Suwe Ora Jamu Label: Yogyakarta Suwe ora jamu Jamu godhong telo Suwe ora ketemu Temu pisan atine gelo Suwe ora jamu Jamu sogo thunteng Suwe ora ketemu Temu pisan atine seneng
Suwe ora jamu Jamu godhong bunder Suwe ora ketemu Temu pisan tambah pinter
lagu dari jawa tengah
Cerita Rakyat Kalimantan Timur Indonesia – Legenda Ikan Pesut Sungai Mahakam ialah sungai yang terkenal di Kalimantan Timur. Menurut cerita rakyat sungai mahakam terdapat seekor ikan pesut. namun ikan pesut bukanlah ikan biasa melainkan ikan jelmaan manusia. Pada zaman dahulu di sebuah dusun di rantau Mahakam, ada sebuah keluarga kecil yang sangat bahagia. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi dari hasil kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana. Suatu hari sang Istri terserang oleh suatu penyakit. Sudah banyak tabib yang mengobati, namun penyakit tersebut tak kunjung sembuh sehingga sang Istri meninggal dunia. Meninggalnya sang Istri, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi. Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama. Seperti biasanya di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan seni, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang Ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang Ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang Ayah dari dua orang anak tersebut dan mereka bersepakat untuk menikah. Setelah mendapat restu dari sesepuh dan kedua anaknya, akhirnya mereka melangsungkan pernikahan sepekan setelah pesta adat tersebut. Ternyata benar, kehidupan mereka membaik setelah memiliki ibu tiri. Wanita itu rajin memasak, ia juga merawat mereka dengan baik. Namun keadaan itu tak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian, ibu tiri mereka mulai menunjukkan sifat-sifat aslinya. Ia menjadi kejam, setiap hari kedua anak itu disuruh bekerja keras. Ia juga tak lagi memasak. Anak-anak itu hanya diberi makanan sisa. Ayah mereka tak berani berkata apa-apa, ia takut jika istrinya itu pergi. Hingga suatu hari, wanita itu memutuskan untuk berhenti merawat kedua anak tirinya. Jadi, ia menyusun sebuah rencana jahat. “Hari ini, kalian harus mencari kayu bakar sebanyak-banyaknya. Jumlahnya harus tiga kali lipat dari yang kalian bawa kemarin! Jangan berani pulang jika belum mengumpulkan kayu sebanyak itu!” perintahnya. Kedua anak itu tak berani membantah, dengan patuh mereka segera berangkat ke hutan. Hari sudah sore, tapi kayu yang mereka kumpulkan masih sedikit. Teringat pesan ibu tirinya, mereka pun tak berani pulang ke rumah. Bahkan mereka memutuskan untuk menginap di hutan. Untunglah, ada pondok yang kosong. Dengan perut keroncongan, mereka tidur kelelahan.
Keesokan harinya, mereka melanjutkan pekerjaan. Tanpa putus asa, mereka terus mengumpulkan kayu bakar hingga akhirnya terkumpul juga. Namun kedua anak itu nyaris pingsan karena kelelahan dan kelaparan. Mereka tergeletak lemas, seorang kakek tua yang kebetulan lewat menghampiri mereka. “Kalian kenapa? Mengapa wajah kalian pucat sekali?” tanya kakek itu. Kedua anak itu menceritakan semuanya pada si kakek. Karena iba, ia menunjukkan tempat pohon buah-buahan. Mereka mengikuti petunjuk kakek tersebut dan dengan lahap memakan buah-buahan tersebut. Setelah tenaga mereka pulih, kedua anak tersebut bergegas pulang. “Ayah, Ibu, kami pulang. Lihatlah kayu yang kami bawa ini, rasanya cukup untuk persediaan satu bulan,” teriak anak laki-laki. Sementara adik perempuannya sibuk menata kayu di dalam rumah. Namun aneh, tak ada sahutan. Mereka mencari orangtua mereka ke kamar, tapi tidak ada. Mereka melihat lemari baju orangtua mereka telah kosong, dan beberapa perabot rumah pun telah hilang. Sadarlah mereka, bahwa ayah dan ibu tiri mereka telah pergi secara diam-diam. Mereka menangis sejadi- jadinya. Para tetangga yang mendengar datang untuk menanyakan apa yang terjadi. Mendengar cerita keduanya, para tetangga merasa iba menawarkan untuk tinggal bersama mereka. Namun kedua anak itu menolak. Mereka bersikeras untuk mencari ayah clan ibu tirinya. Keesokan harinya, kedua anak itu memulai pencarian. Mereka berjalan keluar masuk desa tanpa kenal lelah. Pada hari ketiga, bekal mereka teIah habis. Mereka singgah di sebuah rumah untuk menumpang makan dan minum. Si pemilik rumah adalah seorang kakek yang baik hati. Ia menanyakan maksud dan tujuan mereka. “Rasanya Kakek tahu ke mana orangtua kalian pergi. Beberapa hari yang lalu, Kakek melihat seorang pria dan wanita menyeberang sungai. Mereka membawa banyak barang.” kata si Kakek setelah mendengar cerita mereka. “Benarkah? Kalau begitu, kami harus segera menyeberang sungai, Kek,” jawab sang anak laki-laki. Si Kakek meminjamkan perahunya. Dengan memberanikan diri, mereka mengeberangi sungai. Anak-anak itu bergantian mendayung perahu. Tak terasa, sampailah mereka di seberang. Setelah menambatkan perahu, mereka pun mulai mencari. Mereka menyusuri dusun yang sepi itu, sampai akhirnya menemukan sebuah rumah yang sepertinya baru saja dibangun. Mereka mendekati rumah itu dan memanggil-manggil ayah mereka. Karena tak ada jawaban, mereka memasuki rumah itu. Dan benar saja, di dalam mereka melihat perabotan mereka yang hilang serta baju ayah dan ibu tiri mereka. Kedua anak itu sangat senang. “Akhirnya kita menemukan orangtua kita, Dik,” kata sang anak laki-laki. “aku senang sekali. Tapi sekarang aku lapar, aku ingin makan,” jawab adiknya. Mereka pergi ke dapur. “Ah, ini ada sepanci bubur panas. Rupanya Ibu lupa memadamkan apinya,” teriak sang anak perempuan. Cepat-cepat mereka makan dengan lahap. Sekejap