BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Karena kesehatan adalah hak setiap orang. Oleh sebab itu kesehatan, baik individu, kelompok maupun masyarakat merupakan asset yang harus di jaga, dilindungi bahkan harus ditingkatkan. Sebagai perwujudan dari kewajiban dan tanggung jawabnya dalam memelihara dan melindungi kesehatannya, setiap orang, baik individu, kelompok atau masyarakat harus mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk memelihara dan melindungi kesehatan mereka sendiri (self reliance). Dengan kata lain, masyarakat yang berdaya sebagai hasil dari pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat mandiri, demikian juga individu atau kelompok yang berdaya, juga individu atau kelompok mandiri. Pengembangan masyarakat secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. PM (community development) terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan
terencana
untuk
meningkatkan
kualitas
kehidupan
manusia.
Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial-budaya.
Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu: Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan. Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas Pengembangan kesehatan masyarakat di Indonesia yang telah dijalankan selama ini masih memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat dengan tanggapan masyarakat, manfaat yang diperoleh masyarakat, dan partisipasi masyarakat yang diharapkan. Oleh kerena itu, masih di butuhkannya mobilisasi, pengkaderan, dan keikutsertaan masyarakat dalam usaha untuk melakukan perubahanperubahan dalam masyarakat. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengetian mobilisasi? 2. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk mengoptimalisasi gerakan mobilisasi? 3. Apa pengertian partisipasi? 4. Apa Prinsip-prinsip Partisipasi? 5. Apa Bentuk-bentuk Partisipasi? 6. Apa topologi partisipasi? 7. Apa Tahap-tahap partisipasi? 8. Apa Syarat-syarat Partisipasi? 9. Hal-hal Apa Saja yang mendukung Partisipasi? 10. Apa pengertian kaderisasi?
C. Tujuan penulisan Untuk mengetahui tentang Mobilisasi, Partisipasi, dan kaderisasi dan hal-hal yang terkandung di dalamnya.
D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi yang di lakukan di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang telah ada. E. Ruang lingkup Masalah-masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini adalah berkaitan dengan pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan mobilisasi, partisipasi, dan kaderisasi dalam organisasi-organisasi masyarakat. F. Metode penulisan Metode Penelitian Penyusunan makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi pustaka dan browsing di internet.
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Mobilisasi
Menurut bahasa, kata mobilisasi dapat diartikan sebagai “ suatu usaha untuk mengerahkan orang atau masyarakat tertentu untuk melakukan sesuatu”. Sedangkan menurut istilah Mobilisasi merupakan pengerahan seluruh anggota masyarakat untuk ikut aktif dalam suatu usaha demi kepentingan bersama. Sebagai contoh, Dalam masyarakat jawa terkenal dengan istilah “gugur gunung” yang berarti bersama-sama bergerak dalam menangai suatu proyek bersama untuk kepentingan semua orang. Dalam masyarakat yang heterogen, kemungkinan untuk melakukan mobilisasi langsung menjadi kurang efektif dan terlalu lama, jalan lain yang kemungkinan dapat mengantisipasi hal tersebut adalah dengan pendekatan melalui organisasi-organisasi mayarakat yang ada, dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Membuat daftar organisasi yang telah ada. 2. Mengetaui kegiatan utama dan mengenal tokohnya. 3. Menganalisa kemungkinan yang mendukung ataupun yang menghambat program. 4. Membuat perkiraan kemungkinan hal-hal yang dapat membantu program dari setiap organisasi. 5. Mengatur strategi agar organisasi-organisasi yang netral dapat segera diajak masuk dalam program
dan menetralisir organisasi-organisasi lain yang menentang.
B. Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah masyarakat berperan secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO PNPM PPK, 2007). Verhangen (1979) dalam Mardikanto (2003) menyatakan bahwa, partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian: kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat. Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan bahwa dalam pengertian seharihari, Partisipasi merupakan keikutsertaan atau keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan, partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961). Partisipasi masyarakat merutut Hetifah Sj. Soemarto (2003) adalah proses ketika warga sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakan kebijakan yang langsung mempengaruhi kehiduapan mereka Dari berbagai pendapat para pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi
1. Pentingnya Partisipasi Pentingnya partisipasi dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) sebagai berikut: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan untuk jangka yang lebih panjang. 2. Prinsip-prinsip Partisipasi Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut, sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique Sumampouw, 2004: 106-107) adalah: (a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses proyek pembangunan. (b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-masing pihak. (c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog. (d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.
