TUGAS RADIOLOGI
GAMBARAN RADIOLOGIS TUBERKULOSIS TULANG
OLEH : Luh Ratna Oka Rastini H1A 010 059 PEMBIMBING : dr. H. Hasan Amin, Sp.Rad
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RSU PROVINSI NTB 2015
BAB I PENDAHULUAN
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.1 Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia(global emergency).1 Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance =MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani.1,2 Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan
2
pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.2 Pemeriksaan radiologik toraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Kemajuan pesat selama dasawarsa terakhir dalam teknik pemeriksaan radiologic toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu rontgenogram toraks menyebabkan pemeriksaan toraks dengan sinar rontgen ini suatu keharusan rutin. Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan rontgen saat ini dianggap tidak lengkap. Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan radiologic. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto rontgen sebelum timbul gejala-gejala klinis.2 Tuberkulosis paru dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Hal ini dapat dilihat dari pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam yaitu bayangan berawan/nodular, kavitas, atau bayangan bercak
milier
pada
parenkim
paru.
Gambaran
foto
toraks
juga
dapat
menginformasikan sejauh mana tuberkulosis telah merusak paru dan jaringan lain.2
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
TUBERKULOSIS A. DEFINISI Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1 B. ETIOLOGI Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium Tuberkulosis, Mycobacterium bovis, sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium. Mycobacterium merupakan kuman batang tahan asam, yang dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, tapi mati dengan suhu 60°C dalam cairan suspensi selama 1520 menit. Mycobacterium memiliki ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.2 Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam sehinnga disebut bakteri tahan asam (BTA). Kuman dapat tahan hidup pada keadaan kering maupun dingin, karena kuman berada dlam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadi aktif kembali.2 Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal paru-paru merupakan tempat predileksi tuberkulosis.2
4
C. PERJALANAN PENYAKIT 1. Cara penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.3 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.3 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.3 2. Risiko penularan Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberkulosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.3 3. Risiko menjadi sakit TB Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.3 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
5
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.3 Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: 50% meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular. D. PATOGENESIS Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.3
6
Fokus primer Gohn merupakan daerah kecil konsolidasi perifer
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).3
Pembesaran nodus limfatik pada tuberkulosis 7
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.3,4 Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.4 Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.3,4 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui 8
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.3 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.3 Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.3 Di
dalam
koloni
yang
sempat
terbentuk
dan
kemudian
dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB 9
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.3 Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.3 Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.3 Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat 10
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.3 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5 – 25 tahun setelah infeksi primer.3 E. GEJALA3,4,5 Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. A. Gejala sistemik/umum: a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. c. Penurunan nafsu makan dan berat badan. d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah. B. Gejala khusus: a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
11
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif,
dilaporkan
30%
terinfeksi
berdasarkan
pemeriksaan
serologi/darah. F. DIAGNOSIS1,2 Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. Pemeriksaan fisik. Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). Pemeriksaan patologi anatomi (PA). Rontgen dada (thorax photo). Uji tuberkulin. 1. Anamnesa Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
12
prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak. 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pasien TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lainnya. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tandatanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara nafas bronkial, amforik, ronki basah. Pada efusi pleura yang merupakan komplikasi dari TB dapat didapatkan gerak nafas tertinggal, keredupan dan suara nafas menurun sampai tidak terdengar (Alsagaff, Hood, et al. 2010). 3. Pemeriksaan dahak (bakteriologis) Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): o S (sewaktu) Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. o P(Pagi) Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. o S(sewaktu) Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama.
13
Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. 4. Foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: o Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. o Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon). o Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan
khusus
(seperti:
pneumotorak,
pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). 5. Uji Tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun
14
75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi: a) Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium Tuberkulosis. b) Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. c) Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium Tuberkulosis. 6. Diagnosis TB Ekstra Paru Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain. G. KLASIFIKASI Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien Tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif;
15
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. 2. 3. 4.
Menentukan paduan pengobatan yang sesuai. Registrasi kasus secara benar. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif. Analisis kohort hasil pengobatan.
Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB: Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. 2. Kasus TB pasti (definitif): pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium Tuberkulosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi. 2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective). 3. Mengurangi efek samping. I. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena a. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. b. Tuberkulosis ekstra paru
adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, II.
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA positif
16
-
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
-
positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
-
menunjukkan gambaran tuberkulosis. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
-
positif. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. b. Tuberkulosis paru BTA negative Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: - Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative - Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis - Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. - Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan III. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. a. TB paru BTA negatif foto toraks positif, dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: - TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan -
kelenjar adrenal. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB
-
usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. Catatan: Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. Sedangkan bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat. 17
IV.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: a. Kasus Baru adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). b. Kasus Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. d. Kasus Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. e. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan yang perlu diingat yaitu TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI TB TULANG4,5,6 Pemeriksaan radiologik pada penyakit tuberculosis dapat dilakukan foto toraks PA, lateral, fluoroskopi) masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi, ini dilakukan pada pasien yang dicurugai adanya infeksi TB paru. Untuk menegakkan
18
diagnosis pada penyakit TB tulang dapat dilakukan foto polos tulang dan CT-Scan tulang.
a. Tuberkulosis pada Tulang Panjang Pada tulang panjang, lesi paling sering terdapat di daerah metafisis yang pada foto roentgen terlihat sebagai lesi destruktif berbentuk bulat atau lonjong. Pada permulaan, batas-batasnya tidak tegas tetapi pada proses yang sudah kronis batasnya menjadi tegas. Kadang-kadang dengan sclerosis pada tepinya. Sequestra mengecil dan diserap oleh jaringan granulasi. Dapat ditemukan reaksi periosteal jika lesi lokal di dalam subkortikal, ini bukan merupakan bentuk yang menonjol Lesi cepat menyeberangi garis epifiser dan mengenai epifisis dan selanjutnya mengenai sendi. Proses dapat juga bermula pada epifisis tulang panjang. Lesi pada diafisis jarang, dan lebih jarang lagi pada bentuk lesi multiple cystic.3,4
b. Tuberkulosis pada Tulang Belakang Lesi biasanya pada korpus vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu:
Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal, yang sesuai dengan tipe metafiseal pada tulang panjang.
Di tengah korpus, disebut tipe sentral.
Di bagian anterior korpus, disebut tipe anterior atau subperiosteal
19
Pada tipe marginal, lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan korpus vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau lebih vertebra yang berdekatan. Karena bagian depan korpus vertebra paling banyak mengalami destruksi disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan berbentuk baji dan pada tempat tersebut timbul gibbus.4 Abses paravertebral timbul cepat dan paling mudah dilihat di daerah torakal karena adanya kontras paru-paru. Bila sudah lama akan timbul kalsifikasi pada abses. Tidak terlihat adanya pembentukan tulang baru pada proses yang aktif.4 Bila pengobatan berhasil, tanda-tanda penyembuhan pada vertebra yang terkena dapat dilihat dari:
Densitas tulang yang kembali normal
Rincian tulang terlihat lebih jelas
Batas tulang yang menjadi lebih tegas
Pada tipe sentral, abses timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang maka proses selanjutnya adalah seperti pada tipe marginal. Pada tipe anterior, proses berlangsung di bawah periost dan meluas di bawah ligamen longitudinal anterior. Kerusakan pada diskus terjadi lambat. 4
c. Tuberkulosis pada Trokanter Mayor
20
Salah satu tulang yang sering terkena tuberculosis adalah trokanter mayor, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Lesi dapat bermula pada tulang atau bursa. Bila lesi bermula pada bursa, maka erosi pada tulang kadang-kadang hanya superficial dan akan sukar dilihat. Baik pada proses yang dimulai pada tulang maupun bursa, dapat meluas ke sendi panggul. Gambaran radiologik tuberculosis pada trokanter mayor sama dengan pada tulang panjang.3,4
d. Daktilis Tuberkulosis Kelainan ini disebut juga spina ventosa (lesi pertama menjadi gambaran radiology pada anak-anak), menghasilkan gambaran yang khas. Spina ventosa dalam arti kata sebenarnya adalah “tulang pendek yang dipompa dengan udara”(a short bone inflated with air) Tulang falangs yang terkena melebar karena ekspansi medulla. Biasanya bisa dibedakan dari daktilis karena sifilis, dimana tulang melebar karena penebalan tulang akibat pembentukan kortikal tulang baru.3,4 e. Artritis Tuberkulosis Proses bisa bermula pada sinovium atau pada tulang. a. Proses mulai pada sinovium Pada stadium dini tanda-tanda tidak khas, yang tampak ialah:
Penebalan kapsul sendi,
Sendi tampak suram dan sela sendi agak melebar karena efusi intra-artikuler,
Osteoporosis pada tulang-tulang sekitar sendi karena hyperemia.4
21
Sebaiknya dibuat foto sendi sebelahnya yang sehat untuk perbandingan. Kemudian, hyperemia yang terjadi akan menyebabkan percepatan maturasi ujung akhir tulang dan epifisis apabila infeksi ini terjadi pada anak-anak. Trabekula tulang menjadi samar dan korteksnya menipis.3,4 Ujung akhir tulang terkena juga. Begitu juga seluruh artikular kortek akan menjadi samar, local marginal atau erosi permukaan akan terlihat. Pada stadium lebih lanjut timbul erosi pada tulang dekat sendi yang bersifat local atau luas. Puncaknya kehilangan ruang sendi akan terjadi tapi ini tidak semenonjol seperti yang terjadi pada pyogenik artritis. Kerusakan pada tulang rawan relatif lambat dibandingkan dengan arthritis purulenta dan bila ini terjadi sela sendi akan menyempit.3,4 Kadang-kadang setengah dari sendi akan terinfeksi dan erosi tulang terlihat pada permukaan tulang contigous. Fokus utama disini adalah tulang, sebuah kombinasi tanda infeksi sinovial dan metafiseal dan focus destruksi epifiseal akan terjadi.3,4 b. Proses mulai pada tulang. Pada proses yang bermula pada tulang gambaran radiologiknya adalah kombinasi dari proses tuberculosis pada metafisis-epifisis dan tanda-tanda infeksi sinovium.4
f. Koksitis Tuberkulosis Sering pada anak-anak. Proses dapat dimulai di asetabulum, sinovium, epifisis femur, metafisis femur, atau trokanter mayor. Kadang-kadang infeksi menyebar ke panggul dari focus di dalam trochanter mayor atau ischium. Lesi pada panggul mempunyai karakteristik dengan destruksi yang banyak tetapi suatu perubahan yang tidak wajar sekarang jarang terlihat. Semua tingkat kehilangan tulang dari kaput dan colum femur dapat ditemukan. Penemuan yang sering adalah gambaran tonjolan bernama “bird’s 22
beak”. Ekspansi dan destruksi didalam asetabulum kadang-kadang membawa ke protrusio intrapelvik dari sendi panggul. Destruksi tulang biasanya banyak, baik pada asetabulum maupun pada kaput femur. Kadang-kadang kaput femur tidak dapat dilihat lagi. Bila destruksi pada asetabulum banyak dapat menimbulkan protusio asetabuli. Diagnosis diferensial yang penting adalah penyakit perthes, yaitu nekrosis avaskular dari kaput femur.3,4 g. Tuberkulosis Sendi Lutut Gonitis tuberculosis termasuk sering dan gambaran radiologiknya sesuai seperti yang diuraikan di atas.4
h. Tuberkulosis Sendi Bahu Kadang-kadang lesi pada kaput humerus besar dan berbentuk kistik sehingga menyerupai giant cell tumor. Bila terdapat juga lesi pada glenoid, maka maka kedua penyakit ini mudah dibedakan karena giant cell tumor tidak menyeberangi sendi. Kadang-kadang lesi tuberculosis pada kaput humeri kecil dan tanpa pembentukan pus serta gejalanya ringan dan dikenal sebagai caries sicca.4
i. Tuberkulosis Sendi Siku Destruksi tulang terutama pada olekranon dan ujung distal humerus. Fossa olekrani menjadi dalam disebabkan erosi. Biasanya destruksi pada kaput radius kurang dibandingkan dengan kedua tulang tadi. Diagnosis diferensial yang penting adalah rheumatoid arthritis.4
23
SPONDILITIS TUBERKULOSA 2.1 Definisi Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi tuberculosis ekstra pulmonal yang bersifat kronis berupa infeksi granulamatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra sehingga dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas, dan paraplegia.6 2.2 Epidemiologi Sekitar 1-2% dari semua kasus tuberkulosis menyebabkan penyakit Pott. Di Belanda antara tahun 1993 dan 2001, TBC tulang dan sendi menyumbang 3,5% dari semua kasus tuberkulosis (0.2-1.1% pada pasien asal Eropa dan 2,3-6,3% pada pasien asal non-Eropa). Menurut WHO, Indonesia adalah Negara yang menduduki peringkat ketiga dalam jumlah penderita TB setelah India dan Cina. Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia yang dapat dikaitkan dengan agen infeksi tunggal. Lebih dari 40% kasus TB di seluruh dunia terjadi di bagian Selatan Asia Timur. Di wilayah ini, diperkirakan 3 juta kasus baru TB setiap tahun. Diperkirakan 140.000 orang meninggal akibat TB setiap tahun atau setiap 4 menit ada satu penderita yang meninggal di negara – negara tersebut , dan setiap 2 detik terjadi penularan. TB ekstraparu hanya terdapat 10% sampai 15% dari semua kasus TB. TB skeletal terjadi 1% hingga 3% dari kasus TB ekstraparu dan biasanya melibatkan tulang belakang. Dalam TB muskuloskeletal, infeksi paru aktif terlibat sekitar kurang dari 50% kasus. Tulang belakang terlibat pada hingga 50% kasus TB muskuloskeletal.1,2,5,6 Di Ujung Pandang insidens spondilitis tuberkulosa ditemukan sebanyak 70% dan Sanmugasundarm juga menemukan presentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria. TB tulang belakang, yang berperan dalam lebih dari setengah dari semua tuberculosis tulang dan sendi, biasanya terjadi selama awal masa kanak-kanak.3,7 2.3 Etiologi 24
Penyakit spondilitis tuberculosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acidfastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.Teknik Ziehl-Nielson digunakan untuk memvisualisasikannya. Bakteri ini tumbuh secara lambat dalam media egg-en riched dengan periode 6-8 minggu. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovine, ataupun non-tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan pada penderita HIV. Produksi niasin merupakan karakteristikMycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.6,7 2.4 Patofisiologi Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya 6,7 Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini
25
dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.6,7,8 Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea 6 Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu:
26
1. 2. 3. 4.
Penekanan oleh abses dingin Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.
Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu a. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak- anak umumnya pada daerah sentral vertebra. b. Stadium destruksi awal Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. c. Stadium destruksi lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. d. Stadium gangguan neurologist Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu: Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini
belum terjadi gangguan
saraf sensoris.
27
Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita
masih dapat melakukan pekerjaannya. Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.6,7,8
e. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.
Patofisiologi berkembangnya penyakit spondylitis.
28
Gambar 2.1 Patofisiologi Spondilitis Tuberkulosa5,6 2.5 Gejala Klinis 6 Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut,
29
kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun makin memberat, spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral (Hidalgo, 2006). Pada stadium awal belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas (Craig, 2009). Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri dan kekakuan di daerah belakang kepala, gangguan menelan dan gangguan pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Harus diingat pada mulanya penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik. Gangguan sensorik pada stadium awal jarang dijumpai kecuali bila bagian posterior tulang juga terlibat (Wheeles, 2011). 2.6 Pemeriksaan Penunjang6,7 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: 1. Pemeriksaan Laboratorium Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33%
anak dengan laju endap darah yang normal. Uji Mantoux positif Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin
ditemukan mikobakterium Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan
30
didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara
spontan membeku. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis
tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses. Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam
sirkulasi. Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit
mendeteksi kasus tuberkulosis aktif. Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa
radioaktifnya (Newanda, 2009). 2. Pemeriksaan Radiologis
31
Untuk pemeriksaan radiologis akan dibahas pada bab 3. 3. Bakteriologis Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104 basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009). Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai pengobatan (Newanda, 2009). 4.Histopatologis Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis pengkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis (Newanda, 2009).
32
2.7 Diagnosis Banding6,7 Diagnosis banding dari spondylisis tuberculosa antara lain: 1. Spondylitis non-tuberculosis a. Infeksi piogenik dan enterik (contoh: karena staphylococcal/suppurative spondylitis, typhoid, parathypoid). Adanya sclerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu, keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain. Pada infeksi enterik, perbedaan dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium. b. Spondylitis ankilosa Suatu penyakit inflamasi progresif, biasanya mengenai pria dewasa muda, sering disertai riwayat penyakit keluarga; (95% pasien membawa antigen leukosit manusia; HLA-B27). Gambaran radiologis: sakroilitis biasanya ditemukan sebelum pemeriksaan radiograf dengan pengaburan dan batas tidak tegas pada tepi sendi, kemudian terjadi erosi dan sclerosis tulang yang menyebabkan kecenderungan terjadinya penyatuan sendi sakro-iliaka complete. Biasanya mengenai dua sendi (bilateral) dibedakan dengan TB yang unilateral.Selain, pada region lumbar akan berlanjut pada verterbrae torakaldan cervical. Gambaran yang paling sering adalah squaring pada badan vertebrae pada pembentukan tulang baru pada corpus vertebrae anterior, dan terisinya kecekungan bagian anterior yang normal oleh kalsifikasi ligament longitudinal; kalsifikasi ligament spinal lateral dan anterior untuk menghasilkan gambaran bamboo spine yang klasik. c. Scheuermann’s disease Penyakit ini mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal. 2. MetastaseTulang Metastase tulang merupakan tumor tulang ganas yang paling sering. Metastase terutama menyebar ke tulang-tulang yang mengandung sumsum sehingga
33
lebih sering ditemukan pada tulang-tulang axial. Setiap tumor primer dapat bermetastase ke tulang, namun metastase yang paling sering adalah:
Payudara: memiliki insidensi yang tinggi untuk deposit tulang, biasanya bersifat litik namun dapat sklerotik atau campuran, merupakan penyebab
deposit sklerotik yang paling sering pada wanita. Prostat: hampir selalu sklerotik, deposit litik jarang ditemukan; merupakan
penyebab deporitsklerotik pada pria. Paru: deposit litik; deposit perifer di tangan dan kaki jarang, namun jika ada
cenderung berasal dari karsinoma bronkus. Ginjal dan tiroid: Litik dan dapat sangat vaskuler dengan terjadinya perluasan
tulang. Kalenjar adrenal: Secara dominan bersifat litik.
Gambaran radiologis dari metastase tulang dapat litik atau sklerotik:
Deposit litik: gambaran utama berupa destruksi tulang dengan batas yang tidak jelas dan dapat menyebabkan fraktur patologis. Reaksi periosteal lebih
jarang jika dibandingan tumor ganas primer. Deposit sklerotik: terlihat sebagai peningkatan densitas yang tidak berbatas tegas dengan diikuti hilangnya arsitektur tulang. Lesi sekunder pada vertebrae dapat berupa pedikel yang sklerotik. Dengan adanya lesi multiple, diangnosa metastase hampir dapat dipastikan. Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi
berbeda
dengan
spondilitis
tuberkulosa
karena
ruang
diskusnya
tetap
dipertahankan.Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas. 2.8 Terapi6 Terapi spondilitis tuberkulosa terdiri dari terapi konservatif dan operatif. Terapi Konservatif
Drugs
34
Kebanyakan individu mengalami resolus penuh dengan obat-obatan antituberkulosis yang memadai dan benar selama kurang lebih 6-9 bulan (Wheeless, 2001). Isoniazid dan Rifampin diberikan pada seluruh jangka waktu terapi. Obat tambahan biasanya diberikan pada 2 bulan pertama yang biasanya dari golongan lini
pertama
anti-tuberculosis
seperti
pyrazinamide,
ethambutol,
and
streptomycin. Penggunaan lini kedua di terapkan jika ada ditemukannya resistensi obat Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi
sekunder Bed rest Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame/plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. Terapi untuk Pott’s 35
paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi (Martin, 2010). Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang Terapi Operatif Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila: 1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi 2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan 3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
36
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis berat saat ini 5. Penyakit yang rekuren
37
Foto Thoracolumbal9,10 Pemeriksaan radiologis merupakan suatu pencitraan yang ideal harus dapat memberikan keterangan mengenai: • Jumlah vertebra yang terlibat, sudut kifosis yang terjadi • Seberapa jauh destruksi tulang telah terjadi, apakah hanya terbatas pada kolumna anterior atau sudah mencapai kolumna posterior • Ada tidaknya keterlibatan jaringan lunak, termasuk pembentukan abses dan sekuesterisasi diskus interverbralis • Ada tidaknya kompresi medula spinalis dan tingkat keseriusannya Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru. Hal in sangat diperlukan untuk menyingkirkan diagnosa banding penyakit yang lain Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis yang berada di antara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung (bird’s net), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
Gambar 2.2 Destruksi vertebra disertai kiphosis Dekalsifikasi suatu korpus vertebra (pada tomogram dari korpus tersebut mungkin terdapat suatu kaverne dalam korpus tersebut) oleh karena itu maka mudah sekali
38
pada tempat tersebut suatu fraktur patologis. Dengan demikian terjadi suatu fraktur kompresi, sehingga bagian depan dari korpus vertebra itu adalah menjadi lebih tipis daripada bagian belakangnya (korpus vertebra jadi berbentuk baji) dan tampaklah suatu Gibbus pada tulang belakang itu.
Gambar 2.3 Gambaran Gibbus pada tulang belakang (Craig, 2009) “Dekplate” korpus vertebra itu akan tampak kabur (tidak tajam) dan tidak teratur. Diskus Intervertebrale akan tampak menyempit. Abses dingin. Foto Roentgen, abses dingin itu akan tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk kumparan (“Spindle”). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2
Gambar 2.4 Seorang laki-laki dengan spondylitis tuberkulosa mengalami low back pain (LBP) selama 5 bulan. Gambaran radiografi nteroposterior (A) dan lateral (B) menunjukkan adanya destrukdi corpus vertebra lumbal ! dan II dengan hilangnya 39
discus intervertebralis. Destruksi corpus vertebra terletak pada bagian anterior corpus, yang menyebabkan deformitas khas berupa gibbus. Terdapat sklerosis reaktif yang merupakan ciri khas dari infeksi tuberkulosa
Gambar 2.5 Anak laki-laki berusia 5 tahun dengan infeksi tuberculosis pada vertebra thoracalis. Gambaran radiografi lateral pada corpus vertebra thoracalis menunjukkan destruksi total dari corpus vertebra thoracalis VI yang menyebabkan deformitas plana pada vertebra. Diskus intervertebralis yang berdekatan tidak tervisualisasi dengan baik. Terdapat pula destruksi dari corpus vertebra thoracalis VII bagian anterior dan posterior sehingga menyebabkan deformitas gibbus
Gambar 2.6 Seorang laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. A. gambaran radiografi lateral dari vertebra lumbal menunjukkan erosi fokal (tanda panah) pada aspek antero-superior dari corpus vertebra lumbal IV. Subtle erosion juga 40
terdapat pada endplate vertebra lumbal III antero-inferior. B. gambaran radiografi didapat 3 bulan sebelumnya menunjukkan perubahan erosi pada corpus vertebra, sklerosis pada end plate vertebra, hilangnya discus intervertebralis yang berdekatan, tampak suatu massa jaringan lunak pada bagian anterior (tanda panah), dan ada pembentukan gibbus awal \
Gambar 2.7 Pria berusia 18 tahun dengan abses paraspinal tuberkulosa. Gambaran radiografi thorax menunjukkan fusiform soft-tissue swelling (tanda panah) pada regio thorax bawah yang menunjukkan adanya abses tuberkulosa paraspinal Pemeriksaaan CT-scan CT scan menggambarkan luasnya infeksi secara lebih akurat dan mendeteksi lesi lebih dini dibandingkan foto polos. Pada suatu penelitian, didapatkan 25% penderita memperlihatkan gambaran proses infeksi pada CT scan dan MRI. CT scan secara efektif dapat melihat kalsifikasi pada abses jaringan lunak. Selain itu CT scan dapat digunakan untuk memandu prosedur biopsi (Newanda, 2009). Lesi terlihat osteolitik iregular, bermula pada korpus dan kemudian menyebar sehingga vertebra kolaps dan terjadi herniasi diskus ke dalam vertebra yang hancur. CT scan dapat menggambarkan keterlibatan elemen posterior bilateral akan berakibat instabilitas tulang belakang sehingga tindakan operatif merupakan indikasi dan
41
prosedur anterior strut grafting mungkin tidak adekuat sehingga dibutuhkan instrumentasi posterior. o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)
Gambar 2.8 Pria berusia 42 tahun dengan infeksi tuberkulosa pada sacrum. Unenhanced CT scan dari pelvis menunjukkan destruksi dari bagian anterior sacrum dan abses tuberkulosa luas pada presacral (tanda panah putih). Terdapat pula sequestrum (tanda panah hitam
42
Gambar 2.9 Pria berusia 45 tahun dengan tuberculosis yang melibatkan vertebra thoracalis. A. Gambaran posterior dari whole-body CT scan menunjukkan peningkatan uptake radionuclide pada vertebra thoracalis bagian tengah dan bawah. B. Axial single-photon emission CT scan menunjukkan keterlibatan corpus vertebra dan meluas sampai bagian posterior (tanda panah) yang tidak tampak pada foto polos
Gambar 2.10 Laki-laki berusia 43 tahun dengan tuberculosis spinal. Pada CT scan dengan kontras abdomen menunjuuka destruksi litik pada bagian anterior dari corpus vertebra lumal I (tanda panah hitam) dan pembentukan abses pada paraspinal terdekat dan psoas kanan (tanda panah putih)
43
Gambar 2.11 Laki-laki berusia 42 tahun dengan spondylitis tuberculosis. Unenhanced CT scan dari spine menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebra lumbal I. Abses interosseosa meluas sampai ke bagian posterior (tanda panah), menyebabkan perluasan minimal pada saccus thecal
Gambar 2.12 Laki-laki 33 tahun dengan spinal tuberculosis. Gambar A, Terdapat penyengatan kontras pada CT-scan abdomen dengan teknik bone window menunjukkan cloaca (panah) di bagian anterolateral dari corpus vertebrae thorax XII. Gambar B, Gambaran CT-scan beberapa sentimeter di bagian caudal dari gambar A menunjukkan abses besar pada muskulus psoas kiri yang disebabkan oleh dekompresi spontan abses T12 intraosseous. Gambar C, CT-scan yang melalui bagian bawah dada menunjukkan efusi pleura kiri yang besar dan atelektasis lobus bawah kiri. Efusi ini disebabkan oleh perluasan cephalic dari rupture dan abses paraspinal ke dalam rongga pleura
44
. Gambar 2.13 Gambar 6, laki-laki usia 43 tahun dengan spinal tuberculosis. Penyengatan kontras CT-scan abdomen menunjukkan destruksi litik dari bagian anterior corpus vertebrae lumbal I (panah hitam) dan pembentukan abses di psoas kanan dan paraspinal. Gambar 7, laki-laki 42 tahun dengan spondilitis tuberkulosa. CT-scan tanpa penyengatan spina menunjukkan destruksi dan fragmentasi dari corpus vertebrae lumbal I. Terdapat perluasan posterior dari abses intraosseus (panah) yang menghasilkan gangguan ringan pada saccus thecal
45
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anonim. 2011. Tuberkulosis dan Gambaran Radiologisnya. Available from http://www.idoub.com/doc/47073593/TUBERKULOSIS-DAN-GAMBARANRADIOLOGIS-NYA. Accessed on October 13rd, 2015.
2. Alsagaff, Hood, et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departmen Ilmu Penyakit Paru Surabaya: FK UNAIR. 3. Burrill, Joshua et al. 2007. Tuberkulosis: A Radiologic Review. Available from http://intlradiographics.rsna.org/content/27/5/1255.full. Accessed on October 13rd, 2015.. 4. Curry International Tuberkulosis Center. 2011. Basic Chest Radiology for The TB Clinician. Available from http://www.curryTBcenter.ucsf.edu/TBradiology/docs/TB_radiology_basic_presentati on_slides.ppt. Accessed on October 13rd, 2015.. 5. Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI. 6. Alfarisi. 2011. Patogenesis ,Patofisiologi , Stadium , dan Derajat Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa. (Online), (http://doc- alfarisi.blogspot.com/2011/04/patogenesispatofisiologi-stadium-dan.html. Accessed October 13rd, 2015. 7.
Craig,
Michael. 2009. Pott’s Disease: Tuberculous Spondylitis. (www.med.unc.edu/.../3.30.09%20Craig.%20Pott's%20Dz.pdf. October 13rd, 2015.
(Online), Accessed
8. Danchaivijitr, N et all. 2007. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis. (Online), (www.si.mahidol.ac.th/th/publication/2007/Vol90_No.8_1581_3140.pdf. Accessed October 13rd, 2015. 9. 10.
Heftiet
all. 2007. Pediatric Orthopedic in Practice. (Online), (http://books.google.co.id/books?id. Accessed October 13rd, 2015
Hidalgo. 2006. Pott Disease (Tuberculous Spondylitis). (Online), (http://www.emedicine.com/med/infecMEDICAL_TOPICS.htm Accessed October 13rd, 2015.
46