-2
7. Intervensi non-farmakologi a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif untuk menginduksi pelepasan opioid endogen. b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur c. Blok saraf dan radiasi area tumor d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif: terapi relaksasi, umpan balik positif, hypnosis. e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan pasien) a. Non-opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepressant trisiklik, amitriptilin, ansiolitik. b. Opioid: i. risiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek). ii. Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol). iii. Berikan opioid jangka pendek iv. Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik daripada pemberian intermiten. v. Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
76
vi. Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid sebesar 50-100% dari dosis semula. c. Analgesik adjuvant i. OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi nyeri ii. Nortriptilin,
klonazepam,
karbamazepin,
fenitoin,
gabapentin,
tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik iii. Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan menjadi 300 mg/hari
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia. Insidens perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 65 tahun. 10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi. 11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik. Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau sindrom malabsorbsi. 12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia. 13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat. 14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan. 15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi. 16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepressant, dan sedasi secara rutin harian). 17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan. 18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan: a. Penurunan / keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapat mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunnya kemampuan fungsional. b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkan imunitas tubuh c. Control nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah. d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia: a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar)
77
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol (waktu paruh panjang) c. Propoxyphene: neurotoksik d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek samping antikolinergik)
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents). 21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen pada nyeri akut). a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dnegan OAINS dan analgesik adjuvant c. Nyeri berat: opioid poten 22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hatihati dalam memberikan obat kombinasi
BAB IV DOKUMENTASI
Penatalaksanaan nyeri harus di dokumentasikan pada rekam medis pasien, sesuai formulir – formulir dokumentasi yang telah di siapkan, serta di lakukan evaluasi sesuai prosedur RS.
78
LAMPIRAN
VII:
PANDUAN
PENOLAKAN
RESUSITASI
(DO
NOT
RESUSITATION/DNR)
BAB I DEFINISI
Resusitasi jantung-Paru (RJP) didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti nafas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk pasien yang tidak sadar, tidak bernafas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi. 1.
RJP merupakan suatu prosedur emergensi dan di rumah sakit biasanya telah dibentuk tim khusus yang terlatih dan berpengalaman dalam melakukan RJP.
2.
Menurut statistic, tindakan RJP dilakukan sebanyak 1/3 dari 2 miliar kematian pasien yang terjadi di rumah sakit Amerika Serikat setiap tahunnya. Proporsi dari tindakan RJP ini dianggap berhasil merestorasi fungsi kardiopulmoner pasien.
3.
Dari pasien-pasien yang dilakukan RJP, sebanyak 1/3-nya berhasil dan 1/3 dari pasien-pasien yang berhasil ini dapat bertahan hingga pulang dari rumah sakit.
4.
Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada sifat dan derajat penyakit pasien.
5.
Pada suatu studi di Rumah Sakit Boston, pasien dengan kanker lanjut yang telah bermetastasis tidak ada yang dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit. Diantara pasien gagal ginjal hanya 2% yang bertahan hidup sampai pulang dari rumah dari rumah sakit.
6.
Biasanya pada pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial tetapi meninggal sebelum pulang dari rumah sakit, hampir selalu dirawat di Ruang Rawat Intensif (intensive Care Unit- ICU).
7.
Pada suatu studi lainnya menyatakan bahwa sekitar 11% pasien yang berhasil dilakukan RJP inisial akan mengalami RJP ulang minimal 1 kali selama masa perawatannya di rumah sakit.
8.
Biasanya pasien RJP yang berhasil bertahan hidup dan pulang dari rumah sakit tidak mengalami gangguan / disfungsi yang berat.
9.
Suatu studi menyatakan 93% dari pasien-pasien ini memiliki orientasi yang baik saat dipulangkan dari rumah sakit.
79
10. Pada pasien-pasien yang berhasil dilakukan RJP, beberapa diantaranya berhasil mengalami pemulihan sempurna, beberapa pulih tetapi memiliki masalah kesehatan dan tidak pernah kembali ke level normal sebelum terjadi henti jantung/napas, beberapa mengalami kerusakan/cedera otak atau koma, dan beberapa lainnya jatuh kembali ke dalam kondisi henti jantung/napas sehingga harus dilakukan RJP ulang. 11. Tingkat keberhasilan RJP bergantung pada: a. Penyebab terjadinya henti jantung/napas pada pasien b. Penyakit/masalah medis mendasari c. Kondisi kesehatan pasien secara umum 12. Seringnya pasien yang berhasil dilakukan RJP masih mengalami kondisi yang sakit dan membutuhkan penanganan lebih lanjut, dan biasanya dirawat di ICU. Penting untuk mengidentifikasi pasien dimana terjadinya henti napas dan jantung menandakan kondisi terminal penyakit pasien dan dimana usaha RJP tidak akan membuahkan hasil (sia-sia). Dalam menetapkan kebijakan DNR, penting untuk diketahui bahwa kebijakan ini harus dipatuhi dan diikuti oleh seluruh tenaga kesehatan profesional di tingkat primer, rumah sakit, dan petugas/tim transfer intra dan antar rumah sakit. Hak pasien untuk menolak RJP harus dihargai. Hal ini mungkin dikarenakan pasien berpendapat bahwa dengan melakukan usaha RJP hanya akan memperpanjang kualitas hidup yang buruk. Kebijakan ini hanya berkaitan dengan usaha RJP, bukan dengan penundaan atau pembatalan pemberian tatalaksana lainnya, seperti terapi antibiotik, nutrisi parenteral, dan sebagainya.
A. Pengertian 1. Henti jantung adalah suatu kondisi dimana terjadi kegagalan jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat. a. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrilasi ventrikel, asistol, atau pulseless electrical activity (PEA). b. Untuk memperoleh RJP yang efektif, resusitasi harus dimulai sesegera mungkin (< 3 menit setelah kejadian henti jantung).
80
c. Jika pasien ditemukan tidak bernapas, tidak adanya denyut nadi, dan pupil dilatasi maksimal, hal ini bukanlah kejadian henti jantung dan tidal perlu dilakukan tindakan resusitasi. 2. Resusitasi Jantung-Paru (RJP) : didefinisikan sebagai suatu sarana dalam memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut kepada pasien yang mengalami henti napas atau henti jantung. RJP diindikasikan untuk : pasien tidak sadar, tidak bernapas, dan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sirkulasi dan tidak tertulis intruksi DNR di rekam medisnya. 3. Tindakan Do Not Resuscitate (DNR) : adalah suatu tindakan dimana jika pasien mengalami henti jantung atau napas, paramedis tidak akan dipanggil dan tidak akan dilakukan usaha resusitasi jantung-paru dasar maupun lanjut. a. Jika pasien mengalami henti jantung atau napas, lakukan asesmen segera untuk mengidentifikasi penyebab dan memeriksa posisi pasien, potensi jalan napas, dan sebagainya. Tidak perlu melakukan usaha bantuan hidup dasar maupun lanjut. b. DNR tidak berarti semua tatalaksana/penanganan aktif terhadap kondisi pasien diberhentikan. Pemeriksaan dan penanganan pasien (misalnya terapi intravena, pemberian obat-obatan) tetap dilakukan pada pasien DNR. c. Semua perawatan mendasar harus terus dilakukan tanpa kecuali. 4. Fase/kondisi terminal penyakit : adalah kondisi yang disebabkan oleh cedera atau penyakit, yang menurut perkiraan dokter atau tenaga medis lainnya tidak dapat disembuhkan dan bersifat ireversibel, dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian dalam rentang waktuyang singkat, dan dimana pengaplikasian terapi untuk memperpanjang/mempertahankan hidup hanya akan berefek dalam memperlama proses penderitaan /sekarat pasien. 5. Pelayanan paliatif : adalah pemberian dukungan emosional dan fisik untuk mengurangi nyeri/penderitaan pasien. Hal ini termasuk: pemberian nutrisi, hidrasi, dan kenyamanan, kecuali terdapat intruksi spesifik untuk menunda pemberian nutrisi/hidrasi. 6. Formulir Instruksi DNR di Luar Rumah Sakit yang valid: formulir tertulis yang dinyatakan valid jika terisi lengkap dan ditandatangani oleh pasien/wali sahnya dan dokter penanggung jawab pasien. Fotocopy yang dilegalisir dianggap sah dan berlaku.
81
7. Gelang DNR: adalah gelang pengenal yang berarti bahwa pemakainya memiliki instruksi DNR yang valid. Gelang ini harus telah disetujui oleh pemerintah setempat, resmi, mudah dikenali, dan khusus/khas, dipakai dipergelangan tangan tangan atau kaki. Gelang ini harus dikenali oleh Tim Kegawatdaruratan Medis dan petugas kesehatan lainnya.
BAB II RUANG LINGKUP
A. Penanggung Jawab 1. Diektur bertanggung jawab untuk memberikan implementasi kebijakan Do Not Resuscitate (DNR). Fungsi ini didelegasikan kepada Manajer Medis. 2. Manajer Medis: memastikan setiap staf/petugas mengetahui dan mematuhi kebijakan ini, serta memastikan dilakukannya audit kebijakan DNR. 3. Staf/Petugas Rumah Sakit: semua staf terlibat dalam pengambilan keputusan tindakan DNR dan resusitasi memahami dan menerapkan kebijakan ini. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi selama proses ini berlangsung harus dilaporkan pada berkas/formulir insiden sesuai dengan algoritma yang berlaku. B. Pengambil Keputusan untuk DNR 1. Beberapa kondisi medis yang membutuhkan anestesi untuk intervensi operatif pada pasien keputusan DNR adalah: a. Alat bantu asupan nutrisi (misalnya feeding tube) b. Pembedahan segera untuk kondisi yang tidak berhubungan dengan penyakit kronis pasien (misalnya: apendisitis akut) c. Pembedahan segera untuk kondisi yang berhubungan dengan penyakit kronis pasien tetapi tidak dianggap sebagai suatu bagian dari proses terminal penyakitnya (misalnya: ileus obstruktif) d. Prosedur untuk mengurangi nyeri (misalnya: operasi fraktur kolum femur) e. Prosedur untuk menyediakan akses vascular. 2. Pada situasi emergensi: a. Tidak selalu ada cukup waktu untuk melakukan peninjauan ulang mengenai keputusan DNR sebelum melakukan anestesi, pembedahan atau resusitasi.
82
b. Akan tetapi, harus tetap dilakukan usaha untuk mengklarifikasi adanya keputusan DNR
dini/awal
yang
telah dibuat
sebelumnya
(jika
memungkinkan). 3. Fase pre-operatif: a. Lakukan diskusi antara pasien/wali sah, keluarga, anestesiologi, dokter bedah, dokter penanggung jawab pasien, dan perawat. b. Lakukan asesmen mengenai: 1) Kondisi medis pasien, termasuk status mental dan kompetensi pasien 2) Intervensi pembedahan yang perlu dilakukan 3) Riwayat keputusan DNR sebelumnya termasuk: a) Durasi batas waktu berlakunya keputusan tersebut b) Siapa yang bertanggung jawab menetapkan keputusan tersebut c) Alasan keputusan tersebut dibuat 4) Keputusan pertama yang dibuat adalah mengenai apakah pasian ini perlu menjalani anestesi dan pembedahan (pertimbangan dari sudut pandang pasien, keluarga, dokter bedah, anestesiologi). 5) Jika pembedahan dianggap perlu, tentukanlah batasan-batasan tindakan resusitasi apa saja yang dapat dilakukan di fase pre-operatif, lakukan komunikasi yang efektif, detail, dan terbuka dengan pasien, keluarga, dan atau wali sah pasien. 6) Jika keputusan DNR telah dibuat dan disepakati, harus dicatat di rekam medis pasien, ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat, dan cantumkan tanggal keputusan dibuat. 7) Lakukan prosedur pembedahan segera setelah keputusan dibuat dan kondisi medis pasien memungkinkan untuk menjalani pembedahan.
4. Fase intra-operatif: a. Keputusan DNR diaplikasikan selama pasien berada di kamar pasien operasi. b. Jika dilakukan pemberian premedikasi, haruslah sangat hati-hati untuk menghindari terjadinya perubahan status fisiologis pasien sebelum di trasfer ke kamar operasi. c. Semua petugas kamar operasi harus mengetahui mengenai pilihan keputusan DNR yang diambil.
83
d. Dokter bedah dan anestesiologi yang terlibat dalam konsultasi pre-operatif harus hadir selama prosedur berlangsung. 5. Fase pasca-operatif: a. Pilihan keputusan DNR harus dikomunikasikn kepada petugas di ruangan pemulihan. b. Pilihan ini akan tetap berlaku hingga pasien dipulangkan/dipindahkan dari ruangan pemulihan. c. Keputusan DNR sebelumnya harus ditinjau ulang saat terjadi alih rawat pasien dari ruangan pemuliahan ke perawat di ruang rawat inap. d. Pada kasus tertentu, keputusan DNR dapat diperpanjang batas waktunya hingga pasien telah ditrasfer ke ruangan rawat inap pasca-operasi. e. Harus ada audit rutin mengenai manjemen pasien dengan keputusan DNR yang dijadwalkan untuk menjalani operasi. 6. Keputusan DNR Pada Pediatrik a. Pada pasien anak (usia<18 tahun), diskusikan dengan orang tua pasien. b. Orang tua harus mendapat informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur RPJ dan DNR. c. Pertimbangkanlah juga kondisi emosianal dan tumbuh kembang pasien anak. d. Intruksi DNR harus diberitahukan kepada orang tua pasien, kecuali pada kondisi berikut ini:
Jika RJP dianggap membahayakan atau bersifat non-terapeutik.
e. Di rekam medis harus tertulis hasil diskusi dokter dengan orang tua pasien. Keputusan harus ditandatangani oleh dokter, perawat yang terlibat, dan orang tua pasien. f. Pada kasus tertentu, dimana orang tua tetap meminta dilakukan
RPJ
meskipun tim medis telah memberitahukan bahwa tindakan RPJ ini membahayakan pasien/bersifat nonterapeutik, orang tua diperboleh mencari pendapat ekspertise lainnaya(second opinion) atau (juka orang tua meminta) di perbolehkan melakukan transfer pasien jika kondisi pasien memungkinkan untuk di trasfer. g. Jika masih belum ditemukan kesepakatan antara tim medis dengan orang tua pasien, lakukanlah proses peninjauan ulang (review) oleh tim medis untuk menentukan apakah DNR perlu dilakukan atau tidak, seperti tercantum di bawah ini:
84
1) Tim medis harus menkonfirmasi bahwa terdapat kesepakatan diantara anggota timnya mengenai keputusan DNR pada pasien. 2) Meminta pendapat dokter lain di luar tim medis pasien (second opinion) mengenai apakah RJP pada pasien ini bersifat nonterapeutik/membahayakn. 3) Jika second opinion ini mendukung keputusan DNR, salah seorang anggota tim
medis
harus
menghubungi
Komisi Etik
untuk
menjadwalkan konsultasi etik. 4) Jika hasil dari konsultasi etik mendukung keputusan DNR, tim medis harus memberitahukan/melaporkannya kepada Kepala Pelayanan Medis dan Lembaga Hukum. 5) Jika Kepala Pelayanan Medis setuju dan Lembaga Hukum menyatakan bahwa keterlibatan secara hukum tidak diperlukan, orang tua harus diberitahu bahwa keputusan DNR akan dituliskan di rekam medis pasien. 6) Jika orang tua masih tidak setuju dengan keputusan DNR ini, orang tua sebaiknya diberikan kesempatan dan bantuan untuk mentransfer pasien ke fasilitas lainnya yang bersedia untuk menerima pasien. 7) Jika tidak memungkinkan untuk mentransfer pasien, instruksi DNR akan dituliskan di rekam medis pasien.
BAB III TATA LAKSANA
Prinsip a. Harus tetap ada anggapan untuk selalu melakukan resusitasi kecuali telah dibuat keputusan secara lisan dan tertulis untuk melakukan resusitasi (DNR). b. Keputusan tindakan DNR ini harus dicatat di rekam medis pasien. c. Komunikasi yang baik sangatlah penting. d. Dokter harus berdiskusi dengan pasien yang memiliki kemungkinan henti nafas/jantung mengenai tindakan apa yang pasien ingin tim medis lakukan jika hal ini terjadi. e. Pasien harus diberikan informasi selengkap-lengkapnya mengenai kondisi dan penyakit pasien, prosedur tindakan dan hasil yang mungkin terjadi.
85
f. Tanggung jawab dalam mengambil keputusan DNR terletak pada konsultan/dokter umum yang bertanggung jawab atas pasien. Jika terdapat keraguan dalam mengambil keputusan, dapat meminta saran dari dokter senior. g. RJP sebaiknya tidak dilakukan pada kondisi-kondisi berikut ini: 1) RJP dinilai tidak dapat mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan pasien. 2) Pasien dewasa, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP. 3) Terdapat alasan yang valid, kuat, dan dapat diterima mengenai pengambilan keputusan untuk tidak melakukan tindakan RJP. 4) Terdapat perintah DNR sebelumnya yang valid, lengkap, dan dengan alasan kuat. 5) Pada
pasien-pasien
yang
berada
dalam
fase
terminal
penyakitnya/sekarat, dimana tindakan RJP tidak dapat menunda fase terminal/kondisi sekarat pasien dan tidak memberikan keuntungan terapeutik (risik/berbahayanya melebihi keuntungannya). a) Contoh: henti jantung/nafas yang dialami oleh pasien merupakan kejadian alamiah akibat penyakit terminal yang diderita. Pada kasus ini, RJP mungkin dapat mengembalikan fungsi jantung-paru pasien secara sementara tetapi kondisi keseluruhan pada pasien dapat memburuk dan henti jantung/nafas akan terjadi kembali, yang merupakan bagian dari proses alamiah dan tidak dapat terhindar dari proses sekarat/kematian pasien. b) Melakukan RJP pada kasus ini akan membahayakan/merugikan pasien dan bertolak belakang dengan etika kedokteran (prinsip’do not harm’). h. Semua pasien harus menjalani asesmen secara personal. i.
Pengambilan keputusan DNR harus merupakan langkah terbaik untuk pasien dan harus didiskusikan dengan pasien meskipun tidak ada kewajiban secara etika untuk mendiskusikan DNR dengan pasien-pasien yang menjalani perawatan paliatif (dimana usaha RJP adalah sia-sia).
j.
Diskusi dengan pasien dan keluarga merupakan hal yang penting dan tergantung dengan kapasitas mental dan harapan hidup pasien. Diskusi dapat dilakukan oleh konsultan rumah sakit, dokter umum atau perawat
86
yang bertugas. Staf harus memberitahukan hasil diskusi mereka dengan pasien kepada dokter penanggung jawab pasien. k. Jika pada situasi tertentu, terdapat perbedaan pendapat antara dokter dan pasien mengenai tindakan DNR, dokter harus menghargai keinginan pasien (yang kompeten secara mental). l.
Hasil diskusi dengan pasien dan atau keluarganya harus dicatat di rekam medis pasien.
m. Di rekam medis, harus tercantum: 1) Tulisan ‘pasien ini tidak dilakukan resusitasi’ 2) Tulis tanggal dan waktu pengambilan keputusan 3) indikasi/alasan tindakan DNR 4) Nama dokter penanggung jawab pasien 5) Ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pasien yang mengambil keputusan. n. Pada pasien asing (luar negeri) dan populasi etnis minoritas dimana terdapat kesulitan pemahaman bahasa, harus terdapat layanan penerjemah yang kompeten. o. DNR hanya berarti tidak dilakukan tindakan RJP. Penanganan dan tatalaksana pasien lainnya tetap dilakukan dengan optimal. p. Tindakan DNR dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut: 1) Pasien berada dalam fase terminal penyakitnya atau kerugian/penderitaan yang dirasakan pasien saat menjalani terapi melebihi keuntungan dilakukannya terapi. 2) Pasien, yang kompeten secara mental dan memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, menolak untuk dilakukan usaha RJP. 3) RJP bertentangan dengan keputusan dini/awal yang dibuat oleh pasien, yang bersifat valid dan matang, mengenai penolakan semua tindakan untuk mempertahankan hidup pasien.
C. Keputusan Dini/Awal (Dahulu Dikenal Dengan Istilah Surat Wasiat) 1.
Terdapat kebijakan dari pihak rumah sakit mengenai keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup/ nyawa oleh pasien.
2.
Dokter sebaiknya menghargai keputusan yang diambil oleh pasien (autonomi).
87
3.
Pasien dengan keputusan dini ini tetap diberikan terapi/ penanganan lainnya, seperti pemberian obat-obatan, cairan infuse, dan lain-lain.
4.
Putuskanlah apakah diskusi mengenai keputusan DNR ini perlu dilakukan.
5.
Berikut adalah beberapa kondisi dimana perlu dilakukan diskusi dengan pasien: a. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka ingin mendiskusikan tindakan DNR dengan dokternya. b. Usaha RJP dianggap memiliki harapan untuk berhasil tetapi dapat mengakibatkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien. c. Hal yang mendasari keputusan DNR adalah tidak adanya keuntungan dalam hal medis. Diskusi harus ditekankan untuk membuat pasien menyadari, memahami, dan menerima kondisi penyakitnya serta menerima hasil keputusan yang telah didiskusikan. Diskusi juga membahas
mengenai
manajemen
paliatif
dan
prognosis
secara
keseluruhan. 6.
Berikut adalah beberapa kondisi dimana tidak perlu dilakukan diskusi dengan pasien: a. Jika resusitasi dianggap tidak ada gunanya/ sia-sia. b. Diskusi berpengaruh buruk terhadap kesehatan pasien, misalnya pasien menjadi depresi. c. Pasien yang kompeten secara mental menyatakan bahwa mereka tidak ingin mendiskusikan hal tersebut. d. Pasien mengalami deteriorasi, misalnya pasien berada dalam fase sekarat/terminal dari penyakitnya. e. Pasien dinilai tidak memiliki kapasitas yang adekuat untuk mengambil keputusan.
7.
Pasien diperbolehkan untuk mengambil keputusan dini akan penolakan tindakan penyelamatan hidup dengan memenuhi beberapa persyaratan di bawah ini: a. Usia pasien harus > 18 tahun. b. Pasien harus kompeten dan memiliki kapasitas yang baik secara mental untuk mengambil keputusan. c. Keputusan ini harus tertulis, yang berarti harus ditulis oleh pasien sendiri atau keluarga/kerabat yang dipercaya oleh pasien, dan harus dicatat di rekam medis.
88
d. Harus ditandatangani oleh 2 orang, yaitu: 1) Penulis/pembuat keputusan atau oleh orang lain atas nama pasien sambil
diarahkan
oleh
pasien
(jika
pasien
tidak
mampu
menandatangani sendiri). 2) 1 oang lain sebagai saksi. e. Harus diverifikasi oleh pernyataan spesifik yang dilakukan oleh pembuat keputusan, dapat dituliskan di dokumen lain/terpisah, yang menyatakan bahwa keputusan dini ini diaplikasikan untuk tindakan/penanganan spesifik, bahkan jika terdapat resiko kematian. f. Pernyataan keputusan dini di dokumen terpisah ini juga harus ditandatangani dan disaksikan oleh 2 orang (salah satunya pasien). 8.
Diskusi antara dokter dengan keluarga pasien mengenai keputusan ini harus atas izin pasien.
9.
Jika pasien tidak kompeten secara mental, diskusi dapat dilakukan dengan keluarga/wali sah pasien dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan pasien. Jika tidak terdapat keluarga/wali yang sah, keputusan dapat diambil oleh dokter penanggung jawab pasien.
10. Jika terdapat situasi dimana pasien kehilangan kompetensinya untuk mengambil keputusan tetapi telah membuat ‘keputusan dini DNR’ sebelumnya yang valid, keputusan ini haruslah tetap dihargai. 11. Dokter dapat tidak mengindahkan keputusan dini yang dibuat oleh pasien, jika terdapat hal-hal berikut ini: a. Pasien telah melakukan hal-hal yang tidak konsisten terhadap keputusan dini/awal yang dibuat, yang mempengaruhi validitas keputusan tersebut (misalnya, pasien pindah agama) b. Terdapat situasi yang tidak diantisipasi oleh pasien dan situasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan pasien (misalnya, perkembangan terkini dalam tatalaksana pasien yang secara drastis mengubah prospek kondisi tertentu pasien). c. Situasi/kondisi yang ada tidak jelas dan tidak dapat di prediksi. d. Terdapat perbedaan/perselisihan mengenai validitas keputusan dini/awal dan kasus tersebut telah dibawa ke pengadilan. 12. Jika terdapat keraguan terhadap apa yang pasien inginkan/maksudkan, paramedis harus bertindak sesuai dengan kepentingan/hal yang terbaik untuk pasien. Dapat meminta saran dokter senior juga.
89
13. Tatalaksana emergensi tidak boleh tertunda hanya karena mencari ada tidaknya instruksi DNR pasien jika tidak terdapat indikasi jelas bahwa instruksi tersebut ada. 14. Pasien tidak diperbolehkan menolak perawatan dasar yang diberikan. 15. Perawatan dasar ini didefinisikan sebagai pemberian tempat tidur yang nyaman dan hangat, penguranagn rasa sakit/analgesik, manajemen gejalagejala yang memicu stress fisik (seperti sesak napas, muntah, inkontinensia), dan manajemen higiene/kebersihan diri pasien. 16. Jika pasien tetap menolak perawatan dasar, dokter yang bertugas sebaiknya meminta saran dari dokter senior dan masalah ini dapat juga dibawa ke komisi etik. 17. Rumah sakit sebaiknya membuat kerangka konsep dalam hal mengambil keputusan DNR.
D. Panduan Dalam Mendiskusikan Keputusan DNR Dengan Pasien 1.
Pastikan tercipta suasana yang kondusif, tenang, privasi pasien terjaga.
2.
Kehadiran yang lengkap dari orang-orang yang ingin dilibatkan oleh pasien dalam mendiskusikan hal ini.
3.
Komunikasi dan tatap mata sebaiknya sejajar dengan tinggi/posisi pasien.
4.
Jika pasien tidak keberatan, ajaklah satu orang perawat untuk mendampingi diskusi.
5.
Perawat dapat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pasien dalam memberi dukungan dan penguatan kepada pasien setelah dokter meninggalkan ruangan.
6.
Mulailah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan umum seperti bagaimanakah pandangan pasien terhadap penyakit dan tatalaksana yang dijalani.
7.
Mengangkat topik utama: a. Mulai dengan menyatakan: “Saya ingin berdiskusi dengan Anda” b. “Apa yang Anda ingin kami (paramedis) lakukan jika suatu waktu Anda menjadi terlalu sakit untuk dapat berbicara dengan kami?” c. Salah satu hal penting adalah mengenai pernyataan tindakan resusitasi. d. “Meskipun hal ini jarang terjadi, saya perlu untuk mempertimbangkan mengenai tindakan apa yang harus kami lakukan jika jantung Anda berhenti.”
90
e. “Beberapa orang memiliki pandangan yang kuat terhadap seberapa banyak penanganan yang ingin mereka terima jika mereka menjadi sangat sakit. Saya ingin tahu apakah Anda pernah memikirkan hal itu”. 8.
Pemilihan waktu untuk berdiskusi: a. Bukan waktu yang bagus untuk melakukan diskusi segera setelah diagnosis ditegakkan. b. Waktu diskusi yang terbaik adalah saat diagnosis dan prognosis sudah jelas dan saat pasien telah mengetahui dan menerima penyakitnya.
9.
Berusahalah untuk membangun pemahaman pasien mengenai situasinya saat ini, sifat dasar resusitasi, kemungkinan tingkat keberhasilan resusitasi jika dilakukan, harapan dan keinginan pasien. Pasien dan keluarganya sering memiliki harapan/ ekspektasi yang tidak realistis dari nilai resusitasi.
10.
Berikan informasi mengenai RJP menggunakan kata-kata sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien.
11.
Tingkat pemberian informasi harus dinilai dari respons dan pemahaman setiap pasien.
12.
Jika tidak tercapai kesepakatan, diberikan pendapat dari sudut pandang dokter (paramedis) mengenai kondisi pasien dan tindakan RJP. Dapat dengan menyatakan: “Pendapat saya mungkin berbeda dengan apa yang Anda inginkan. Karena alasan itulah saya ingin berdiskusi dengan Anda.”
13.
Cobalah untuk mengerti: a. Sudut pandang pasien b. Nilai-nilai yang dianut oleh pasien c. Ruang lingkup pengaplikasian (misalnya, penanganan apa saja yang dijalani pasien)
14.
Catat sudut pandang pasien, nilai-nilai yang dianut oleh pasien, dan ruang lingkup pengaplikasian rekam medis.
15.
Diskusikan keputusan mengenai RJP dalam konteks positif sebagai bagian dari
perawatan
if.
Banyak
pasien
yang
merasa
takut
diabaikan/ditelantarkan dan merasa nyeri, melebihi rasa takutnya akan kematian. 16.
Petugas harus menekankan mengenai terapi-terapi mana saja yang akan tetap diberikan, pasien masih akan tetap dikunjungi oleh dokter secara teratur, pengendalian nyeri, dan memberikan kenyamanan kepada pasien.
91
17.
Penting
untuk
memisahkan/membedakan
keputusan
DNR
dengan
keputusan mengenai manajemen pasien lainnya. 18.
Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk berdiskusi dengan dokter, akan membuat pasien merasa dihargai dan menurunkan tingkat kecemasan/stress pasien juga.
E. Keputusan DNR Pada Pasien Dewasa Peri-Operatif 1. Tindakan pembedahan dan anastesi turut berkontribusi dalam perubahan kondisi medis pasien dengan keputusan DNR sebelumnya dikarenakan adanya perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan resiko pasien. 2. Tindakan anestesi sendiri (baik regional ataupun umum), akan menimbulkan instabilitas kardiopulmuner yang akan membutuhkan dukungan/penanganan medis. 3. Angka keberhasilan RJP di kamar operasi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di ruang rawat inap (dimana keputusan DNR ini ditetapkan). Angka keberhasilan RJP di kamar operasi ini dapat mencapai 92%. 4. Menilik dari hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan peninjauan ulang keputusan DNR sebelum melakukan prosedur anestesi dan pembedahan. 5. Rekomendasi: a. Pasien dengan keputusan DNR yang mungkin memerlukan prosedur pembedahan harus dikonsultasikan kepada tim bedah dan anestesiologis. b. Lakukan peninjauan ulan keputusan DNR oleh anestesiologis dan dokter bedah dengan pasien, wali, keluarga atau dokter penanggung jawab pasien (jika
diindikasikan)
sebelum
melakukan
prosedur
anestesi
dan
pembedahan. c. Tujuan peninjauan ulan ini adalah untuk memperoleh kesepakatan mengenai penanganan apa saja yang akan boleh dilakukan selama prosedur anestesi dan pembedahan. d. Terdapat 3 pilihan dalam meninjau ulang keputusan DNR, yaitu: 1) Pilihan pertama: keputusan DNR dibatalkan selama menjalani anestesi dan pembedahan, dan tinjau ulang kembali saat pasien keluar dari ruang pemulihan. Saat menjalani pembedahan dan anestesia, lakukan RJP jika terdapat henti jantung/napas.
92
2) Pilihan kedua: keputusan DNR dimodifikasi, dengan mengizinkan pemberian obat-obatan dan teknik anestesi yang sejalan/sesuai dengan pemberian anestesi. Hal ini termasuk: a) Monitor EKG, tekanan darah, oksigenasi, dan monitor intraoperatif lainnya. b) Manipulasi sementara dalam menjaga jalan napas dan pernapasan dengan intubasi dan ventilasi, jika diperlukan dan dengan pemahaman bahwa pasien akan bernapas secara spontan di akhir prosedur. c) Penggunaan vasopressor atau obat anti-aritmia untuk mengkoreksi stabilitas kardiovaskular yang berhubungan dengan pemberian anestesi dan pembedahan. d) Penggunaan kardioversi atau defibriator untuk mengkoreksi aritmia harus didiskusikan sebelumnya dengan pasien/wali sahnya. Lakukan diskusi mengenai pemberian kompresi dada. 3) Pilihan ketiga: keputusan DNR tetap berlaku (tidak ada perubahan). a) Pada beberapa kasus, pilihan ini tidak sesuai dengan pemberian anestesi umum dalam pembedahan b) Pasien dapat menjalani prosedur pembedahan minor dengan tetap mempertahankan keputusan DNR-nya. c) Anestesiologi harus berdiskusi dan membuat kesepakatan dengan pasien/wali sah mengenai intervensi apa saja yang diperbolehkan, seperti: kanulasi intravena, pemberian cairan intravena, sedasi, analgesic, monitor obat vasopressor, obat anti-aritmia, oksigenasi, atau intervensi lainnya. e. Pilihan yang telah disepakati harus dicatat di rekam medis pasien. f. Pilihan DNR ini harus dikomunikasikan kepada semua petugas medis yang terlibat dalam perawatan pasien di dalam kamar operasi dan ruang pemulihan. g. Secara hukum yang berwenang untuk membuat keputusan DNR ini adalah: 1) Pasien dewasa yang kompeten secara mental 2) Wali sah pasien (jika pasien tidak kompeten secara mental)
93
3) Dokter
penanggung
jawab
pasien,
yang
bertindak
dengan
mempertimbangkan tindakan terbaik untuk pasien (jika belum ada keputusan DNR dini/awal yang telah dibuat oleh pasien/wali sahnya). h. Jika setelah diskusi masih belum terdapat kesepakatan mengenai pilihan DNR mana yang digunakan, penggunaan keputusan tetaplah diberikan ke pasien/wali sahnya. i.
Jika terdapat keraguan atau ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang untuk membuat keputusan DNR, atau terdapat keraguan mengenai validitas suatu keputusan DNR dini/awal, atau terdapat keraguan mengenai tindakan apa yang terbaik untuk pasien, segeralah mencari saran kepada komisi etik atau lembaga hukum setempat.
j.
Dalam kondisi gawat darurat, dokter harus membuat keputusan yang menurutnya terbaik untuk pasien dengan menggunakan semua informasi yang tersedia.
k. Pilihan keputusan DNR ini harus diaplikasikan selama pasien berada di kamar operasi dan ruang pemulihan. l.
Keputusan DNR ini haruslah ditinjau ulang saat pasien kembali ke ruang rawat inap.
F. Keputusan DNR dan Transfer Pasien 1. Jika pasien ditransfer ke rumah sakit lain dengan instruksi DNR, dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau konsultan harus bertanggung jawab untuk melakukan asesmen ulang dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat saat ini mengenai: ‘Apakah instruksi DNR masih berlaku atau tidak?’ Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR. 2. Jika pasien ditransfer ke pelayanan primer lain dengan instruksi DNR, dokter umum di layanan primer tersebut bertanggung jawab melakukan asesmen ulang dan pengambilan keputusan harus dikomunikasikan dengan semua petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Sebelum asesmen ulang tersebut dilakukan, pasien masih dianggap sebagai DNR. 3. Saat melakukan transfer pasien, formulir DNR harus tetap disertakan dalam rekam medis pasien. Formulir DNR ini tidak boleh difotocopy.
94
G. Instruksi DNR Pada Pasien Di Luar Rumah Sakit 1. Pada situasi kasus emergensi yang terjadi di luar rumah sakit, usaha RJP memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah pada pasien dengan usia sangat lanjut atau memiliki penyakit berat/terminal. 2. Saat itu, banyak pasien-pasien dengan kondisi tersebut memilih untuk meninggal dengan tenang dan tidak ingin menjalani intervensi yang agresif, seperti RJP. Banyak juga pasien yang memilih dirawat di tumah sampai akhir usianya tiba. 3. Protokol pelayanan Kegawatdaruratan Medis menyatakan bahwa inisiasin RJP ditujukan kepada semua pasien yang mengalami henti jantung/napas, kecuali pasien telah ditemukan meninggal sebelumnya dengan tanda-tanda kematian yang jelas atau pasien memiliki instruksi tertulis DNR yang valid dan ditandatangani oleh dokter.
H. Penatalaksanaan 1. Tim Kegawatdaruratan Medis akan melakukan usaha RJP pada semua pasien yang ditemukan henti nafas/jantung kecuali jika pasien tersebut memiliki instruksi DNR yang valid. 2. Jika pasien dengan henti jantung/nafas memiliki instruksi DNR, tim kegawatdaruratan medis harus: a. Melakukan asesmen mengenai tidak adanya pernafasan dan atau denyut jantung. b. Jika petugas tiba di tempat kejadian tanpa mobil rawat intensif (MICU), ikuti protocol setempat. 3. Jika pasien dengan instruksi DNR yang valid tidak berada dalam kondisi henti jantung/nafas, tim kegawatdaruratan medis harus: a. Melakukan asesmen pasien. b. Menyediakan semua tatalaksana yang sesuai. c. Menyediakan transportasi ke rumah sakit, jika diperlukan. d. Menghargai dan memauhi instruksi DNR jika terjadi henti nafas/jantung pada pasien selama transfer. e. Memberikan salinan instruksi DNR ke rumah sakit penerima, jika tersedia. 4. Saat memutuskan untuk membuat instruksi DNR, dokter tidak boleh mempengaruhi keinginan pasien/wali sahnya.
95
5. Instruksi
DNR
dapat
dibatalkan
kapapun
oleh
pasien
dengan
merusak/menyobek formulir dan gelang DNR, atau dengan menyatakan secara lisan . 6. Validitas Instruksi DNR: a. Hanya dokter penanggung jawab pasien yang boleh menulis instruksi DNR untuk pasien yang dirawat di rumah. b. Hubungi dokter penanggung jawab pasien untuk mendiskusikan pembuatan instruksi DNR. c. Pastikan formulir DNR telah diisi dengan lengkap oleh dokter, termasuk tanda tangan dan alamat pasien/wali sah; nama, alamat, nomor telepon, dan tanda tangan dokter; dan tanggal pembuatannya. d. Gelang DNR dapat diperoleh dari dokter atau rumah sakit tempat pasien berobat. (lihat Lampiran 5 mengenai panduan gelang DNR) e. Simpan salinan instruksi DNR di rumah dan selalu dibawa oleh pasien kemanapun dia pergi. f. Pastikan semua keluarga/wali pasien mengetahui instruksi DNR ini. 7. Pada pasien di panti jompo: perawat pasien diperbolehkan untuk menulis instruksi DNR dan ‘penolakan
untuk dirawat di rumah sakit’ (do not
hospitalized), berdasarkan hasil konsultasi dengan dokter. a. Prosedur Dasar 1) Memperoleh izin persetujuan tertulis (informed consent) dari pasien/wali sahnya. 2) Melengkapi informasi instruksi DNR di luar rumah sakit. Berikan salinan direkam medis pasien. Berikan nenenrapa salinan kepada pasien dan atau keluarga/pengasuh di luara rumah sakit/panti jompo. 3) Informasikan kepada pasien dan atau pengasuh mengenai penggunaan formulir DNR ini anjurkan agar formulir ini diletakkan di tempattempat yang mudah terlihat di rumah (misalnya: papan harian pasien, senderan ranjang, pintu kamar tidur atau kulkas). 4) Pasien boleh menggunakan gelang DNR (tidak wajib). Gelang ini harus dianggap valid dan mengindikasikan bahwa pasien memiliki instruksi DNR di luar rumah sakit. Dokter harus menginformasikan kepada pasien/wali sahnya mengenai ketersediaan gelang DNR sebagai sarana tambahan untuk memberitahu Tim Kegawatdaruratan Medis.
96
5) Lakukan peninjauan ulang terhadap status DNR secara periodik dengan pasien/wali
sahnya,
lakukan revisi
terhadap
rencana
penanganan pasien (jika diperlukan), dan catatlah di rekam medis pasien. Jika instruksi DNR ini dibatalkan, berikan instruksi untuk menghancurkan/menyobek formulir DNR dan melepas gelang DNR.
I. Peninjauan Ulang Mengenai Keputusan DNR 1. Keputusan mengenai DNR ini harus ditinjau ulang secara teratur dan rutin, terutama jika terjadi perubahan apapun terhadap kondisi dan keinginan pasien. 2. Frekuensi peninjauan ulang ini harus ditentukan oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan penanggung jawab pasien. 3. Biasanya peninjauan ulang ini dilakukan setiap 7 hari sekali, tetapi dapat juga dilakukan setiap hari pada kasus-kasus tertentu. 4. Peninjauan ulang ini dipengaruhi oleh diagnosis pasien, potensi perbaiakan kondisi, dan respons pasien terhadap terapi/pengobatan.
J. Pembatalan Keputusan DNR 1. Jika instruksi DNR tidak lagi berlaku, bagian pembatalan formulir DNR harus dilengkapi/diisi. Dituliskan tanggal dan ditandatangani oleh dokter senior yang saat itu sedang bertugas atau oleh konsultan. 2. Pembatalan ini harus dengan jelas dicatat di dalam rekam medis pasien.
K. Penggunaan Gelang DNR 1. Gelang DNR merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki instruksi DNR yang valid dan berada di luar rumah sakit. 2. Gelang ini harus dihargai dan ditaati oleh tim kegawatdaruratan medis dengan atau tanpa adanya formulir DNR tertulis. 3. Gelang ini harus: a. Dipakai di pergelangan tangan/kaki pasien. b. Bertuliskan: 1) Nama pasien 2) Nama dan nomor telepon dokter 3) Tanggal pembuatan instruksi DNR dan masa berlakunya (jika ada) c. Tidak rusak/sobek.
97
4. Pasien/wali sahnya dapat meminta gelang DNR ini di rumah sakit tempat pasien berobat dengan membawa formulir DNR tertulis yang didapat dari dokter.
BAB IV DOKUMENTASI
1. Rumah sakit akan menyimpan salinan formulir instruksi DNR. 2. Rumah sakit akan bertanggung jawab dalam: a. Memberikan gelang DNR kepada pasien, berdasarkan formulir tertulis DNR yang ada. b. Melengkapi tulisan di gelang DNR, meliputi nama pasien, nama dokter, dan tanggal pembuatan DNR. c. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai tujuan dan maksud dari instruksi DNR in. Menekankan bahwa instruksi DNR ini hanya berlaku untuk usaha RJP, penanganan lainnya tetap dilakukan. 3. Instruksi DNR dapat dibatalkan dengan cara: a. Melepaskan gelang DNR b. Menyatakan secara lisan mengenai pembatalan instruksi DNR c. Menghancurkan/merobek instruksi tertulis DNR 4. Pembatalan DNR ini harus dilaporkan kepada dokter pembuat formulir dan rumah sakit tempat pasien berobat sehingga dapat dicatat ke rekam medis pasien.
98
LAMPIRAN VIII: PANDUAN PELAYANAN KEROHANIAN
BAB I DEFINISI
Setiap pasien yang datang di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta tentu dengan maksud untuk berobat agar sakitnya lekas sembuh ( sehat kembali ), maka oleh para dokter telah diberikan obatnya setelah di temukan diagnosanya. Pelayanan kerohanian adalah suatu usaha bimbingan yang diberikan oleh pihak RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta yang bekerja sama di bidang kerohanian,untuk mendampingi dan menemui pasien rawat inap, agar mampu memahami arti dan makna hidup sesuai dengan keyakinan dan agama yang dianut masing-masingyang diakui oleh Negara berupa sarana dan prasarana peribadatan dan bimbingan kerohanian. Pelayanan ini sangat berarti sebagai upaya meningkatkan rasa percaya diri kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menentukan kehidupan manusia, sehingga motivasi ini dapat menjadi pendorong dalam proses penyembuhan.Sarana dan prasarana peribadatan adalah tempat dan alat yang diperlukan pasien dan keluarga untuk dapat menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui oleh Negara. Bimbingan kerohanian adalah bimbingan dari rohaniawan kepada pasien dan keluarga sesuai dengan agama dan kepercayaan yang diakui oleh Negara. Pelayanan bimbingan rohani diberikan kepada setiap pasien rawat inap yang muslim. Pelayanan agama selain islam dilayani atas permintaan pasien/keluarga pasien dengan mengisi formulir yang diberikan dari rekam medis, dan ditindaklanjuti oleh bagian perawat bangsal.
99
BAB II RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kegiatan pelayanan kerohanian diberikan untuk pasien rawat inap RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta yang beragama Islam. Pelayanan agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu dan Budha bekerjasama dengan Kementrian Agama kota Surakarta. 1.
Panduan ini diberlakukan untuk semua pasien dan keluarganya yang di rawat di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta
2.
Pelaksana panduan ini adalah binroh RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta, yang tugasnya adalah, sebelum mengunjungi pasien petugas binroh di harapkan memperhatikan jadwal kunjunganya dan mendata pasien yang baru, kemudian mempersiapkan buku data kunjungan dan buku tuntunan rohani bagi orang sakit yang akan di bagikan / di berikan kepada pasien yang akan di kunjunginya.
3.
Ketika yang sakit adalah pasien bayi dan anak – anak maka kunjungan binroh di tujukan kepada keluarga pasien.
4.
Rumah sakit merespon dan memfasilitasi kebutuhan kerohanian pasien.
5.
Bimbingan
kerohanian
pasien
harus
dilakukan
sesuai
dengan
agama/kepercayaan pasien. 6.
Seluruh staf yang memberikan pelayanan pasien harus memahami dan menjalankan kebijakan ini.
7.
Pelayanan Rohani dapat berupa Motivasi, Konsultasi, Ceramah Agama dan Doa yang dipimpin oleh rohaniawan.
8.
Tidak dibenarkan untuk menggunakan pelayanan rohani sebagai usaha untuk merekrut atau mengajak pasien atau keluarga pasien memeluk atau mengubah kepercayaan yang sudah dianutnya.
9.
Materi pelayanan Rohani disesuaikan dengan kemampuan Rohaniawan dan Kebutuhan Rohani Pasien.
10.
Tidak
dibenarkan
untuk
menjelekkan
atau
mencemarkan
suatu
kepercayaan atau budaya tertentu dalam proses pelayanan rohani. 11.
Tidak dibenarkan untuk menjelekkan atau mencemarkan suatu Instansi termasuk rumah sakit dalam proses pelayanan rohani.
100
12.
Tidak dibenarkan untuk memberikan keterangan dan/atau pendapat dan/atau motivasi yang bertentangan dengan keterangan dokter, tenaga medis, dan Peraturan Rumah sakit.
13.
Tidak dibenarkan untuk mempengaruhi pasien terkait pengambilan keputusan persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien.
14.
Tidak dibenarkan untuk membebankan biaya apapun terhadap pasien.
BAB III TATA LAKSANA
1. Perawat memberikan informasi kepada bagian kerohanian tentang pasien baru beragama islam yang akan mendapatkan pelayanan kerohanian agama islam. 2. Pastikan pasien beragama islam untuk mendapatkan bimbingan rohani agama islam, 3. Pasien yang menghendaki bimbingan rohani agama selain islam, diharap mengisi form permintaan pelayanan rohani agama lain 4. Hubungi petugas kerohanian 5. Meminta informasi dari perawat/bidan ruangan tentang pasien yang akan diberi pelayanan rohani; 6. Berikan pelayanan rohani kepada pasien sesuai uraian tugas kerohanian; 7. Evaluasi kegiatan bimbingan rohani secara periodik dan buat laporan secara periodik kepada Manajemen melalui Manager istrasi dan Umum.
BAB IV DOKUMENTASI
1. Formulir permintaan pelayanan kerohanian. 2. Buku kunjungan rohaniawan. 3. Laporan secara periodik kepada Manajemen melalui Manager istrasi dan Umum.
101
LAMPIRAN IX: PANDUAN PERLINDUNGAN HARTA DAN BENDA MILIK PASIEN
BAB I DEFINISI
1.
Barang milik pasien adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh pasien rumah sakit baik pasien rawat jalan mau pun pasien yang sedang dalam rawatan rumah sakit yang mempunyai arti dan bisa dinilai dengan uang.
2.
Perlindungan
adalah
proses
menjaga
atau
perbuatan
untuk
melindungi. 3.
Tempat penyimpanan / penitipan barang adalah suatu sarana atau tempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik pasien rumah sakit yang tertutup dan terkunci serta jauh dari jangkauan pihak luar.
BAB II RUANG LINGKUP
1.
Panduan ini diterapkan pada semua pasien/pengunjung/karyawan selama berada di Rumah Sakit.
2.
Pelaksana panduan ini adalah semua karyawan yang bekerja di Rumah Sakit (medis ataupun non medis).
3. Semua pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah Sakit harus mendapat perlindungan harta benda pribadi dengan benar saat masuk Rumah Sakit dan selama berada di Rumah Sakit.
102
4. Setiap pasien/pengunjung/karyawan yang berada dalam Rumah Sakit harus berusaha menjaga harta benda pribadi. 5. Tujuan utama perlindungan harta benda adalah untuk menjaga keamanan yang memiliki harta benda tersebut. 6. Perlindungan
harta
benda
digunakan
pada
proses
pasien/pengunjung/karyawan yang masuk dalam Rumah Sakit atau selama berada dalam lingkungan Rumah Sakit.
KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB 1.
Seluruh Staf Rumah Sakit a.
Memahami dan menerapkan prosedur perlindungan harta benda pribadi milik pasien/pengunjung.
b.
Memastikan prosedur perlindungan harta benda pribadi milik pasien/pengunjung yang benar ketika pasien/pengunjung selama beraada di Rumah Sakit.
c.
Melaporkan kejadian salah prosedur perlindungan harta benda milik pasien/pengunjung/karyawan.
2.
SDM yang Bertugas a. Perawat/bidan : Bertanggung jawab memberikan perlindungan harta benda pasien
dengan
berkoordinasi
dengan
bagian
keamanan/security Memastikan harta benda tersimpan dengan baik. Jika terdapat kesalahan penyimpanan, maka penyimpanan harus dipindah tempatnya. b. Petugas keamanan/security : Bertanggung jawab memberikan pengamanan harta benda pasien dan memastikan pengamana tersebut tercatat pada laporan. Memastikan harta benda tersimpan dengan baik. 3.
Kepala Instalasi/Kepala Ruangan a. Memastikan seluruh staf di instalasi memahami prosedur perlindungan harta benda pasien.
103
b. Menyelidiki semua insiden salah perlindungan harta benda pasien dan memastikan terlaksananya suatu tindakan untuk mencegah terulangnya kembali kejadian tersebut.
BAB III TATA LAKSANA a. Semua pasien sebelum masuk rawat inap harus diinformasikan bahwa Rumah Sakit tidak bertanggung jawab jika ada harta benda yang hilang sebab pada saat akan masuk rawat inap sudah diinformasikan oleh bagian pendaftaran. b. Pastikan bahwa pasien sudah menyetujui dan mengerti tentang informasi yang disampaikan tentang perlindungan harta benda. c. Hubungi pihak keamanan untuk menindaklanjuti perlindungan harta benda pasien. d. Pastikan adanya proses serah terima penyimpanan sementara untuk harta benda berharga milik pasien. e. Segera hubungi pihak keamanan untuk kasus kehilangan harta benda milik pasien jika ada peristiwa kehilangan. f.
Jika perlu hubungi pihak yang berwajib untuk menangani kasus kehilangan harta benda milik pasien jika kasus tersebut berlanjut.
g. Berikut adalah beberapa prosedur yang membutuhkan perlindungan harta benda pasien: Pada saat pasien hilang kesadaran/hilang ingatan/ gangguan jiwa yang tidak ada keluarga yang mendampingi. h. Pada staf RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta harus memberikan perlindungan harta benda pasien dengan benar dan menanyakan kejelasan informasi yang disampaikan oleh bagian pendaftaran.
104
BAB IV DOKUMENTASI
1.
Pasien-pasien
dengan
keadan
tertentu
yang
memerlukan
perlindungan harta benda diidentifikasi di ruangan rawat inap. 2.
Barang-barang pasien yang dititipkan dicatat dengan lengkap dalama formulir khusus, dengan saksi minimal 2 orang yang berasal dari petugas keamanan dan petugas ruangan yang bersangkutan.
3.
Formulir tersebut kemudian disimpan dalam rekam medis pasien.
105
LAMPIRAN
X:
PANDUAN
PERLINDUNGAN
PASIEN
TERHADAP
KEKERASAN FISIK
BAB I DEFINISI
1.
Kekerasan fisik (WHO) adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual, dan psikologi. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menembak, mendorong (paksa), dan menjepit.
2.
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
3.
Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik adalah suatu upaya rumah sakit untuk melindungi pasien dari kekerasan fisik oleh pengunjung, pasien lain atau staf rumah sakit melalui prosedur identifikasi seluruh pengunjung atau penghuni Rumah Sakit, investigasi kepada setiap orang yang tidak memiliki identifikasi, monitoring lokasi yang terpencil terisolasi di Rumah Sakit dan secara cepat bereaksi terhadap mereka yang berada dalam bahaya kekerasan.
4. Kelalaian adalah suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau kelalaian tingkat kasar. Empat unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok ukur di dalam hukum pidana; a. Bertentangan dengan hukum b. Akibatnya dapat dibayangkan c. Akibatnya dapat dihindarkan d. Perbuatannya dapat dipersalahkan Tujuan dari perlindungan terhadap kekerasan fisik, usia lanjut, penderita cacat,anak-anak dan yang berisiko disakiti adalah melindungi kelompok pasien berisiko dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh pengunjung, staf 106
rumah sakit dan pasien lain serta menjamin keselamatan kelompok pasien berisiko yang mendapat pelayanan di Rumah Sakit.
BAB II RUANG LINGKUP
Kelompok yang berisiko untuk mengalami kekerasan fisik : Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang termasuk Kelompok Rentan.
Area rumah sakit yang rentan untuk terjadi kekerasan adalah : 1. area publik yang terbuka, untuk umum seperti area parkir, rawat jalan, dan penunjang pelayanan; 2. area tertutup, yang hanya dapat dimasuki orang tertentu dengan izin khusus dan pakaian tertentu, misalnya kamar operasi; 3. area semi terbuka, yaitu area yang terbuka pada saat-saat tertentu dan tertutup pada saat yang lain, misalnya rawat inap pada saat jam berkunjung menjadi area terbuka, tetapi di luar jam berkunjung menjadi area tertutup untuk itu pengunjung di luar jam berkunjung harus diatur, diidentifikasi, dan menggunakan identitas pengunjung.
BAB III TATA LAKSANA
Rumah
sakit
PKU
Muhammadiyah
Sampangan
Surakarta
mengidentifikasi kelompok pasien berisiko yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri, yaitu : 1. Bayi baru lahir 2. Anak-anak; 3. Pasien cacat; 4. Manula;
107
5. Pascabedah; 6. Gangguan kesadaran; 7. Ibu hamil 8. Pasien dengan total care
Rumah
sakit
PKU
Muhammadiyah
Sampangan
Surakarta
menetapkan tingkat perlindungan terhadap pasien tersebut. Perlindungan ini mencakup tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga mencakup hal-hal terkait keamanan, seperti kelalaian dalam asuhan, tidak memberi layanan, atau tidak memberi bantuan waktu terjadi kebakaran. Semua anggota staf memahami tanggung jawabnya dalam proses ini.
TABEL 1. PERLINDUNGAN RS TERHADAP KELOMPOK BERISIKO No
KELOMPOK
1
Bayi baru lahir
JENIS
PERLINDUNGAN
PERLINDUNGAN
DARI
DARI KELALAIAN
KEKERASAN
1. Identifikasi bayi di saksikan ibu bayi 2. Perpindahan bayi
1. CCTV pada akses ruang bayi 2. Pengantaran bayi ke
menggunakan baby
ibu untuk keperluan
basket, TIDAK BOLEH
Rooming In dengan
di gendong
proses serah terima
3. Pengantaran bayi pulang sampai gerbang RS di
tertulis ( SPO ) 3. Pengantaran dan
dorong oleh perawat
pengambilan bayi
TIDAK BOLEH di
oleh petugas
gendong ( SPO )
berseragam khusus ( SPO ) 4. Penyerahan bayi harus pada IBU bayi BUKAN yang lain ( SPO )
2
Anak-anak
Tempat tidur pakai
Kewajiban di
(yang masih
railing dan ibu bisa
tunggu orang tua
108
dalam asuhan
masuk ke tempat tidur
/wali ( peraturan RS)
3
Pasien cacat;
1. Akses difabel di beri petunjuk jelas
Railling di kamar mandi
2. Penyiapan toilet dengan closet duduk 4
Manula
1. Pencegahan risiko jatuh 2. Railling pada selasar RS
1. Pembatasan jam kunjung 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam bezoek 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di catat di satpam 4. CCTV pada akses pengunjung, di cek berkala
4
Pascabedah;
Pencegahan risiko jatuh
1. Pembatasan jam kunjung 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam bezoek 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di catat di satpam 4. CCTV pada akses pengunjung
5
Gangguan kesadaran;
1. Pembatasan jam kunjung 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam bezoek 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di catat di satpam
109
4. CCTV pada akses pengunjung 6
Ibu hamil
1. Peringatan penyampaian kondisi hamil pada
CCTV di area publik
petugas Rontgen 2. Penyampaian pada petugas medis untuk kondisi hamil untuk pemilihan obat yang aman 3. Pegangan sepanjang tangga 7
Pasien dengan
Papan catatan perawat
total care
untuk pasien total care, harus di dahulukan dalam evakuasi
1. Pembatasan jam kunjung 2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam bezoek 3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di catat di satpam 4. CCTV pada akses pengunjung
TABEL 2. RUMAH SAKIT MENJAGA KEAMANAN DALAM TIGA AREA NO
AREA
UPAYA PENGAMANAN
1
Area publik yang terbuka
CCTV pada area 2 berisiko , layar
untuk umum seperti area
monitor di monitor petugas keamanan
parkir, rawat jalan, dan
RS
penunjang pelayanan 2
Area tertutup yang hanya
Pembuatan Panduan Kode
dapat dimasuki orang
Kedaruratan
tertentu dengan izin
(Emergency Codes)
khusus dan pakaian
Pada BAB IX PERDIR PEDOMAN K3
tertentu, misalnya kamar
RS
110
operasi 3
Area semi terbuka, yaitu
1. Pembatasan jam kunjung
area yang terbuka pada
2. Verifikasi tamu pengunjung di luar jam
saat-saat tertentu dan
bezoek
tertutup pada saat yang lain, misalnya rawat inap
3. Tamu berkunjung di luar jam bezoek di catat di satpam
pada saat jam berkunjung
4. CCTV pada akses pengunjung
menjadi area terbuka,
5. Kode Kedaruratan
tetapi di luar jam berkunjung menjadi area tertutup untuk itu pengunjung di luar jam berkunjung harus diatur, diidentifikasi, dan menggunakan identitas pengunjung
BAB IV DOKUMENTASI Pelaporan secara periodik kasus – kasus kelalaian dan kekerasan, melalui manager masing – masing dan di teruskan ke direktur setiap bulan
111
LAMPIRAN XI: PANDUAN PELAYANAN PASIEN TERMINAL
BAB I DEFINISI
1. Pelayanan pada tahap terminal adalah pelayanan yang diberikan untuk pasien yang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 (enam) bulan atau kurang. Pasien yang berada pada tingkat akhir hidupnya memerlukan pelayanan yang berfokus akan kebutuhannya yang unik. Pasien dalam tahap ini dapat menderita gejala lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau terapi kuratif atau memerlukan bantuan berhubungan dengan faktor psikososial, agama, dan budaya yang berhubungan dengan proses kematian. 2. Keluarga dan pemberi layanan dapat diberikan kelonggaran melayani pasien tahap terminal dan membantu meringankan rasa sedih dan kehilangan. Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi. Kematian adalah tahap akhir kehidupan. Kematian bisa datang tiba-tiba tanpa peringatan atau mengikuti periode sakit yang panjang. Terkadang kematian menyerang usia muda, tetapi selalu menunggu yang tua. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi individu. (Carpenito, 1995). 3. Sakaratul maut (dying) adalah merupakan kondisi pasien yang sedang menghadapi kematian, yang memiliki berbagai hal dan harapan tertentu untuk meninggal. 4. Kematian (death) merupakan kondisi terhentinya pernafasan, nadi, dan tekanan darah serta hilangnya respons terhadap stimulus eksternal, ditandai dengan terhentinya aktifitas otak atau terhentinya fungsi jantung dan paru secara menetap.
112
BAB II RUANG LINGKUP
Ciri-ciri pokok pasien yang akan meninggal Pasien yang menghadapi sakaratul maut akan memperlihatkan tingkah laku yang khas, antara lain : a.
Penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada gerakan paling ujung, khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab.
b.
Kulit tampak kebiru-biruan, kelabu atau pucat.
c.
Nadi mulai tidak teratur dan lemah.
d.
Terdengar suara mendengkur disertai sura nafas Cyenes Stokes.
e.
Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri yang ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan dari individu biasanya bervariasi. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas tampak lebih pasrah menerima.
BAB III TATA LAKSANA
Tata laksana kegiatan pelayanan pada tahap terminal akhir hidup di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta a.
Melakukan assesmen dan pengelolaan yang sesuai terhadap pasien dalam tahap terminal. Problem yang berkaitan dengan kematian antara lain : 1) Problem fisik, berkaitan dengan kondisi atau penyakit terminalnya. 2) Problem
psikologi,
ketidakberdayaan,
kehilangan
kontrol,
ketergantungan, dan kehilangan diri dan harapan. 3) Problem sosial, isolasi, dan perpisahan. 4) Problem spiritual. 5) Ketidaksesuaian antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yang didapat (dokter, perawat, keluarga, dan lain-lain). b.
Memberikan pelayanan dan perawatan pada pasien tahap terminal dengan hormat dan respek.
113
c.
Melakukan intervensi untuk mengurangi rasa nyeri, secara primer atau sekunder, serta memberikan pengobatan sesuai permintaan pasien dan keluarga.
d.
Menyediakan akses terapi lainnya yang secara realitas diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. Mencakup terapi alternativ dan terapi non tradisional.
e.
Melakukan intervensi dalam masalah keagamaan dan aspek budaya pasien dan keluarga.
f.
Melakukan assesmen status mental terhadap keluarga yang ditinggalkan serta edukasi terhadap mekanisme penanganannya.
g.
Peka dan tanggap terhadap harapan keluarganya.
h.
Menghormati hak pasien untuk menolak pengobatan atau tindakan medis lainnya.
i.
Mengikutsertakan keluarga dalam pemberian pelayanan.
Pelayanan tahap akhir di Rumah Sakit dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan di Unit Rawat Inap. Adapun proses operasional pelayanan ini atau assesmen pasien tahap terminal dilakukan oleh perawat/bidan. Keperawatan/kebidanan yang mempunyai Surat Tanda Registrasi (STR) dan bekerja di RS PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta minimal 6 (enam) bulan, yang meliputi intervensi untuk mengurangi rasa nyeri, gejala primer dan atau sekunder, mencegah gejala dan komplikasi sedapat mungkin, intensitas dalam hal ini masalah psikologis, pasien dan keluarga, masalah emosional dan kebutuhan spiritual mengenai kematian dan kesusahan, intervensi dalam masalah kegamaan dan aspek budaya pasien dan keluarga, serta mengikutsertakan pasien dan keluarga dalam pemberian pelayanan. Bila pasien meninggal dunia, maka dilakukan tindakan perawatan pasien setelah meninggal dunia atau perawatan jenazah, dengan tujuan ihkan dan merapikan jenazah, memberikan penghormatan terakhir dan rasa puas kepada sesama insani. a.
Peralatan yang diperlukan : 1)
Celemek atau skort
2)
Verban atau kassa gulung
3)
Gunting verban
4)
Pinset
114
5)
Sarung tangan (Hands scouen)
6)
Bengkok (piala ginjal)
7)
Baskom
8)
Waslap
9)
Kantong plastik kecil (tempat perhiasan)
10) Kartu identitas pasien atau gelang identitas 11) Kain kaffan 12) Kapas lipat lembab dalam Koran 13) Kassa berminyak dalam kom 14) Kapas lipat kering dalam kom 15) Kapas alokohol dalam kom 16) Lysol 2-4 % 17) Ember bertutup b.
Prosedur 1) Memberitahukan kepada keluarga pasien 2) Mempersiapkan peralatan dan dekatkan ke jenazah 3) Mencuci tangan 4) Memakai celemek atau skort 5) Memakai sarung tangan (Hands scoen) 6) Melepas perhiasan dan benda-benda berharga lain dan berikan kepada keluarga pasien (dimasukkan dalam kantong plastik) 7) Melepas peralatan invasive (infus set, kateter, NGT Tube, dan lainlain) 8) ihkan mata pasien dengan kassa, kemudian ditutup dengan kapas berminyak 9) ihkan bagian hidung dengan kassa, kemudian ditutup dengan kapas berminyak 10) ihkan bagian telinga dengana kassa, kemudian ditutup dengan kapas berminyak 11) ihkan bagian mulut dengan kassa 12) Merapikan rambut jenazah dengan sisir 13) Mengikat dagu (dari bawah dagu sampai ke atas kepala) dengan verban gulung 14) Menurunkan selimut sampai ke bawah kaki
115
15) Membuka pakaian bagian atas jenazah, kemudian tempatkan dalam ember 16) Melipat kedua tangan dan arahkan ke bagian perut, kemudian mengikatnya pada pergelangan tangan dengan verban gulung 17) Membuka pakaian bagian bawah jenazah, kemudian tempatkan dalam ember 18) ihkan genetalia dengan kassa kering dan waslap 19) ihkan bagian anus dengan cara memiringkan jenazah ke arah kiri dengan meminta bantuan keluarga 20) Memasukkan kassa berminya ke dalam anus jenazah 21) Melepaskan
stcik
laken
dan
perlak
bersamaan
dengan
membentangkan kain kaffan, lipat stick laken dan taruh dalam ember 22) Kembalikan jenazah ke posisi semula 23) Mengikat kaki di bagian lutut jenazah, pergelangan kaki, dan jari-jari jempol dengan menggunakan peban gulung 24) Mengikatkan identitas jenazah pada jempol kaki 25) Membuka boven laken bersamaan dengan pemasangan kain kaffan 26) Jenazah dirapikan dan dipindahkan ke brankart 27) Alat-alat tenun dilepas dan dimasukkan ke dalam ember serta melipat kasur 28) Merapikan alat 29) Melepas handscoon 30) Melepaskan celemek 31) Mencuci tangan 32) Setelah selesai perawatan jenazah, kemudian jenazah dibawa ke kamar jenazah dan setelah mencapai 2 (dua) jam, boleh dibawa oleh keluarga, dengan serah terima antar perawat dan keluarga, gelang identitas dilepas.
116
BAB IV DOKUMENTASI
1. Status rawat jalan emergensi (instalasi gawat darurat/IGD) 2. Status rawat inap 3. Format asesmen pasien tahap terminal 4. Formulir permintaan pelayanan kerohanian 5. Buku kunjungan pelayanan kerohanian 6. Surat kematian
Ditetapkan di Pada tanggal
: Surakarta : 1 November 2018
Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Sampangan Surakarta
dr. Rosnedy Ariswati, M.Kes NBM: 827348
117