saja, bubur itu kandas tak bersisa. Setelah makan, kedua anak itu berbaring untuk beristirahat. Namun keanehan terjadi pada diri mereka. Tiba-tiba saja suhu tubuh mereka menjadi panas, sepanas bubur yang baru diangkat dari api tadi. Karena tak tahan dengan rasa panasnya, mereka Iari ke arah sungai. Sepanjang perjalanan menuju sungai, kedua anak itu memeluk pohon-pohon pisang yang mereka temui. Mereka berharap, dengan memeluk pohon pisang, panas tubuhnya akan berkurang. Memang benar, tubuh mereka sangat panas. Buktinya, daun dan batang pohon pisang yang mereka peluk itu langsung Iayu, tapi panas tubuh mereka tak berkurang juga. Begitu tiba di sungai, kedua anak itu langsung menceburkan diri. Sementara itu, ayah dan ibu tiri mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Mereka heran melihat banyaknya pohon pisang yang Iayu.
Sesampainya di rumah, mereka terkejut melihat pintu rumah terbuka. Sang ibu tiri buru-buru memeriksa dapur. Ia berteriak kalau bubur yang ia masak telah habis tak bersisa. Sang ayah yakin, anak-anaknya telah menemukannya. Ia lalu pergi mencari mereka. Pasangan itu berjalan dengan mengikuti arah pohon-pohon pisang yang telah Iayu dan tiba di sungai. Mereka melihat dua ekor ikan yang bergerak ke sana-kemari sambil menyemburkan air dari kepala. Betapa terkejutnya pria itu. Ia yakin, kedua ikan itu adalah anaknya. Namun ia Iebih terkejut lagi ketika menoleh dan sang istri sudah tidak ada lagi di sampingnya. Sekarang sadarlah ia, bahwa istrinya bukanlah manusia biasa. Ia menyesal kenapa dulu tidak menanyakan asal-usul istrinya sebelum menikah. Sejak saat itu, oleh masyarakat setempat, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan pesut. dongeng cerita rakyat kalimantan Legenda Ikan Pesut cerita rakyat kalimantan timur dongeng legenda Cerita rakyat dari kalimantan cerita rakyat kaltim legenda pesut mahakam legenda kalimantan timur cerita rakyat kalimantan timur legenda pesut mahakam kumpulan cerita rakyat kalimantan timur cerita rakyat dari kalimantan timur asal usul ikan pesut legenda kalimantan asal mula ikan pesut cerita rakyat kalimantan timur singkat legenda rakyat cerita legenda kalimantan timur sejarah ikan pesut asal usul sungai mahakam kalimantan timur asal usul kalimantan timur
Legenda Batu Menangis Legenda Batu Menangis (Cerita Rakyat Kalimantan )
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya. Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari. Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi. Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak. Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya. Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?” Namun, apa jawaban anak gadis itu ? “Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !” Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu. “Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?” “Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!” Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya. Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa. “Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu
teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….” Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya. ” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu… Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “. Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Versi lain Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri lahir ditengah cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat cuaca membaik. Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak lembut, penyabar, dan pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan. Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan harapan anaknya bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa bisa dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren. Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang dimana ia biasa bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik permanen. Takut bakal dihukum akibat perbuatannya, Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke perangkat Julig, seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah. Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai yang dikelola Darwin seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh Julig dan Darwin. Saat Awang dan Sari dibuat bingung mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya, Putri malah hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok. Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang telah mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan Sugari sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana jin.
Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga dengan Awang dan Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun. Lagi-lagi suasana tentram hanya berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah terbiasa bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah terancam bangkrut. Sikapnya terhadap keluarga juga sangat buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti pembantu, Putri juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, hingga menemui ajalnya. Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya terjadi tidak bisa dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada suami-istri jin Ranggada dan Sugari. Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi sebuah patung batu yang terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air itu adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat