Tahun 2018 No.
Rencana Kegiatan
Desember 1
1.
Persiapan
2.
Observasi
3.
Identifikasi masalah
4.
Penentuan tindakan
5.
Penyusunan proposal
6.
Persiapan
Tahun 2019
2 3
Januari 4
1
2
3
Februari 4
1
2
3
Pelaksanaan 7.
Pelaksanaan
8.
Pengumpulan data penelitian
9.
Analisis data
10.
Penyusunan Laporan
11.
Penulisan laporan
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
PROPOSAL SKRIPSI Diajukan oleh Nama : Yanuar Arga Bagus Prasetyo NIM : 2101412170 Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
PENINGKATAN KETERAMPILAN MENYUSUN TEKS CERITA MORAL/FABEL SECARA LISAN MENGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN DENGAN MEDIA WAYANG HEWAN PADA SISWA KELAS VIII A SMP NEGERI 2 AMBARAWA
Maret 4
1
2
3 4
1.1 Latar Belakang Masalah Kurikulum 2013 (K-13) secara umum sering disebut sebagai kurikulum berbasis karakter. Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, kurikulum 2013 didasarkan pada teks. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan asional (UUSP) Nomor 20 Tahun 2003, pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara
yang
digunakan
sebagai
pedoman
penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Salah satu komponen dalam kurikulum yakni komponen tujuan. Berdasarkan hal tersebut, tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, keterampilan hidup mandiri serta mengikuti pendidikan selanjutnya. Terdapat 3 aspek penting dalam kurikulum 2013, yakni aspek pengetahuan (kognitif), aspek keterampilan (psikomotorik), dan aspek sikap (afektif). Keterampilan berbahasa mencakup empat komponen, yakni keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis (Nida 1957:19; Harris 1977:9 dalam Tarigan 2008:1). Keterampilan menyimak dan membaca merupakan keterampilan yang bersifat reseptif, sedangkan keterampilan menulis dan berbicara bersifat produktif. Sesuai dengan silabus sekolah menengah pertama mata pelajaran bahasa Indonesia kompetensi dasar 4.2 kelas VIII kurikulum 2013, siswa diharapkan mampu menyusun teks cerita moral/fabel sesuai dengan karakteristik teks baik secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa, keterampilan siswa dalam menyusun teks cerita moral/fabel sesuai dengan karakteristik teks secara lisan masih tergolong rendah. Dari 35 siswa, hanya 9 siswa yang mempu mencapai kriteria ketuntasan minimal 75. Setelah melakukan wawancara dengan guru mata pelajaran, diperoleh hasil bahwa rendahnya keterampilan siswa dalam menyusun teks cerita moral/fabel secara lisan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Selama ini keterampilan menyusun teks cerita moral/fabel dilakukan siswa secara
tulisan.
Siswa
lebih
sering
mempraktikkan
keterampilan
menulis
dibandingkan berbicara. Sedangkan dalam KD 4.2 menyusun teks cerita moral/fabel juga bisa dilakukan secara lisan. Dalam praktiknya, banyak siswa yang belum menguasai keterampilan berbicara untuk menyusun teks fabel secara lisan. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru juga kurang variatif sehingga membuat siswa kurang maksimal dalam menyampaikan teks fabel secara lisan. Guru langsung memberikan instruksi untuk menyusun teks fabel secara lisan setelah siswa membaca dan menghafal cerita yang sudah ada. Tidak ada media ataupun media yang digunakan oleh siswa juga menjadi penghambat siswa dalam menyusun teks fabel. Sedangkan dalam K-13 siswa diarahkan untuk lebih kreatif. Dalam hal ini diperlukan suatu pola pembelajaran yang lebih inovatif dan variatif yang mampu merangsang siswa untuk lebih aktif dan kreatif dalam menyusun teks fabel secara lisan. Meskipun guru hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator, namun peran guru dalam menentukan model dan media pembelajaran sangatlah penting. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti menggunakan model pembelajaran bermain peran dan media wayang hewan yang selama ini belum pernah dilakukan oleh guru dan siswa dan proses belajar mengajar. Menyusun teks fabel secara lisan dapat diartikan sebagai proses berbicara atau bercerita. Hasil akhir dari menyusun teks fabel nantinya akan disampaikan siswa dengan cara lisan atau berbicara. Banyak faktor yang berpengaruh dalam keterampilan berbicara. Ketepatan ucapan, penempatan tekanan nada dan durasi yang sesuai, pilihan kata, ketepatan sasaran pembicaraan, sikap, kepercayaan diri, pandangan mata, volume suara, kelancaran pengujaran maupun penguasaan mimik yang sesuai. Bermain peran adalah suatu cara yang diterapkan dalam proses belajar mengajar dimana siswa diberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatankegiatan untuk menjelaskan sikap dan nilai-nilai serta memainkan tingkah laku (peran) tertentu sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat yang dapat ditirukan tersebut diadaptasikan dalam teks fabel yang diperankan oleh hewan.
Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian media. Menurut Sudjana (2009), media adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga denga tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien. Sedangkan Wijaya dan Rusyan (1994) mendefinisikan media adalah media pendidikan berperan sebagai perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam meraih tujuan-tujuan belajar. 1.2 Identifikasi Masalah Keterampilan menyusun teks fabel secara lisan oleh siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa masih tergolong rendah dan belum mampu memenuhi target. Kreteria Ketuntasan Minimal (KKM) menyusun teks cerita fabel secara lisan yakni 75. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi, baik dari siswa maupun guru. Selama ini praktik yan dilakukan oleh siswa dalam menyusun teks dilakukan secara tulisan. Ketika keterampilan menyusun teks fabel dilakukan secara lisan, banyak siswa yang belum menguasai dasar-dasar yang perlu diperhatikan dalam keterampilan berbicara. Adapun afktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam berbicara seperti yang telah peneliti jelaskan dalam latar belakang. Para siswa tidak terlihat antusias ketika melakukan praktik berbicara. Ada yang justru asik sendiri ketika ada siswa lain yang sedang berbicara di depan kelas. Memang keterampilan berbicara adalah salah satu keterampilan yang cukup sulit. Seperti pepatah, “Keberanian dibutuhkan ketika berbicara di depan, keberanian juga dibutuhkan ketika duduk dan mendengarkan”. Dalam kurikulum 2013, siswa memang dilatih untuk lebih aktif dan kreatif, guru berperan sebagai fasilitator. Namun bukan berarti peran guru tidaklah penting. Guru tetap menjadi kunci dalam pelaksanaan pembelajaran. Selama ini guru langung menginstruksikan siswa untuk berbicara setelah membaca dan menghafal teks fabel. Tidak ada proses mengubah teks terlebih dahulu agar menjadi teks yang siap untuk disampaikan. Guru juga kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan praktik berbicara. Hal ini membuat banyak siswa terlihat kurang siap, atau justru takut. Tidak ada
model khusus yang diterapkan oleh guru membuat praktik berbicaraterkesan membosankan. Belum ada juga media ataupun media yg digunakan oleh guru maupun siswa untuk mendukung proses berbicara. Berdasarkan pembelajaran
faktor-faktor
bermain
peran
di
atas
dengan
peneliti
media
menerapkan
wayang
hewan
model untuk
meningkatkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan. 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, peneliti membatasi permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian, yaitu rendahnya keterampilan menyusun teks fabel secara lisan yang disebabkan karena keterampilan menyusun teks lebih sering dilakukan secara tulisan dibanding secara lisan. Kurangnya kemampuan siswa untuk menguasai dasar-dasar yang perlu diperhatikan dalam berbicara. Kualitas pembelajaran yang membosankan sehingga minat siswa pun tidak maksimal. Model pembelajaran yang kurang atraktif, dan tidak adanya media ataupun media yang menunjang pembelajaran ketika menyusun teks fabel secara lisan. Untuk meningkatkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan peneliti akan menerapkan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Dengan model ini siswa diharapkan lebih antusias dalam menyusun teks fabel secara lisan. Media wayang hewan juga mampu membuat siswa lebih percaya diri dan kreatif dalam mengembangkan keterampilannya menyusun teks fabel secara lisan. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut. 1.4.1
Bagaimana proses pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa?
1.4.2
Bagaimana peningkatan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa?
1.4.3
Bagaimana perubahan perilaku siswa setelah menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa?
1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut. 1.5.1
Mendeskripsikan proses pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa
1.5.2
Mendeskripsikan peningkatan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa
1.5.3
Mendeskripsikan perubahan perilaku siswa setelah menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa.
1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. 1.6.1
Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat pada pembelajaran bahasa dan sistra Indonesia, khususnya dalam meningkatkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa.
1.6.2
Manfaat Praktis 1. Bagi siswa Memberikan pengetahuan juga pengalaman pada siswa untuk berbicara di depan umum dan siswa dapat menerapkannya pada pembelajaran lain. Siswa juga menjadi termotivasi untuk
lebih antusias, aktif, dan kreatif dalam mengikuti pembelajaran dan mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. 2. Bagi guru Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan guru dalam meningkatkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa 3. Bagi sekolah Mendorong
pihak
sekolah
untuk
memotivasi
guru
melakukan penelitian sejenis agar mampu meningkatkan kualitas pembelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 2 Ambarawa.
2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang keterampilan menyusun teks fabel secara lisan khususnya keterampilan berbicara atau bercerita telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut merupakan tindakan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyusun teks fabel secara lisan. Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting. Berbicara menjadi cara yang paling sering digunakan dalam proses berkomunikasi. Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang padakehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari (Greene & Petty 1971:39-40 dalam Tarigan 2008:3). Pustaka-pustaka yang mendasari penilitian ini merupakan tulisantulisan hasil penelitian terdahulu yang relevansi dengan penelitian ini. penelitian tentang keterampilan berbahasa telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya dilakukan oleh Fentiningrum (2005), Alfiyah (2006), Ekayani (2006). Semua penelitian tersebut merupakan skripsi. Adapun hasil penelitian yang diperoleh dan dijabarkan sebagai berikut. Tahun 2005 Fentiningrum menyusun skripsi yang berjudul Peningkatan Kemampuan Mengungkapkan Kembali Isi Cerita Melalui Media Panggung Boneka Pada Siswa Kelas B Taman Kanak-kanak Kemala Bhayangkari 22
Kabupaten Batang. Dalam penetian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan panggung boneka mampu meningkatkan kemampuan siswa untuk mengungkapkan kembali isi cerita. Hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai pada siklus I yang mengalami peningkatan pada siklus II. Pada siklus I dicapai nilai 61, 93 dengan kategori cukup, lalu pada siklus II mencapai rata 76, 36 dengan kategori baik. Apablia kedua nilai rata-rata tersebut dipresentasekan maka peningkatannya mencapai 23, 30%. Ada pula perubahan sikap siswa yang bersifat positif. Para siswa tidak takut atau malu lagi untuk bercerita di depan kelas. Pemahaman tentang isi cerita juga menjadi lebih baik, karena siswa dapat melihat secara langsung objek yang dijadikan tokoh dalam cerita. Para siswa menyukai penggunaan media panggung boneka yang dijadikan media pembelajaran. Meskipun demikian, penelitian ini juga mempunyai kelemahan. Pada penelitian ini peneliti membuat sendiri media panggung boneka yang akan digunakan siswa. Mengingat para siswa yang masih duduk di bangku sekolah TK. Hal ini membuat para siswa kurang leluasa dalam menyiapkan media boneka yang mereka inginkan. Peneliti juga harus menyiapkan boneka secara mandiri. Penelitian yang dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaannya pada penggunaan media sebagai sarana untuk menunjang proses pembelajaran. Fentiningrum menggunakan boneka sebagai media dan peneliti menggunakan media wayang hewan. Perbedaan dapat dilihat dari kompetensi dasar yang diteliti. Fentiningrum meneliti kompetensi mengungkapkan kembali isi cerita, sedangkan peneliti mengangkat kompetensi menyusun teks fabel secara lisan. Siswa terlebih dahulu menyusun teks agar menjadi teks yang siap ditampilakn melalui cara lisan (berbicara). Selain itu subjek yang diteliti pun berbeda, yaitu siswa TK dan SMP. Para siswa juga menyiapkan media wayang hewan sendiri. Jadi siswa sepenuhnya terjun langsung dalam proses pembelajaran. Alfiyah (2006) melakukan penelitian yang berjudul Pengembangan Proses Pembelajaran Menceritakan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII B SMP Negeri 5 Semarang Menggunakan Media Foto. Penelitian ini membahas
tentang keefektifan media foto yang digunakan untuk menceritakan pengalaman pribadi. Perubahan tingkah laku siswa juga lebih positif sebesar 10, 8 %. Hal ini membuktikan bahwa penggunan media foto cukup efektif dalam pembelajaran menceritakan pengalaman pribadi. Penelitian yang Alfiyah (2006) lakukan memiliki kesamaan dengan yang peneliti lakukan. Persamaannya terletak pada keterampilan berbicara dalam menyampaikan pembelajaran. Namun dalam penelitian yang Alfiyah lakukan objeknya tentang pengalaman pribadi, sedangkan yang peneliti ambil tentang teks fabel. Ekayani (2006) dalam penelitiannya Peningkatan Keterampilan Mendeskripsikan Binatang-binatang Di Sekitar Rumah Melalui Media Syair Lagu Anak-anak Pada Siswa Kelas II MI Al-Imam Sekaran Gunung Pati Semarang.
Penelitian
ini
menunjukkan
bahwa
setelah
mengikuti
pembelajaran mendeskripsikan binatang dengan media syair lagu anak mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Peningkatan respon positif siswa meningkat sebesar 64%. Penelitian ini sudah mengarah pada keaktifan siswa keterampilan berbicara dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan media syair lagu anak-anak tentunya memberi kesan positif bagi siswa dalam pembelajaran. Para siswa menjadi termotivasi dalam pembelajaran. Mereka semakin aktif dan juga antusias. Dengan demikian, penilitan ini tentunya memberi masukan bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam menentukan teknik dalam keterampilan berbicara. Teknik yang menarik dan atraktik mampu untuk mendorong siswa lebih bersemagat dalam mengikuti pembelajaran. Bahan ajar yang digunakan hampir sama dengan yang peneliti ambil, yakni tentang binatang. Hanya saja dalam penelitian yang Ekayani lakukan binatang menjadi objek untuk dideskripsikan, sedangkan peneliti mengambil binatang sebagai tokoh dalam cerita fabel. Meskipun penelitian tentang keterampilan berbicara ataupun bercerita sudah banyak dilakukan, namun peneliti menganggap bahwa penelitian sejenis masih dioerlukan. Adanya teknik, media, media, dan model pembelajaran yang lebih menarik dan atraktif menjadi dasar untuk
meningkatkan keterampilan berbicara. Seperti yang telah diketahui bersama masih banyak siswa yang kesulitan dalam mengembangkan keterampilan berbicara. Berangkat dari realita di atas, peneliti akan melakukan penelitian peningkatan keterampilan menyusun teks fable secara lisan menggunakan model bermain peran dengan media wayang hewan. Keunikan penelitian ini dibanding penelitian-penelitian di atas, yaitu; (1) Penelitian ini didasarkan pada kurikulum terbaru, yakni kurikulum 2013 dimana masih sedikit penelitian sejenis yang dilakukan mengingat masih banyak sekolah yang menggunakan kurikulum KTSP. (2) Penelitian ini berfokus pada keterampilan menyusun secara lisan pada siswa kelas VIII, atau dalam hal ini bisa dianggap sebagai keterampilan berbicara dan lebih khusus lagi bercerita. Selama ini para siswa lebih cenderung menyusun teks secara tulis atau menulis. (3) Pemilihan teks fabel yang dijadikan bahan ajar. Teks fabel atau cerita moral merupakan salah satu teks yang penelitiannya belum banyak dilakukan. (4) Penggunaan model pembelajaran bermain peran. bermain peran uumnya dilakukan secara berkelompok. Namun dalam penelitian ini siswa bermain peran secara individu. Jadi siswa lebih berperan seperti dalang yang memainkan banyak tokoh. (5) Penggunaan media wayang hewan dalam mendukung proses pembelajaran. Para siswa membuat sendiri wayang hewan sesuai dengan teks fabel yang akan dibawakan. Penelitian ini merupuakan penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri atas dua siklus. Perlakuan yang diberikan berupa keterampilan menyusun teks secara lisan yakni keterampilan berbicara atau bercerita. Dalam penelitian ini masing-masing siswa terlebih dahulu memilih teks fabel sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Setelah itu para siswa mengubah dan menyusunnya menjadi teks yang siap ditampilkan. Setiap siswa menentukn teks dengan cerita yang berbeda-beda tiap siswa karena bersifat individu. Selanjutnya siswa membuat media wayang hewan sesuai dengan karakterkarakter hewan yang ada dalam cerita. Apabila dalam cerita tersebut ada 3 hewan yang menjadi tokoh, maka siswa juga membuat 3 wayang hewan. Siswa juga dapat menambah wayang lain sebagai pendukung, misalnya adanya wayang gunung sebagai latar tempat cerita. Wayang hewan dibuat
berdasarkan imajinasi siswa. Karakter hewan bisa dituangkan dalam kertas print atau bisa digambar sendiri dengan ukuran memadai. Wayang tersebut nantinya akan diberi tongkat penancap seperti halnya wayang pada umumnya. Setiap siswa wajib menggunakan media wayang hewan. Jadi, semua siswa terlibat secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran.
2.2 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi; 1) Hakikat berbicara, 2) Hakikat bercerita, 3) Hakikat teks fabel, 4) Model pembelajaran bermain peran, dan 5) Media wayang hewan. 2.2.1
Hakikat Berbicara Manusia adalah makhluk sosial. Artinya manusia hidup membutuhkan orang lain, tidak mampu untuk hidup sendiri. Dalam praktiknya
untuk
berhubungan
dengan
orang
lain
manusia
membutuhkan elemen-elemen yang telah disepakati dan dipahami bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menghubungkan sesama anggota masyarakat maka diperlukan komunikasi. (Tarigan 1983:8) Kridalaksana (1983, dan juga dalam Djoko Kentjono 1982) mengemukakan bahwa “bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berrkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Manusia tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan komunikasi”. Bahasa dan komunikasi merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan manusia untuk berinteraksi. 2.2.1.1 Pengertian Berbicara Linguis berkata bahwa “speaking is language”. Berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari. Berbicara tentu berhubungan erat dengan perkembangan
kosakata yang diperoleh sang anak; melalui kegiatan menyimak dan membaca. (Greene & Petty 1971: 39-40) Tarigan (1986:23) menyatakan bahwa berbicara adalah keterampilan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi, atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pemikiran, gagasan, dan perasaan. Lain halnya dengan Hendrikus (1990:14) yang menyatakan bahwa berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya untuk menyampaikan informasi atau memberi motivasi) Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapakan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau sekelompok orang secara lisan, baik dengan tatap muka ataupun tidak. Berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan dapat dilihat (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Dengan demikian, pengertian berbicara tidak hanya engacu pada alat berkomunikasi melainkan luas. Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah suatu cara untuk mengomunikasikan gagasan, pemikiran, ide, dan perasaan kepada seseorang atau sekelompok orang. 2.2.1.2 Tujuan Berbicara Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraan maupun para penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia menyampaikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak (Mulgrave 1954 : 3-4) Tarigan berpendapat bahwa. Tujuan utama dari berbicara adalah untuk berkomunikasi. agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, seyogyanyalah sang
pembicara
memahami
dikomunikasikan.
Dia
makna harus
segala mampu
sesuatu
yang
ingin
mengevaluasi
efek
komunikasinya terhadap (para) pendengarnya dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Sebagai alat sosial (social tool) ataupun sebagai alat perusahaan (business or professional tool), pada dasarnya berbicara mempunyai tiga maksud umum, yaitu : 1) Memberitahukan dan melaporkan (to inform) 2) Menjamu dan menghibur (to entertain) 3) Membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade) Gabungan atau campuran dari maksud-maksud itupun mungkin saja terjadi. Suatu pembicaraan misalnya mungkin saja merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan. (Ochs dan Winker 1979:9) 2.2.1.3 Faktor-faktor Penunjang Efektivitas Berbicara Pengetahuan tentang ilmu atau teri berbicara akan sangat bermanfaat dalam menunjang kemahiran serta keberhasilan seni praktik berbicara. Itulah sebabnya diperlukan pendidikan berbicara (speech education) (Tarigan 1983:21). Keterampilan berbicara menunjang keterampilan berbahasa lainnya. Untuk mampu menjadi pembicara yang baik tentunya seseorang terlebih dahulu harus menguasai faktor-faktor berkenaan dengan keterampilan berbicara. Berbicara merupakan sebuah keterampilan, artinya keterampilan berbicara bukan bawaan lahir melainkan usaha belajar yang dilakukan secara terus-menerus dan dapat berkembang. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar seseorang menjadi pembicara yang baik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan (Arsyad dan Mukti 1988:17). 1) Faktor Kebahasaan (a) Ketepatan Ucapan
Seorang
pembicara
harus
membiasakan
diri
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini tentunya dapat mengganggu pembicaraan dan membuatnya tidak efektif. Pengucapan bunyi yang kurang tepat atau cacat akan menimbulkan kesan negatif dalam pembicaraan, baik kebosanan, kegaduhan, dan lain
sebagainya
yang
dapat
mengganggu
suasana
pembicaraan. (b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai Sebagai pembicara sesorang harus bisa menjadi pusat perhatian bagi pendengar. Ketika topik yang disampaikan kurang menarik, pembicara dapat menutupinya dengan penempatan tekanan dan nada yang sesuai. Faktor tersebut tentunya dapat menggugah perhatian pendengar dan membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Namun apabila tekanan dan nada yang digunakan pembicara datar-datar saja suasana pasti menjadi membosankan. (c) Pemilihan kata (diksi) Wawasan seorang pembicara tentang pilihan kata atau diksi ternyata menjadi salah satu faktor penting dalam berbicara. Pemilihan kata yang tepat dan variatif tentunya lebih menarik dan mudah dipahami. Kata yang digunakan ketika
berbicara
sepantasnya
sesuai
dengan
siapa
pendengarnya. Ketika pembicara berbicara dengan orang jawa maka pilihan kata yang digunakan tidak mungkin istilah dalam bahasa sunda. Diksi yang variatif juga diperlukan dalam pembicaraan. (d) Ketepatan sasaran pembicaraan Ketepatan sasaran pembicaraan ini berkenaan dengan pemakaian kalimat. Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat yang efektif, kalimat yang mengenai
sasaran sehingga mampu menimbulkan kesan bagi pendengar. Kalimat yang efektif mempunyai kemampuan atau tenaga untuk menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar. Kalimat efektif mempunyai ciri-ciri keutuhan, kesatuan gagasan, parpautan, pemusatan, perhatian, dan kehematan. Ciri keutuhan dapat dilihat dari kat yang betul-betul padu dalam sebuah kalimat. Dalam laju kalimat tidak boleh ada perubahan gagasan ke gagasan lain yang tidak berhubungan, atau
menggabungkan
dua
buah
gagasan
yang
tidak
berkesinambungan. Perpautan berhubungan dengan unsurunsur pembentuk kalimat, misalnya antara kata dengan kata, frase dengan frase dalam kalimat. Selain itu kalimat efektif juga harus hemat, agar tidak ada kata yang mubazir atau siasia. 2) Faktor nonkebahasaan (a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku Sikap seorang pembicara mampu menjadi salah satu penentu kualitas apakah dia pembicara yang baik atau tidak. Jam terbang atau pengalaman tentunya diperlukan agar seseorang mampu menjadi pembicara yang baik. Latihan secara terus-menerus dibutuhkan agar keterampilan berbicara bisa berkembang dengan baik. Sikap wajar dan tenang ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa aspek baik situas dan kondisi, tempat, juga penguasaan topik/materi. (b) Pandangan harus diarahkan ke lawan bicara Pandangan mata pembicara harus diarahkan sepenuhnya ke lawan bicara. Sapuan mata ditujukan dari samping kanan ke kir dan dari depan ke belakang atau sebaliknya. Lawan bicara
harus
merasa
yakin
bahwa
kita
sepenuhnya
memperhatikan mereka, jadi ada timbal balik antara pembicara dan lawan bicara. Pandangan mata tidak boleh ke
atas atau ke bawah karena akan mengurangi perhatian pendengar. (c) Relevansi dan penalaran Dalam
menyampaikan
isi
pembicaraan,
seorang
pembicara hendaknya mempunyai sikap terbuka, artinya bersedia menerima pendapat dari pihak lain, menerima kritik dan saran, dan bersedia mengubah pendapatnya bila keliru. Namun juga harus mempertahankan pendatanya apabila memang benar. (d) Gerak-gerik dan mimik yang tepat Gerak-gerik atau mimik pembicara dapat meningkatkan efektivitas berbicara. Gerak yang sesuai dapat menggugah perhatian pendengar yang mungkin merasakan kejenuhan. Pembicara harus mengatur mimik agar tidak terkesan berlebihan karena akan mengganggu jalannya pembicaraan. (e) Kenyaringan suara Tingkat kenyaringan suara disesuaikan dengan situasi, kondisi, tempat, dan jumlah pendengar. Kenyaringan suara ini memang berkenaan dengan volume suara. Perlu diingat bahwa nyaring bukan berarti berteriak. Kenyaringan suara diatur agar dapat didengar dengan lirih dan jelas. (f) Kelancaran Pembicara yang lancar dalam menyampaikan materinya akan membuat pendengar menangkap dangan baik maksud dan tujuan pembicara. Kesiapan menjadi salah satu aspek dalam menentukan kelancaran. Banyak pembicara yang menyisipkan bunyi-bunyi tertentu (ee, aaa, emm) ketika hilang fokus, lupa atau bingung. (g) Penguasaan topik Penguasaan topik dapat dianggap sebagai faktor utama dalam keterampilan berbicara. Pembicaraan yang formal
menuntut kesiapan, tujuannya agar pembicara menguasai topik pembicaraan. 2.2.1.4 Kendala berbicara Berbicara
pada
situasi
formal
tidaklah
semudah
yang
dibayangkan. Meskipun seseorang mampu berbicara, namun berbicara secara formal sering menimbulkan kegugupan sehingga gagasan yang disampaikan tidak teratur (Arsyad dan Mukti 1988:23). Kendala berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan yang dipengaruhi rasa cemas karena khawatir, takut, dan gelisah (Tarigan 1990:73). Perwujudan kendala berbicara dapat dilihat pada apa yang dialami oleh pembicara, antara lain: (a) telapak tangan atau punggung berkeringat, (b) nafas terengah-engah, (c) mulut sukar menelan, (d) ketegangan otot dada, tangan, kaki dan leher, (e) tangan dan kaki bergetar, (f) suara bergetar dan paruh, (g) berbicara cepat dan tidak jelas, (h) lupa atau hilang ingatan. Teknik-teknik untuk menguasai kendala berbicara secara cepat adalah memancing hadirin pada permulaan pembicaraan dengan menceritakan
sebuah
lelucon,
mengajukan
pertanyaan
yang
memancing reaksi khalayak, atau dengan melibatkan hadirin dalam kegiatan yang dapat menghidupkan pembicaraan. 2.2.2
Hakikat Bercerita
2.2.2.1 Pengertian Bercerita Bercerita dapat diartikan menuturkan suatu hal, misalnya terjadinya sesuatu, kejadian yang benar-benar terjadi atau hanya rekaan, lakon yang diwujudkan dalam gambar. Keteramilan bercerita merupakan salah satu bentuk khusus dari keterampilan berbicara. Keterampilan bercerita sangat fungsional. Bercerita dapat berfungsi sebagai sarana menyampaikan pesan berupa penjelasan, gambaran suatu hal, menghibur, dan meningkatkan keterampilan berbicara. Bercerita (storytelling) merupakan keterampilan yang bersandar pada kemampuan mengingat dan berbicara yang merupakan kemampuan dasar pada awal tahap perkembangan manusia. Bercerita
dapat dijadikan sarana pengajaran yang praktis dan efektif. Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau suatu kejadian yang disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain (Bachir 2005:10). Bercerita adalah upaya mengembangkan potensi kemampuan anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih keterampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan. Dengan kata lain bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau kejadian secara lisan untuk mengembangkan potensi kemampuan berbahasa. 2.2.2.2 Manfaat Bercerita Menurut Bachir (2005:11), manfaat bercerita adalah dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi hal baru baginya. Manfaat bercerita dengan kata lain adalah menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi sehingga dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak. Ditinjau dari beberapa aspek, manfaat bercerita adalah sebagai berikut. 1) Membatu pembentukan pribadi dan moral anak; 2) Menyalurkan
kebutuhan
imajinasi
dan
fantasi;
3)
Memacu
kemampuan verbal anak; 4) Merangsang minat menulis anak; 5) Merangsang minat baca anak; 6) Membuka cakrawala pengetahuan anak. Cerita bagi anak memiliki manfaat yang sama pentingnya dengan aktivits dan program pendidikan itu sendiri. Manfaat tersebut akan diuraikan sebagai berikut. 1. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Cerita sangat efektif utnuk mempengaruhi cara berfikir dan berperilaku anak karena mereka senang mendengarkan cerita walaupun didengar berulang-ulang. Pengulangan imajinasi anak, dan nilai kedekatan
guru dan orang tua membuat cerita menjadi efektif dalam merangsang cara berfikir anak. 2. Cerita mendorong perkembangan moral anak karena beberapa sebab, yaitu: a. Menghadapkan siswa dengan situasi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip dengan yang dihadapi siswa dalam kehidupan. b. Cerita dapat memancing siswa menganalisis situasi, dengan melihat bukan hanya yang tampak tetapi juga yang tersirat di dalamnya, untuk menemukan isyarat-isyarat halus yang tersembunyi tentang perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain. c. Cerita mendorong siswa untuk menelaah perasaan sendiri sebelum ia mendengar respon orang lain sebagai perbandingan. d. Cerita mengembangkan rasa konsiderasi yaitu pemahaman dan penghayatan atas apa yang diucapkan atau dirasakan tokoh hingga akhirnya anak mendapat konsiderasi atas tokoh lain dalam alam nyata. 3. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi. Anak-anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang berbagai hala yang muncul dalam pikirannya. Masa usia pra-sekolah merupakan
masa-masa
aktif
anak
berimajinasi.
Anak
membutuhkan cerita atau dongeng karena beberapa hal: a. Anak membangun gambaran-gambaran mental ketika guru memperdengarkan kata-kata yang melukiskan kejadian b. Anak memperoleh gambaran yang beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman masing-masing c. Anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental d. Anak memperoleh kesempatan menangkap imajinasi dan citraan-citraan cerita: citraan gerak, audio, dan visual. 4. Memacu kemampuan verbal anak
Cerita yang bagus bukan hanya menghibur tetapi juga mendidik, sekaligus merangsang perkembangan komponen kecerdasan linguistik yang paling penting yakni kemampuan menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis. Selama menyimak cerita anak belajar bagaimana bunyi-bunyi yang bermakna diajarkan dengan benar, bagaimana kata-kata disusun secara logis dan mudah dipahami, bagaimana konteks berfungsi dalam makna. Memacu kecerdasan linguistik merupakan kegiatan yang sangat penting. Pernyataan ini ditambah dengan kelucuan dan hiburan dalam cerita yang disampaikan sehingga anak tidak bosan mendengarny dan dapat membangkitkan imajinasi mereka.
2.2.3
Hakikat Teks Cerita Moral atau Fabel
2.2.3.1 Pengertian Cerita Moral atau Fabel Dalam buku Dictionary of folklore dijelaskan bahwa animal folktale itu dapat dibedakan dalam tiga tipe, yaitu etiological tale, fable, dan beast epic (Leach 1949: 61-62). Yang dimaksud dengan etiological tale ialah cerita tentang asal-usul terjadinya suatu binatang berdasarkan pada bentuk atau rupanya sekarang ini. Fable ialah cerita binatang yang mengandung pendidikan moral. Binatang diceritakan mempunyai akal, tingkah laku, dan juga bicara seperti manusia. Sedangkan beast epic merupakan siklus cerita binatang, dengan seekor pelaku utamanya. Cerita binatang (fables, fabel) adalah salah satu bentuk cerita (tradisional) yang menampilkan binatang sebagai tokoh cerita. Binatang-binatang tersebut dapat berfikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga dengan permasalahan hidup layaknya manusia. Mereka dapat berfikir, berlogika, berperasaan, berbicara, bersikap, bertingkah laku, dan lain-lain sebagaimana halnya manusia dengan bahasa manusia. Cerita binatang seolah-olah tidak berbeda
halnya dengan cerita lain, dalam arti cerita dengan tokoh manusia, selain bahwa cerita itu menampilkan tokoh binatang. Cerita binatang hadir sebagai personifikasi manusia, baik yang menyangkut
penokohan lengkap dengan
karakternya maupun
persoalan hidup yang diungkapakan. Artinya manusia dan berbagai persoalan manusia itu diungkapkan lewat binatang. Jadi, cerita ini pun juga berupa kisah tentang manusia dan kemanusiaan yang juga ditujukan kepada manusia, tetapi dengan komunitas perbinatangan. Tujuan cerita ini jelas, yaitu untuk memberikan pesan-pesan moral (Huck dkk 1987:303; Mitchelll 2003:245). Para tokoh binatang ini hanya dijadikan sarana, personifikasi, untuk memberikan pelajaran moral tersebut. Tujuan pemberian ajaran moral inilah yang menjadi fokus penceritaan dan sekaligus yang menyebabkan hadirnya cerita binatang di tengah masyarakat. Binatang adalah makhluk yang ada di sekeliling kita, maka mereka menjadi familiar bagi kita dan anak-anak terutama binatangbinatang jinak seperti kucing, ayam, kelinci, dan anjing. Kita sering menjumpai anak-anak berbicara dengan binatang piaraannya iru, atau boneka tiruannya, seolah-olah binatang itu dapat berbicara. Karena cerita berkaitan dengan dunia binatang dan tidak secara langsung menunjuk manusia, dan karena bersifat impersional, pesan moral atau kritik yang ingin disampaikan menjadi lebih bersifat tidak langsung. Hal itu menyebabkan pembaca menjadi lebih senang dan menikmati, dan kalaupun termasuk yang terkena kritik, menjadi tidak terasa sertamerta karena baik yang memberikan kritik dan pesan maupun yang dituju adalah sama-sama binatang. Dalam cerita fabel binatang diperlengkapi dengan perasaan dan akal seperti manusia. Hal ini tidak lain dimaksudkan sebagai suatu cerita yang memberikan sindiran atau kiasan terhadap perbuatan manusia itu sendiri. Pada zaman dahulu biasanya orang tidak mau secara langsung memberikan pelajaran terhadap seseorang, akan tetapi secara halus sambil bercerita. Dalam cerita itu digambarkan watak
binatang yang bodoh, bebal, dan tingkah laku yang menggelikan, di samping tokoh binatang yang cerdik, suka menipu, dan sifat buruk lainnya untuk mempermainkan binatang yang merasa dirinya kuat dan berani; tapi tidak mempunyai akal. 2.2.3.2 Jenis Cerita Moral/Fabel Dilihat dari waktu kemunculannya, cerita binatang dapat dikategorikan ke dalam cerita klasik dan modern. Cerita fabel klasik dimaksudkan sebagai cerita yang telah ada sejak zaman dahulu, namun tidak diketahui persis kapan munculnya, yang diwariskan turun-temurun terutama lewat sarana lisan. Cerita binatang sudah ada sejak zaman Yunani klasik dan India kuno, misalnya cerita berjudul Jataka dan Pancatantra. Di Indonesia cerita itu juga ditemukan di Malayu, Jawa, Sunda, Toraja, dan lain-lain. Di dalam cerita itu selalu ditampilkan binatang yang menjadi peran utama, kecil, lemah, tetapi cerdas sehingga dapat menundukkan binatang-binatang yang besar dan kuat. Di pihak lain, cerita binatang modern (fabel modern) dimaksudkan sebagai cerita yang muncul dalam waktu relatif belum lama dan sengaja ditulis oleh pengarang tertentu sebagai eksprei kesastraan. Secara prinsipial tidak ada perbedaan antara fabel klasik dan modern kecuali bahwa yang disebut belakangan ditulis relatif belum lama dan sengaja dimaksudkan sebagai bahan bacaan sastra. Namun bahwa cerita binatang dipergunakan untuk memberikan pesan moral kepada pembaca, terutama anak-anak merupakan tujuan lain hadirnya cerita itu baik dalam cerita binatang klasik maupun modern. 2.2.3.3 Struktur Isi Teks Fabel Secara garis besar struktur isi cerita moral/fabel adalah sebagai berikut. 1. Judul Judul dalam cerita fabel dapat berupa nama tokoh, nama tempat, nama benda/sesuatu yang hendak dibuat, dilakukan, disenangi,
atau diharapkan oleh tokoh. Judul ditulis di bagian paling atas dan diawali huruf kapital. 2. Orientasi (Perkenalan) Pada tahap ini pengarang memulai cerita dengan memperkenalkan tokoh, tempat tinggal, lingkungan tokoh, dan suasananya. 3. Komplikasi (Muncul Permasalahan) Dalam komplikasi digambarkan munculnya permasalahan dalam cerita oleh tokoh. 4. Rangkaian Peristiwa Tahap ini memaparkan rangkaian peristiwa yang menggambarkan bagaimana reaksi tokoh terhadap permasalahan. 5. Klimaks Klimaks merupakan bagian puncak dari permasalahan yang muncul dalam cerita. 6. Resolusi (Penyelesaian) Tahap ini merupakan akhir suatu cerita yang ditandai dengan terselesaikannya permasalahan yang dihadapi tokoh. 2.2.3.4 Kaidah Kebahasaan Teks Fabel 1) Memuat tokoh 2) Menggunakan kata sandang si dan sang 3) Memuat
kata-kata
sifat
untuk
mendeskripsikan
pelaku,
penampilan fisik, atau kepribadiannya. 4) Memuat kata-kata keterangan untuk menggambarkan latar (latar waktu, tempat, dan suasana) 5) Memuat kata kerja yang menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dialami para pelaku 2.2.4 Model Pembelajaran Bermain Peran Bermain peran adalah suatu cara yang diterapkan dalam proses belajar mengajar dimana siswa diberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk menjelaskan sikap dan nilainilai serta memainkan tingkah laku (peran) tertentu sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Model pembelajaran bermain
peran termasuk dalam model interaksi sosial. Model ini menekankan relasi individu dengan masyarakat dan orang lain. Sasaran utamanya adalah untuk membantu siswa belajar bekerja sama, baik yang sifatnya akademik maupun sosial. Fannie Shaftel (1967) menjelaskan bahwa role playing (bermain peran) merupakan sebuah model pembelajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu masing-masing siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok. Dalam dimensi sosial, model ini memudahkan individu untuk bekerja sama dalam menganalisis kondisi sosial, khususnya masalah kemanusiaan. Model ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah. Esensi role playing adalah keterlibatan partisipan dan peneliti dalam
situasi
permasalahan
dan
adanya
keninginan
untuk
memunculkan resolusi damai serta memahami apa yang dihasilkan dari keterlibatan langsung ini. Role playing berfungsi untuk (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, dan (4) mengeksplorasi materi pelajaran dengan cara yang berbeda. 2.2.4.1 Sintakmatik model Pembelajaran Bermain Peran Menurut Fannie Shaftel ada 9 tahap dalam model role playing. 1) Pemanasan Suasana Kelompok -
Guru mengidntifikasi dan memaparkan masalah
-
Guru menjelaskan masalah
-
Guru menafsirkan masalah
-
Guru menjelaskan role playing
2) Seleksi partisipan -
Guru menganalisis peran
-
Guru memilih pemain (siswa) yang akan melakukan peran
3) Pengaturan setting -
Guru mengatur sesi-sesi peran
-
Guru menegaskan kembali tentang peran
-
Guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah
4) Pemilihan siswa sebagai pengamat -
Guru dan siswa memutuskan apa yang akan dibahas
-
Guru memberi tugas pengamatan terhadap salah seorang siswa
5) Pemeranan -
Guru dan siswa memulai role play
-
Guru dan siswa mengukuhkan role play
-
Guru dan siswa menyudahi role play
6) Diskusi dan Evaluasi -
Guru dan siswa mereview pemeranan (kejadian, posisi, kenyataan)
-
Guru dan siswa mendiskusikan fokus-fokus utama
-
Guru dan siswa mengembangkan pemeranan selanjutnya
7) Pemeranan kembali -
Guru dan siswa memainkan peran yang berbeda
-
Guru memberi masukan atau alternatif perilaku dalam langkah selanjutnya
8) Diskusi dan Evaluasi -
Dilakukan sebagaimana tahap enam
9) Sharing dan Generalisasi Pengalaman -
Guru dan siswa menghubungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia nyata dan masalah-masalah lain yang mungkin muncul
-
Guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku
2.2.5 Media Wayang Hewan 2.2.5.1 Pengertian Media Kata media berasal dari dua kata alat dan peraga. Peraga artinya bertugas “meragakan” atau membuat bentuk “raga” atau bentuk “fisik” dari suatu arti/pengertian yang dijelaskan. Bentuk fisik itu
dapat berbentuk benda nyatanya atau benda tiruan dalam bentuk model atau dalam bentuk gambar visual/audio visual. Media dapat dimasukkan sebagai bahan pembelajaran apabila media tersebut merupakan
desain
materi
yang
diperuntukan
sebagai
bahan
pembelajaran. Menurut Sudjana (2009), media pendidikan adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien. Sedangkan Wijaya dan Rusyan (1994) berpendapat bahwa media pendidikan adalah media pendidikan
yang berperan sebagai
perangsang belajar dan dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam meraih tujuan-tujuan belajar. Amir Hamzah (1981), mengemukakan bahwa media pendidikan merupakan alat-alat yang dapat dilihat dan didengar untuk membuat cara berkomunikasi menjadi efektif. Sedangkan yang dimaksud media menurut Nasution (1985:95) adalah alat bantu dalam mengajar agar lebih efektif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media pendidikan adalah alat yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar 2.2.5.2 Fungsi Media 1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan 2) Mencapai sasaran yang lebih banyak 3) Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh pelaku pendidikan 4) Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan 5) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan cepat 2.2.5.3 Jenis-jenis media 1) Media lihat (visual)
Alat ini berguna menstimulasi indera mata (penglihatan) pada waktu berlangsungnya proses pendidikan. Alat ini ada 2 bentuk. a) Alat yang diproyeksikan (slide, film bisu, film strip, dsb) b) Alat yang tidak diproyeksikan -
2 dimensi : gambar, peta, bagan, dsb.
-
3 dimensi : globe, boneka, wayang.
2) Media dengar (audio) Alat yang dapat membantu menstimulasi indera pendengar waktu proses penyampaian bahan pendidikan/pengajaran, misalnya radio, musik, pita suara, rekaman, dsb. 3) Media lihat dan dengar (audio-visual) Media
yang
dapat
merangsang
indera
penglihatan
dan
pendengaran sekaligus. Media ini lebih dikenal dengan istilah Audio Visual Aids (AVA), contohnya televisi. Berdasarkan pembuatan dan penggunaannya, media dibedakan menjadi dua macam. 1) Media yang complicated (rumit), seperti film, film strip slide, dan sebagainya yang memerlukan listrik dan proyektor. 2) Media sederhana, yang mudah dibuat sendiri dengan bahan yang mudah diperoleh. 2.2.5.4 Pengertian Wayang Wayang berasal dari bahasa Indonesia (Jawa) asli yang berarti bayang atau bayang-bayang yang berasal dari akar kata yang yang mendapat awalan “wa” dan menjadi wayang. Kata wayang, hamayang pada waktu dahulu berarti mempertunjukkan (bayangan), lambat laun menjadi pertunjukan bayang-bayang kemudian menjadi seni pentas bayang-bayang atau wayang (Mulyono 1983). Menurut Darminta (dalam Sagio dan Samsugi 1991:4), wayang dapat diartikan sebagai gambar atau tiruan manusia yang tebuat dari kulit, kayu, dan sebagainya untuk mempertunjukkan suatu lakon atau cerita. Dalam bahasa Jawa perkataan wayang artinya wayanganan (layangan).
Menurut Jasawidagdo (dalam Sagio 1991:4) arti kata wayang adalah ayang-ayang (bayangan), karena dilihat dari bayangan dalam kelir (tabir). Di samping itu tidak ada yang mengartikan bayangan angan-angan yang menggambarkan perilaku nenek moyang atau orang yang terdahulu dalam angan-angan. Oleh karena itu menciptakan segala bentuk apa saja pada wayang disesuaikan dengan perilaku tokoh yang dibayangkan dalam angan-angan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa wayang merupakan 1) boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang; 2) pertunjukan wayang (selengkapnya); 3) pelaku (yang hanya sebagai pelaku bukan perencana); 4) bayang-bayang. 2.2.5.5 Fungsi Wayang Dalam pertumbuhannya sejakawal diciptakan hingga sekarang, fungsi wayang mengalami beberapa perubahan.wayang pada waktu pertama kali diciptakan mempunyai fungsi sebagai alat dalam suatu upacara yang berhubungan dengan kepercayaan (magis, religius). Ada kepercayaan bahwa roh orang yang meninggal tetap hidup dan tinggal di kay besar, batu-batu, dan gunung-gunung. Wayang merupakan media pendidikan, karena ditinjau dari segi isinya, banyak meberikan ajaran-ajaran kepada manusia. Baik manusia sebagai individu atau manusia sebagai anggota masyarakat. Jadi wayang dalam media pendidikan terutama pendidikan budi pekerti, besar sekali gunanya. Wayang menjadi media informasi dilihat dari segi penapilannya. Wayang dapat dipakai untuk memahami suatu tradisi, dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat, memberikan informasi-informasi mengenai masalah kehidupan dan segala seluk-beluknya.
Wayang juga berfungsi sebagai media hiburan. Wayang dipakai sebagai pertnjukan dalam berbagai macam keperluan sebagai hiburan. Misalnya dalam acara perkawinan, khitanan, dan lain sebagainya. 2.2.5.6 Jenis Wayang Menurut Encyclopedie Van Netherland Indie Dactie Van D. G. Stebbe, ada 7 jenis wayang. 1) Wayang Purwa; 2) Wayang Gedhog; 3) Wayang Klithik/Krucil; 4) Wayang Golek 5) Wayang Topeng; 6) Wayang Wong/Orang; 7) Wayang Beber. Menurut Guritno (dalam Sagio dan Samsugi 2003) macammacam tersebut sesuai urutannya. 1) Wayang Beber; 2) Wayang Purwa; 3) Wayang Madya; 4) Wayang Gedhog; 5) Wayang Klithik; 6) Wayang Golek; 7) Wayang Suluh. Suwaryadi (dalam Sagio dan Samsugi 2003) menjelaskan bahwa wayang dibagi menjadi dua jenis: 1) Wayang Beber. Beber (dibeber) berarti dibentangkan atau diceritakan. Wujudnya gambar berurut lalu diterangkan. 2) Wayang Purwa. Wayang Purwa disebut juga wayang kulit, karena terbuat dari kulit hewan. Dari wayang purwa ini diturunkan menjadi tiga jenis yaitu wayang gedhog, wayang klithik, dan wayang golek. Dalam penelitian ini wayang hewan diartikan sebagai media tiruan wayang yang terbuat dari kertas dan berbentuk hewan. 2.3 Kerangka Berpikir Keterampilan menyusun teks fabel secara lisan merupakan keterampilan yang diajarkan pada kelas VIII semester 1. Keterampilan menyusun teks secara lisan diwujudkan dalam keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara merupakan salah satu dari empat keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Keterampilan siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa dalam menyusun teks fabel secara lisan masih tergolong rendah. Keterampilan menyusun teks yang termasuk dalam keterampilan berbicara merupakan keterampilan
yang
bersifat
produktif.
Untuk
mempu
menguasai
keterampilan berbicara secara baik para siswa harus dilatih secara terusmenerus. Siswa belum mampu menyusun teks fabel secara lisan dengan baik. Masih banyak kendala-kendala dalam pembelajaran yang membuat pembelajaran tidak efektif. Faktor-faktor penghambat pembelajaran tersebut berasal dari guru dan siswa. Penggunaan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan diharapkan mampu meningkatkan keterampilan siswa dalam menyusun teks fabel secara lisan. Model pembelajaran bermain peran diterapkan dalam pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. Selama ini guru tidak pernah menggunakan model apapun dalam pembelajaran. Model pembelajaran bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran sosial. Namun dalam penerapannya nanti, siswa bermain sebagai individu dengan memainkan bebrapa peran yang ada dalam cerita fabel. Dengan model ini proses penyampaian dalam menyusun teks secara lisan akan lebih atraktif. Media wayang hewan juga menjadi salah satu alat yang digunakan peneliti untuk meningkatkan kreativitas dan mendukung pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. Para siswa secara mandiri dapat membuat wayang sederhana ini sesuai dengan kreativitas mereka sesuai dengan karakter hewan yang diperankan. Untuk
mampu
menciptakan
pembelajaran
yang
berkualitas
diperlukan model, metode, teknik, strategi, media, maupun media yang tepat. Para guru dan siswa hendaknya terlibat secara penuh dalam pembelajaran karena pembelajaran bersifat dua arah. Siswa diharapkan mampu mengambil manfaat dari pembelajaran menyusun teks fabel menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayag hewan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu peneliti tertarik unutk melakukan penelitian menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa. 2.4 Hipotesis Tindakan
Hipotesis
tindakan
dalam
penelitian
ini
adalah
dengam
menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan, keterampilan siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa dalam menyusun teks fabel secara lisan dapat meningkat. Selain itu, siswa menjadi lebih antusias dan percaya diri dalam berbicara ataupun bercerita. Guru akan lebih aktif, kreatif, dan selektif dalam menentukan model, strategi, teknik, alat perag, maupun media dalam menunjang proses belajar-mengajar.
Pembelajaran
juga
akan
lebih
atraktif
dan
menyenangkan. 3. Metode Penelitian Pada bagian ini akan dipaparkan metode penelitian yang digunakan meliputi desain penelitian, subjek penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. 3.1 Desain Penelitian Penelitian mengenai penggunaan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Subyantoro (2012:12) menuturkan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan pembelajaran untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Siklus I
Siklus II
PERENCANAAN
PERENCANAAN
TINDAKAN
REFLEKSI
TINDAKAN
REFLEKSI
P
OBSERVASI
Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Sumber: Subyantoro (2009)
OBSERVASI
Siklus dalam penelitian artinya putaran. Satu siklus terdiri atas empat langkah, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi (Arikunto:2010). Tahap pertama, perencanaan. Perencanaan adalah perincian rencana yang akan yang akan dilakukan untuk meningkatkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan. Tahap kedua, pelaksanaan atau tindakan yakni suatu langkah yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya perbaikan atau solusi. Tahap yang ketiga, observasi atau pengamatan terhadap hasil dari tindakan yang telah dilaksanakan siswa, kesulitan yang dialami siswa, tanggapan siswa didokumentasikan untuk dijadikan pertimbangan dalam perencanaan siklus selanjutnya. Tahap yang keempat atau terakhir, refleksi yakni kegiatan mengulas hasil dari tindakan yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil refleksi peneliti dapat melakukan perbaikan terhadap rencana awal untuk siklus berikutnya. 3.1.1
Prosedur Tindakan Siklus I Prosedur tindakan siklus I terdiri atas perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. 1) Perencanaan Perencanaan
yang dilakukan pada siklus 1 yaitu, (1)
berkoordinasi dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan (2) menyiapkan materi yang akan diujikan berupa praktik menyusun teks fabel secara lisan dengan kriteria penilaiannya. (3) menyiapkan lembar pengamatan, pedoman wawancara, jurnal siswa dan guru, (4) menyusun rancangan evaluasi, dan (5) mempersiapkan alat dokumentasi. 2) Tindakan Tindakan sesuai pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun yang dibagi menjadi dua pertemuan. Tindakan yang dilakukan adalah pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan
menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Pertemuan pertama, siswa difokuskan untuk memahami materi teks fabel. Setelah itu siswa akan diberikan penjelasan terkait praktik menyusun teks cerita fabel dengan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Pada kegiatan awal (pendahuluan) siswa dikondisikan untuk siap mengikuti pembelajaran dengan diberikan motivasi agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Pemberian penjelasan manfaat tentang pembelajaran yang dapat diterapkan dalam dunia nyata dapat menambah antusias para siswa dalam mengikuti pembelajaran. Sebelum melakukan praktik menyusun teks fabel secara lisan, terlebih dahulu dipaparkan tentang hakikat teks fabel, baik pengertian, jenis, struktur isi, dan kaidah kebahasaan dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas. Lalu dijelaskan pula materi-materi yang berkaitan dengan berbicara, yaitu faktor-faktor penunjang efektivitas berbicara. Setelah itu siswa diberikan penjelasan tentang model pemelajaran bermain peran. Dijelaskan bahwa pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan bersifat individu, jadi penerapan bermain peran akan diterapkan secara individu, bukan dalam kelompok. Setiap siswa nantinya akan memainkan berbagai peran dalam cerita fabel yang diceritakan. Apabila dalam cerita fabel itu ada 3 tokoh, maka siswa juga memainkan 3 tokoh tersebut. Selanjutnya siswa akan dijelaskan tentang media wayang hewan yang akan digunakan. Setiap siswa wajib membuat semua tokoh dalam cerita teks fabel yang akan diceritakannya secara mandiri. Selain tokoh-tokoh dalam cerita, siswa juga diperbolehkan untuk membuat karakter-karakter pendukung apabila memungkinkan. Misalnya pohon, bunga, gunung, dll. Wayang hewan dibuat dari kertas. Bisa dengan digambar sendiri maupun dicetak. Wayang dibuat dengan sederhana dan sekreatif siswa. Yang perlu diperhatikan wayang tersebut dibuat bolak-balik. Wayang hewan juga diberi
tongkat yang dilekatkan pada wayang tersebut agar bisa dipegang dan ditancapkan. Kemudian dipaparkan tentang cara penyusunan teks fabel dan sistematika pelaksanaan dan penilaian. Pada tahap menyusun teks fabel siswa memilih sendiri teks fabel yang akan dibawakan. Teks fabel yang dipilih setiap siswa harus berbeda. Teks fabel yang telah dipilih diubah menjadi teks yang siap dipentaskan dalam durasi kurang lebih 5 menit. Penyusunan teks fabel dilakukan di rumah. Dalam sistematika pelaksanaan dijelaskan bahwa urutan penampilan siswa
diundi
secara
acak.
Namun
sebelumnya
guru
telah
mempersilakan siswa apabila ada siswa yang hendak maju terlebih dahulu dengan adanya tambahan nilai. Setiap siswa mendapatkan waktu 5 menit dalam memaparkan cerita teks fabel. Terakhir akan dijelaskan tentang sistematika penilaian. Pada
kegiatan
penutup
(akhir)
guru
bersama
siswa
menyimpulkan pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. Siswa dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan apabila ada hal yang belum dimengerti. Setelah itu guru mengingatkan siswa untuk mempersiapkan diri menampilkan teks fabel pada pertemuan selanjutnya. Pada pertemuan kedua guru dan siswa langsung menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pementasan. Setelah itu siswa langsung melaksanakan praktik menyusun teks fabel secara lisan. Praktik dilaksanakan dalam 2x pertemuan. 3) Observasi Dalam melakukan observasi, peneliti dibantu pengamat lain yang turut dalam mengamati jalannya pembelajaran berdasarkan lembar observasi keaktifan peserta didik yang telah disiapkan oleh peneliti. Selama observasi dan pengamatan dicatat tentang aktivitas belajar siswa, baik keaktifan siswa dalam bertanya, menjawab pertanyaan ataupun dalam berdiskusi. Hasil data tes diperoleh dari hasil penilaian menyusun teks fabel secara lisan sedangkan data
nontes diperoleh dari observasi, wawancara, dan dokumentasi foto. Proses pengambilan data tes digunakan untuk menilai keterampilan menyusun teks fabel secara lisan. 4) Refleksi Refleksi merupakan analisis hasil observasi dan hasil tes belajar siswa. Pada tahap ini peneliti berdiskusi dengan guru mengenai hasil pengamatan yang dilakukan selama pembelajaran. Refleksi bertujuan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan yang terjadi saat pembelajaran berlangsung. Hasil dari diskusi yang dilakukan akan digunakan sebagai pertimbangan dalam merencanakan pembelajaran siklus berikutnya. 3.1.2
Prosedur Tindakan Siklus II Proses tindakan pada siklus II merupakan tindak lanjut dari siklus I. Kekurangan pada siklus I diperbaiki pada proses pembelajaran siklus II. Langkah-langkah siklus II sama dengan sikus I, meliputi perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi atau evaluasi. 1) Perencanaan Peneliti kembali berkoordinasi dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia memperbaiki rencana pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media. Peneliti kembali menyiapkan lembar observasi, lembar jurnal, lembar wawancara, dan alat dokumentasi. 2) Tindakan Tindakan sesuai pada rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah diperbaiki. Kekurangan-kekurangan pada siklus I diperbaiki dalam siklus II. Tindakan yang dilakukan adalah pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Pertemuan pertama, siswa kembali difokuskan untuk memahami materi teks fabel. Setelah itu siswa akan diberikan penjelasan terkait praktik menyusun teks cerita fabel dengan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Pada
kegiatan awal (pendahuluan) siswa dikondisikan untuk siap mengikuti pembelajaran dengan diberikan motivasi agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Pemberian penjelasan manfaat tentang pembelajaran yang dapat diterapkan dalam dunia nyata dapat menambah antusias para siswa dalam mengikuti pembelajaran. Sebelum melakukan praktik menyusun teks fabel secara lisan, terlebih dahulu dipaparkan tentang hakikat teks fabel, baik pengertian, jenis, struktur isi, dan kaidah kebahasaan dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas. Lalu dijelaskan pula materi-materi yang berkaitan dengan berbicara, yaitu faktor-faktor penunjang efektivitas berbicara. Setelah itu siswa diberikan penjelasan tentang model pemelajaran bermain peran. Dijelaskan bahwa pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan bersifat individu, jadi penerapan bermain peran akan diterapkan secara individu, bukan dalam kelompok. Setiap siswa nantinya akan memainkan berbagai peran dalam cerita fabel yang diceritakan. Apabila dalam cerita fabel itu ada 3 tokoh, maka siswa juga memainkan 3 tokoh tersebut. Selanjutnya siswa akan dijelaskan tentang media wayang hewan yang akan digunakan. Setiap siswa wajib membuat semua tokoh dalam cerita teks fabel yang akan diceritakannya secara mandiri. Selain tokoh-tokoh dalam cerita, siswa juga diperbolehkan untuk membuat karakter-karakter pendukung apabila memungkinkan. Misalnya pohon, bunga, gunung, dll. Wayang hewan dibuat dari kertas. Bisa dengan digambar sendiri maupun dicetak. Wayang dibuat dengan sederhana dan sekreatif siswa. Yang perlu diperhatikan wayang tersebut dibuat bolak-balik. Wayang hewan juga diberi tongkat yang dilekatkan pada wayang tersebut agar bisa dipegang dan ditancapkan. Kemudian dipaparkan tentang cara penyusunan teks fabel dan sistematika pelaksanaan dan penilaian. Pada tahap menyusun teks fabel siswa memilih sendiri teks fabel yang akan dibawakan. Teks fabel yang dipilih setiap siswa harus berbeda. Teks fabel yang telah
dipilih diubah menjadi teks yang siap dipentaskan dalam durasi kurang lebih 5 menit. Penyusunan teks fabel dilakukan di rumah. Dalam sistematika pelaksanaan dijelaskan bahwa urutan penampilan siswa
diundi
secara
acak.
Namun
sebelumnya
guru
telah
mempersilakan siswa apabila ada siswa yang hendak maju terlebih dahulu dengan adanya tambahan nilai. Setiap siswa mendapatkan waktu 5 menit dalam memaparkan cerita teks fabel. Terakhir akan dijelaskan tentang sistematika penilaian. Pada
kegiatan
penutup
(akhir)
guru
bersama
siswa
menyimpulkan pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. Siswa dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan apabila ada hal yang belum dimengerti. Setelah itu guru mengingatkan siswa untuk mempersiapkan diri menampilkan teks fabel pada pertemuan selanjutnya. Pada pertemuan kedua guru dan siswa langsung menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pementasan. Setelah itu siswa langsung melaksanakan praktik menyusun teks fabel secara lisan. Praktik dilaksanakan dalam 2x pertemuan. 3) Observasi Pada siklus II pengamatan tetap dilakukan untuk mengumpulkan data tentang penerapan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan selama pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan dengan berbagai kalangan, Pengambilan data dilakukan melalui tes dan nontes. Peneliti juga melakukan pengamatan nontes pada siklus II tentang perubahan tindakan dan sikap siswa pada proses pembelajaran berlangsung dengan membuat catatan penting yang dapat digunakan sebagai data. Pengamatan dilakukan pada siswa yang keterampilan menyusun teks fabel secara lisannya tinggi pada siklus I, yaitu melalui pengamatan langsung dengan siswa tersebut, agar kelemahan atau hambatan yang terjadi pada siklus I tidak terjadi lagi pada siklus II. Hasil data tes diperoleh dari kegiatan pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan
menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan, sedangkan data nontes diperoleh dari observasi, wawancara, dan dokumentasi foto. 4) Refleksi Pada siklus II ini, evaluasi dilakukan untuk mengetahui keefektifan penerapan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan, serta mengetahui perubahan perilaku peserta didik setelah mengikuti pembelajaran. 3.2 Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah keterampilan menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan pada siswa kelas VIII A SMP Negeri 2 Ambarawa. Penentuan subjek penelitian ini didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu: (1) berdasarkan informasi dari guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, keterampilan menyusun teks fabel secara lisan pada siswa kelas VIII A masih rendah. (2) selama ini pembelajaran menyusun teks fabel lebih sering dilakukan secara tulis (3) tidak ada penerapan model, teknik, strategi, lat peraga, ataupun media secara khusus untuk meningkatkan pembelajaran (4) berdasarkan observasi, masih banyak kendala yang menghambat siswa dalam mengembangkan keterampilan menyusun teks fabel secara lisan. Para siswa tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran. Mereka masih merasa takut dan grogi dalam keterampilan berbicara. 3.3 Variabel Peneltian Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Variabel penelitian ini antara lain sebagai berikut. 1) Variabel keterampilan menyusun teks fabel secara lisan Variabel penelitian menyusun teks fabel secara lisan menggunakan media pembelajaran bermain peran dengan media yang akan diteliti adalah kemampuan siswa dalam praktik (berbicara) menyusun teks fabel secara lisan dengan memainkan wayang hewan dan berposisi sebagai dalang
yang memainkan tokoh-tokoh hewan dalam cerita tersebut. Dalam penelitian ini, siswa belajar melatih keterampilannya berbicara dan bercerita sebagai dalang dengan memainkan wayang hewan. Aspek yang diteliti dan dinilai meliputi aspek kebahasaan dan aspek nonkebahasaan. Aspek kebahasaan mencakup, 1) Ketepatan ucapan; 2) Penempatan tekanan, nada, dan durasi; 3) Pilihan kata (diksi); 4) Ketepatan sasaran pembicaran. Sedangkan aspek nonkebahasaan mencakup, 1) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku; 2) Pandangan ke arah audience; 3) Kenyaringan suara (volume); 4) Kelancaran; 5) Relevansi dan penalaran; 6) Penguasaan topik; 7) Gerak-gerik dan mimik yang tepat; 8) Penggunaan media wayang hewan. Peserta didik dikatakan berhasil apabila telah mencapai target kriteria ketuntasan minimal siswa sebesar 75 dengan jumlah peserta didik minimal 75 % dari jumlah siswa keseluruhan. 2) Variabel Model Pembelajaran Bermain Peran Variabel kedua yang digunakan dalam peneltian ini adalah penerapan model pembelajaran bermain peran. Model ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menyusun teks fabel secara lisan. Model pembelajaran bermain peran ini bersifat individu. Siswa diharapkan mampu memerankan berbagai karakter tokoh dalam cerita teks fabel. Dengan model ini siswa menjadi lebih atraktif dan tidak monoton dalam bercerita. 3) Variabel Media Wayang Hewan Variabel terakhir dalam penelitian ini adalah penggunaan media wayang hewan. Wayang hewan dipilih sebagai media karena memiliki kecocokan dan kefektifan yang tinggi dalam meningkatkan kemampuan siswa bercerita. Wayang hewan yang dibuat sendiri oleh siswa diharapkan mampu menambah kepercayaan diri siswa dalam bercerita. Siswa juga menjadi lebih antusias dalam mengikuti pembelajaran. 3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian tindakan kelas ini berupa instrumen tes dan nontes. Instrumen tes
digunakan untuk mengungkapkan data tentang keterampilan berwawancara siswa. Sedangkan, instrumen nontes yang terdiri atas lembar observasi, lembar
jurnal,
dan
pedoman
wawancara
yang
digunakan
untuk
mengungkapkan perubahan tingkah laku siswa. 3.4.1
Instrumen Tes Tes yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tes lisan. Tes ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar hasil belajar siswa setelah ada perubahan aktivitas dalam menyusun teks fabel secara lisan. Tes ini merupakan bentuk penilaian unjuk kerja. Aspek-aspek yang
akan
dinilai
meliputi
aspek
kebahasaan
dan
aspek
nonkebahasaan. Aspek kebahasaan mencakup, 1) Ketepatan ucapan; 2) Penempatan tekanan, nada, dan durasi; 3) Pilihan kata (diksi); 4) Ketepatan sasaran pembicaran. Sedangkan aspek nonkebahasaan mencakup, 1) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku; 2) Pandangan ke arah audience; 3) Kenyaringan suara (volume); 4) Kelancaran; 5) Relevansi dan penalaran; 6) Penguasaan topik; 7) Gerak-gerik dan mimik yang tepat; 8) Penggunaan media wayang hewan. Dalam tiap aspeknya ditentukan skor sebagai pedoman atau ukuran. Peneliti menentukan kategori pada setiap rentang skor yang ditentukan.
Tabel Penilaian Aspek Kebahasaan No 1
Aspek Ketepatan ucapan
-
-
-
Kriteria Ucapan tidak jelas sama sekali Ucapan kurang jelas, banyak mengeluarkan bunyi yang tdiak perlu Ucapan cukup jelas, diselingi dengan bunyi yang tidak perlu Ucapan jelas, masih ada bunyi yang tidak perlu Ucapan jelas dan tepat tanpa mengeluarkan bunyi yang
Nilai 1 2
3
4 5
Bobot 1
BxS
tidak perlu No 2
Aspek Kriteria Penempatan - Penempatan tekanan, tekanan, nada, dan dan durasi tidak tepat durasi sekali - Penempatan tekanan, dan durasi kurang tepat - Penempatan tekanan, dan durasi cukup tepat - Penempatan tekanan, dan durasi tepat - Penempatan tekanan, dan durasi sangat tepat
nada, sema
Bobot 1
BxS
Nilai 1 2 3 4 5
Bobot 2
BxS
Nilai 1
Bobot 1
BxS
Bobot 2
BxS
nada,
2
nada,
3
nada,
4
nada,
5
No 3
Aspek Pilihan kata (diksi)
No 4
Aspek Kriteria Ketepatan sasaran - Banyak kalimat yang tidak pembicaraan jelas dan tidak efektif - Ada kalimat yang tidak jelas dan tidak efektif - Kalimat cukup jelas dan efektif - Kalimat jelas dan efektif - Kalimat sangat jelas dan efektif
-
Nilai 1
Kriteria Pilihan kata tidak tepat Pilihan kata kurang tepat Pilihan kata cukup tepat Pilihan kata tepat Pilihan kata sangat tepat
2 3 4 5
Tabel Penilaian Aspek Nonkebahasaan No 1
Aspek Kriteria Sikap yang wajar, - Gugup, terbata-bata, tidak tenang, dan tidak percaya diri kaku - Kurang tenang dan kaku - Cukup tenang dan tidak kaku - Tenang dan tidak kaku
Nilai 1 2 3 4
- Sangat tenang, percaya diri, dan tidak kaku No 2
Aspek Pandangan mata
-
-
-
No 3
Aspek Volume suara
No 4
Aspek Kelancaran pengujaran
No 5
Aspek Relevansi penalaran
-
-
5
Kriteria Pandangan mata selalu menunduk, tidak pernah ke arah pendengar Pandangan mata sering menunduk atau menoleh Pandangan mata kadang menunduk Pandangan mata ke arah pendengar tetapi kadang tidak fokus Pandangan mata diarahkan ke pendengar dengan mantap dan percaya diri
Nilai 1
Kriteria Volume suara lemah Volume suara kurang jelas Volume suara cukup jelas Volume suara jelas Volume suara sangat jelas, nyaring, dan lirih
Nilai 1
Kriteria Pengujaran tidak lancar Pengujaran kurang lancar Pengujaran cukup lancar Pengjaran lancar Pengujaran sangat lancar
Kriteria dan - Cerita yang disampaikan tidak tepat sama sekali, sehingga tidak jelas - Cerita yang disampaikan kurang tepat
Bobot 1
BxS
Bobot 2
BxS
Nilai 1 2 3 4 5
Bobot 2
BxS
Nilai 1
Bobot 2
BxS
2 3 4
5
2 3 4 5
2
- Cerita yang cukup tepat - Cerita yang tepat - Cerita yang sangat tepat No 6
Aspek Penguasaan topik
-
No 7
Aspek Gerak-gerik mimik
dan -
No 8
Aspek Penggunaan wayang hewan
-
disampaikan
3
disampaikan
4
disampaikan
5
Kriteria Cerita tidak dikuasai sama sekali Cerita kurang dikuasai dengan baik Cerita cukup dikuasai Cerita dikuasai dengan baik Cerita sangat dikuasai
Nilai 1
Kriteria Gerak-gerik dan mimik tidak sesuai Gerak-gerik dan mimik kurang sesuai Gerak-gerik dan mimik cukup sesuai Gerak-gerik dan mimik sesuai Gerak-gerik dan mimik sangat sesuai
Nilai 1
Kriteria Tidak menggunakan wayang hewan sama sekali Kurang bisa menggunakan wayang hewan Cukup bisa menggunakan wayang hewan Wayang hewan digunakan dengan baik Wayang hewan digunakan dengan sangat baik
Nilai 1
Bobot 2
BxS
Bobot 2
BxS
Bobot 2
BxS
2 3 4 5
2 3 4 5
2 3 4 5
Tabel Skor Penilaian No 1 2
Aspek Penilaian Aspek Kebahasaan
Skor Maksimal 25
Aspek Nonkebahasaan
75
Jumlah 3.4.2
100
Instrumen Nontes Bentuk instrumen nontes digunakan untuk mengetahui sikap siswa
dalam
pembelajaran
serta
tanggapan
siswa
mengenai
pembelajaran yang dilakukan selama mengikuti pembelajaran menyusun teks fabe secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Bentuk instrumen dalam penelitian ini terdiri dari lembar observasi, jurnal, dokumentasi, dan pedoman penskoran. 1) Lembar observasi Instrumen lembar observasi yang berupa observasi dilakukan oleh peneliti untuk mengetahui perilaku-perilaku siswa melalui pengamatan pada saat proses pembelajaran berlangsung. 2) Jurnal Jurnal adalah bentuk catatan yang digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi dari siswa ataupun kejadian-kejadian yang menonjol selama penelitian berlangsung. 3) Dokumentasi Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah video dan foto. Dokumentasi dilaksanakan sebagai arsip atau bukti telah dilaksanakannya penelitian. 4) Pedoman wawancara Pedoman wawancara dibuat oleh peneliti dan ditunjukkan kepada siswa yang berkaitan dengan variabel penelitian yaitu proses pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. 3.5 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu teknik tes dan nontes. 3.5.1
Teknik Tes Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada siklus I dan siklus II dengan menggunakan kriteria penilaian yang sama. Teknik tes dilakukan ketika proses pembelajaran.
3.5.2
Teknik Nontes Teknik nontes terdiri atas observasi, jurnal, wawancara, dan dokumentasi foto. 5) Observasi Observasi digunakan untuk mengungkapkan data keaktifan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Adapun tahap observasinya yaitu, (1) mempersiapkan lembar observasi, (2) melakukan observasi selama proses pembelajaran, (3) mencatat hasil observasi dengan mengisi lembar observasi yang telah disiapkan. 6) Jurnal Setiap akhir pembelajaran siswa menulis jurnal yang berisi pesan dan kesan serta saran yang mereka dapatkan selama pembelajaran menyusun teks cerita fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. 7) Wawancara Teknik wawancara digunakan untuk mengungkapkan data penyebab kesulitan dan hambatan dalam pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan. Wawancara dilakukan terhadap 6 orang siswa, yaitu dua orang siswa yang mendapatkan nilai tes tertinggi, dua orang siswa yang mendapatkan nilai sedang, dan dua orang siswa yang mendapatkan nilai tes terendah. Hal ini berdasarkan nilai tes pada tiap siklus dan berdasarkan observasi selama proses pembelajaran. 8) Dokumentasi Foto
Pengambilan data melalui dokumentasi foto dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung, peneliti meminta bantuan teman unuk mengambil gambar atau dokumentasi pembelajaran melalui foto. Proses pengambilan foto dilakukan pada saat proses pembelajaran yang terdiri atas (1) kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan, (2) kegiatan siswa ketika guru memberikan penjelasan materi, (3) kegiatan siswa ketika menyusun teks fabel , (4) kegiatan siswa ketika praktik bercerita teks fabel. Gambar-gambar foto yang telah terkumpul kemudian dilaporkan secara deskriptif sesuai dengan kondisi yang ada. 3.6 Teknik Analisis Data Teknik analisis data terdiri atas teknik kualitataif dan kuantitatif. Teknik Kuantitatif digunakan untuk menganalisis data kuantitatif yang diperoleh dari hasil tes menyusun teks fabel secara lisan menggunakan moodel pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan dari siklus I dan siklus II. Sedangkan teknik Kualitatif digunakan untuk menganalisis data kualitatif dari hasil nontes, yaitu observasi, jurnal, wawancara, dan dokumentasi foto. 3.6.1 Teknik Kuantitatif Teknik kuantitatif dilakukan untuk menganalisis data yang diperoleh peserta didik setelah tes dilakukan. Tes dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada siklus I dan siklus II. Nilai masing-masing siswa dalam setiap siklus dijumlahkan, kemudian jumlah tersebut dihintung presentasenya dengan menggunakan rumus. Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Menghitung nilai akhir masing-masing siswa dengan rumus, 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎
nA = 𝑠𝑘𝑜𝑟𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 X 100 2) Merekap skor yang diperoleh siswa. 3) Menghitung skor kumulatif dari seluruh aspek. 4) Menghitung skor rata-rata kelas.
5) Menghitung persentase nilai. Hasil yang diperoleh dalam siklus I dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada siklus II, sehingga dapat diketahui peningkatan keterampilan berwawancara dengan narasumber dari berbagai kalangan dengan memperhatikan etika berwawancara. 3.6.2 Teknik Kualitatif Teknik kualitatif digunakan untuk menganalisis data kualitatif yang diperoleh dari hasil nontes. Hasil analisis digunakan untuk mengetahui siswa yang mengalami kesulitan dalam menyusun teks fabel secara lisan menggunakan model pembelajaran bermain peran dengan media wayang hewan. Hasil analisis ini sebagai dasar untuk menentukan siswa yang akan diwawancarai sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran berwawancara.
Daftar Pustaka Akmaliyah,
Dita.
2009.
Peningkatan
Keterampilan
Bercerita
Dengan
Menggunakan Media Wayang Kartun Pada Siswa Kelas VII A SMP Negeri 1 Kangkung Kabupaten Kendal. Skripsi. Semarang: Unnes. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Nurgiyanto, Burhan. 2010. SASTRA ANAK Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Doyin, Mukh dan Wagiran. 2010. BAHASA INDONESIA Pengantar Penulisan Karya Ilmiah. Semarang: Universitas Negeri Seamarng Press. Djamaries, Edward. 1984. Mengenali Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Depdikbud. Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fentiningrum. 2005. Peningkatan Kemampuan Mengungkapkan Kembali Isi Cerita Melalui Media Panggung Boneka Pada Siswa Kelas B Taman
Kanak-kanak Kemala Bhayangkari 22 Kabupaten Batang. Skripsi. Seamarang: Unnes. Alfiyah. 2006. Pengembangan Proses Pembelajaran Menceritakan Pengalaman Pribadi Siswa Kelas VII B SMP egeri 5 Semarang Menggunakan Media Foto. Skripsi. Semarang: Unnes. Ekayani. 2006. Peningkatan Keterampilan Mendeskripsikan Binatang-binatang Di Sekitar Rumah Melalui Media Syair Lagu Anak-anak Pada Siswa Kelas II MI Al-Imam Sekaran Gunung Pati Semarang. Skripsi. Semarang: Unnes. Subyantoro. 2012. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Unnes PRESS.