(e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan dan langkahlangkah selanjutnya. (f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain. (g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia. 3. Bentuk-bentuk Partisipasi Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, dan pengambilan keputusan. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, atau pendapat baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program
dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama.
4. Tipologi Partisipasi Penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat serngkali terhambat oleh persepsi yang kurang tepat, yang menilai masyarakat “sulit diajak maju” oleh sebab itu kesulitan penumbuhan dan pengembangan partisipasi masyrakat juga disebabkan karena sudah adanya campur tangan dari pihak penguasa. Berikut adalah macam tipologi partisipasi masyarakat: a). Partisipasi Pasif / manipulatif dengan karakteristik masyrakat diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi, pengumuman sepihak oleh pelkasan proyek yanpa memperhatikan tanggapan masyarakat dan informasi yang diperlukan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. b). Partisipasi Informatif memilki kararkteristik dimana masyarakat menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian, masyarakat tidak diberikesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian dan akuarasi hasil penelitian tidak dibahas bersama masyarakat. c). Partisipasi konsultatif dengan karateristik masyaakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, tidak ada peluang pembutsn keputusan bersama, dan para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagi masukan) atau tindak lanjut d). Partisipasi intensif memiliki karakteristik masyarakat memberikan korbanan atau jasanya untuk memperolh imbalan berupa intensif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajan atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan dan asyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah intensif dihentikan. e). Partisipasi Fungsional memiliki karakteristik masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keptusan-keputusan
utama yang di sepakati, pada tahap awal masyarakat tergantung terhadap pihak luar namun secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. f). Partisipasi interaktif memiliki ciri dimana masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan penguatan kelembagaan dan cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman prespektik dalam proses belajar mengajar yang terstuktur dan sisteatis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan merek, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegitan. g). Self mobilization (mandiri) memiliki karakter masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebabas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-niloai yang mereka miliki. Masyarakat mengambangkan kontak dengan lembaga-lemabaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan teknis dan sumber daya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. 5. Tahap-Tahap Partisipasi Uraian dari masing-masing tahapan partisipasi adalah sebagai berikut : a). Tahap partisipasi dalam pengambilan keputusan Pada umumnya, setiap program pembangunan masyarakat (termasuk pemanfaatan sumber daya lokal dan alokasi anggarannya) selalu ditetapkan sendiri oleh pemerintah pusat, yang dalam hal ini lebih mencerminkan sifat kebutuhan kelompok-kelompok elit yang berkuasa dan kurang mencerminkan keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu ditumbuhkan melalui dibukanya forum yang memungkinkan masyarakat banyak berpartisipasi langsung di dalam proses pengambilan keputusan tentang program-program pembangunan di wilayah setempat atau di tingkat lokal (Mardikanto, 2001).
b). Tahap partisipasi dalam perencanaan kegiatan Slamet (1993) membedakan ada tingkatan partisipasi yaitu : partisipasi dalam tahap perencanaan, partisipasi dalam tahap pelaksanaan, partisipasi dalam tahap pemanfaatan.
Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya diukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target. Salah satu metodologi perencanaan pembangunan yang baru adalah mengakui adanya kemampuan yang berbeda dari setiap kelompok masyarakat dalam mengontrol dan ketergantungan mereka terhadap sumber-sumber yang dapat diraih di dalam sistem lingkungannya. Pengetahuan para perencana teknis yang berasal dari atas umumnya amat mendalam. Oleh karena keadaan ini, peranan masyarakat sendirilah akhirnya yang mau membuat pilihan akhir sebab mereka yang akan menanggung kehidupan mereka. Oleh sebab itu, sistem perencanaan harus didesain sesuai dengan respon masyarakat, bukan hanya karena keterlibatan mereka yang begitu esensial dalam meraih komitmen, tetapi karena masyarakatlah yang mempunyai informasi yang relevan yang tidak dapat dijangkau perencanaan teknis atasan (Slamet, 1993).
c). Tahap Partisipasi Dalam Pelaksanaan Kegiatan Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seringkali diartikan sebagai partisipasi masyarakat banyak (yang umumnya lebih miskin) untuk secara sukarela menyumbangkan tenaganya di dalam kegiatan pembangunan. Di lain pihak, lapisan yang ada di atasnya (yang umumnya terdiri atas orang kaya) yang lebih banyak memperoleh manfaat dari hasil pembangunan, tidak dituntut sumbangannya secara proposional. Karena itu, partisipasi masyarakat dalam tahap pelaksanaan pembangunan harus diartikan sebagai pemerataan sumbangan masyarakat dalam bentuk tenaga kerja, uang tunai, dan atau beragam bentuk korbanan lainnya yang sepadan dengan manfaat yang akan diterima oleh warga yang bersangkutan (Mardikanto, 2001).
d). Tahap partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan
Kegiatan pemantauan dan evaluasi program dan proyek pembangunan sangat diperlukan. Bukan saja agar tujuannya dapat dicapai seperti yang diharapkan, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh umpan balik tentang masalah-masalah dan kendala yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan yang bersangkutan. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan serta perilaku aparat pembangunan sangat diperlukan (Mardikanto, 2001).
e). Tahap partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan Partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan, merupakan unsur terpenting yang sering terlupakan. Sebab tujuan pembangunan adalah untuk memperbaiki mutu hidup masyarakat banyak sehingga pemerataan hasil pembangunan merupakan tujuan utama. Di samping itu, pemanfaaatan hasil pembangunan akan merangsang kemauan dan kesukarelaan masyarakat untuk selalu berpartisipasi dalam setiap program pembangunan yang akan datang (Mardikanto, 2001).
6. Tingkat Kesukarelaan Partisipasi Dusseldorp (1981) membedakan adanya beberapa jenjang kesukarelaan sebagai berikut: a). Partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsik berupa pemahaman, penghayatan, dan keyakinannya sendiri. b). Partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar; meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi. c). Partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai, atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyarakatnya. d). Partisipasi tertekan oleh alasan sosial-ekonomi, yaitu peranserta yang dilakukan karena
takut akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan. e). Partisipasi tertekan oleh peraturan, yaitu peranserta yang dilakukan karena takut menerima hukuman
dari
peraturan/ketentuan-ketentuan
yang
sudah
diberlakukan.
7. Syarat Tumbuh Partisipasi Margono Slamet (1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: a). Adanya kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi. b). Adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi c). Adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi Lebih rinci Slamet menjelaskan tiga persyaratan yang menyangkut kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi adalah sebagai berikut: 1). Kemauan Secara psikologis kemauan berpartisipasi muncul oleh adanya motif intrinsik (dari dalam sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan, dorongan atau tekanan dari pihak luar). Tumbuh dan berkembangnya kemauan berpartisipasi sedikitnya diperlukan sikap-sikap yang: a). Sikap untuk meninggalkan nilai-nilai yang menghambat pembangunan. b). Sikap terhadap penguasa atau pelaksana pembangunan pada umumnya. c). Sikap untuk selalu ingin memperbaiki mutu hidup dan tidak cepat puas sendiri. d). Sikap kebersamaan untuk dapat memecahkan masalah, dan tercapainya tujuan pembangunan e). Sikap kemandirian atau percaya diri atas kemampuannya untuk memperbaiki mutu hidupnya.
2). Kemampuan
Beberapa kemampuan yang dituntut untuk dapat berpartisipasi dengan baik itu antara lain adalah: a). Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah. b). Kemampuan untuk memahami kesempatan-kesempatan yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. c). Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan serta sumber daya lain yang dimiliki. Robbins (1998) kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Lebih lanjut Robbins (1998) menyatakan pada hakikatnya kemampuan individu tersuusun dari dua perangkat faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
3). Kesempatan Berbagai kesempatan untuk berpartisipasi ini sangat dipengaruhi oleh: a). Kemauan politik dari penguasa/pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan. b). Kesempatan untuk memperoleh informasi. c). Kesempatan untuk memobilisasi dan memanfaatkan sumberdaya. d). Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi tepat guna. e). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan mempergunakan peraturan, perizinan dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan. f). Kesempatan untuk mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan dan mengembangkan serta memelihara partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sementara Mardikanto (1994) menyatakan bahwa pembangunan yang partisipatoris tidak sekedar dimaksudkan untuk mencapai perbaikan kesejahteraan masyarakat (secara material), akan tetapi harus mampu menjadikan warga masyarakatnya menjadi lebih kreatif. Karena itu setiap hubungan atau interaksi antara orang luar dengan masyarakat sasaran yang sifatnya asimetris (seperti: menggurui, hak yang tidak sama dalam berbicara, serta
mekanisme yang menindas) tidak boleh terjadi. Dengan dimikian, setiap pelaksanaan aksi tidak hanya dilakukan dengan mengirimkan orang dari luar ke dalam masrakat sasaran, akan tetapi secara bertahap harus semakin memanfaatkan orang-orang dalam untuk merumuskan perencanaan yang sebaik-baiknya dalam masyarakatnya sendiri. Mardikanto (2003) menjelaskan adanya kesempatan yang diberikan, sering merupakan faktor
pendorong
tumbuhnya
kemauan,
dan
kemauan
akan
sangat
menentukan
kemampuannya. Syarat Tumbuh dan Berkembangnya Partisipasi Masyarakat Kemauan untuk berpartisipasi merupakan kunci utama bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat. Sebab, kesempatan dan kemampuan yang cukup, belum merupakan jaminan bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, jika mereka sendiri tidak memiliki kemauan untuk (turut) membangun. Sebaliknya, adanya kemauan akan mendorong seseorang untuk meningkatkan kemam-puan dan aktif memburu serta memanfaatkan setiap kesempatan. Mardikanto (2003) menjelaskan beberapa kesempatan yang dimaksud adalah kemauan politik dari penguasa untuk melibatkan masyarakat dalam pembagunan, baik dalam pengambilan kepu-tusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, dan pemanfaatan pembangunan; sejak di tingkat pusat sampai di jajaran birokrasi yang paling bawah. Selain hal tersebut terdapat kesempatan kesempatan yang lain diantaranya kesempatan untuk memperoleh informasi pembangunan, kesempatan memanfaatkan dan memobilisasi sumber daya (alam dan manusia) untuk pelaksanaan pembangunan. Kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan teknologi yang tepat (termasuk peralatan perlengkapan penunjangnya). Kesempatan untuk berorganisasi, termasuk untuk memperoleh dan menggunakan peraturan, perijinan, dan prosedur kegiatan yang harus dilaksanakan, dan Kesempatan mengembangkan kepemimpinan yang mampu menumbuhkan, menggerakkan, dan
mengembangkan
serta
memelihara
partisipasi
masyarakat
(Mardikanto,2003).
Adanya kesempatan-kesempatan yang disediakan untuk menggerakkkan partisipasi masyarakat akan tidak banyak berarti, jika masyarakatnya tidak memiliki kemampuan untuk berpartisipasi. Mardikanto (2003) menjelaskan yang dimaksud dengan kemampuan di sini adalah : 1.
Kemampuan untuk menemukan dan memahami kesempatan-kesempatan untuk membangun, atau pengetahuan tentang peluang untuk membangun (memperbaiki mutu hidupnya).
2.
Kemampuan untuk melaksanakan pembangunan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki.
3.
Kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya
dan
kesempatan
(peluang)
lain
yang
tersedia
secara
optimal.
Yadav dalam Mardikanto (1994) mengemukakan adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu : partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi, dan partisipasi dalam pemanfaatan hasil pembangunan. Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menunjukkan adanya kepercayaan dan kesempatan yang diberikan "pemerintah" kepada masyarakatnya untuk terlibat secara aktif di dalam proses pembangunan. Artinya, tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, memberikan indikasi adanya pengakuan (aparat) pemerintah bahwa masyarakat bukanlah sekedar obyek atau penikmat hasil pembangunan, melainkan subyek atau pelaku pembangunan yang memiliki kemauan dan kemampuan yang dapat diandalkan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (Mardikanto, 2001). 8. Hal-hal Yang Dapat Mendukung Partisipasi a. Pemberian fasilitas fisik, seperti : ruang untuk pertemuan, alat transportasi, dll. b. Pemberian fasilitas non fisik, seperti : wibawa, mekanisme control, dukungan moral, bantuan pikiran, dll.
C. Kaderisasi Kaderisasi merupakan hal penting bagi sebuah organisasi, karena merupakan inti dari kelanjutan perjuangan organisasi ke depan. Tanpa kaderisasi, rasanya sangat sulit dibayangkan
sebuah
organisasi
dapat
bergerak
dan
melakukan
tugas-tugas
keorganisasiannya dengan baik dan dinamis. Kaderisasi adalah sebuah keniscayaan mutlak membangun struktur kerja yang mandiri dan berkelanjutan. Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) yang siap melanjutkan tongkat estafet
perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan yang di atas rata-rata orang umum. Bung Hatta pernah menyatakan kaderisasi dalam kerangka kebangsaan, “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.” Dari sini, pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugastugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan misi organisasi. Sifat sebagai subyek dan obyek dari proses kaderisasi ini sejatinya harus memenuhi beberapa fondasi dasar dalam pembentukan dan pembinaan kader-kader organisasi yang handal, cerdas dan matang secara intelektual dan psikologis. Sebagai subyek atau pelaku, dalam pengertian yang lebih jelas adalah seorang pemimpin. Bagi Bung Hatta, kaderisasi sama artinya dengan edukasi, pendidikan! Pendidikan tidak harus selalu diartikan pendidikan formal, atau dalam istilah Hatta “sekolah-sekolahan”, melainkan dalam pengertian luas. Tugas pertama-tama seorang pemimpin adalah mendidik. Jadi, seorang pemimpin hendaklah seorang yang memiliki jiwa dan etos seorang pendidik. Memimpin berarti menyelami perasaan dan pikiran orang yang dipimpinnya serta memberi inspirasi dan membangun keberanian hati orang yang dipimpinnya agar mampu berkarya secara maksimal dalam lingkungan tugasnya. Sedangkan sebagai obyek dari proses kaderisasi, sejatinya seorang kader memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk melanjutkan visi dan misi organisasi ke depan. Karena jatuh-bangunnya organisasi terletak pada sejauh mana komitmen dan keterlibatan mereka secara intens dalam dinamika organisasi, dan tanggung jawab mereka untuk melanjutkan perjuangan organisasi yang telah dirintis dan dilakukan oleh para pendahulupendahulunya. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam hal kaderisasi adalah potensi dasar sang kader. Potensi dasar tersebut sesungguhnya telah dapat dibaca melalui perjalanan hidupnya. Sejauh mana kecenderungannya terhadap problema-problema sosial lingkungannya.
Jadi, di sana ada semacam landasan berfikir atau filosofi kaderisasi yang harus mendapatkan porsi perhatian oleh setiap organisasi/pergerakan. Yaitu: harus ditemukan upaya mencari bibit-bibit unggul dalam kaderisasi. Subyek harus mampu menawarkan visi dan misi ke depan yang jelas dan memikat, serta menawarkan romantika dinamika organisasi yang menantang bagi para kader yang potensial, sehingga mereka dengan senang hati akan terlibat mencurahkan segenap potensinya dalam kancah organisasi. Untuk dapat menjalankan peran tersebut, maka organisasi atau sebuah pergerakan harus terlebih dahulu mematangkan visi-misi mereka; dan termasuk sikap mereka terhadap persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang sama tersedianya para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit potensial tadi. Kader-kader potensial, setelah mereka memahami dan meyakini pandangan dan sistem yang telah diinternalisasikan, maka jiwanya akan terpacu untuk bekerja, berkarya dan berkreasi seoptimal mungkin. Maka, di sini organisasi/pergerakan dituntut untuk dapat mengantisipasi
dan
organisasi/pergerakan
menyalurkannya mampu
secara
positif.
Dan
memang
melakukannya,
karena
bukankah
yang
sepatutnya namanya
organsiasi/pergerakan berarti terobsesi progresif bergerak maju dengan satu organisasi yang efisien dan efektif, bukan sebaliknya? Belakangan ini, sudah dimulai upaya ke arah kaderisasi yang berorientasi pada karya dan aksi sosial dalam level general, berupa penumbuhan dan stimulasi etos intelektual dan sosial. Jadi, bagaimana menggabungkan atau menemukan konvergensi yang ideal antara aktifitas berpikir (belajar) sebagai—entitas mahasiswa—dan aktifitas aksi sosial sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai tekstualnormatif. Dengan kata lain, harus ditemukan titik keseimbangan antara nilai-nilai tekstualnormatif tadi dengan realitas-kontekstualnya. Tampaknya perlu dicermati kembali urgensi dari kaderisasi berkala yang dilakukan oleh organisasi apapun. Kaderisasi merupakan kebutuhan internal organisasi yang tidak boleh tidak dilakukan. Layaknya sebuah hukum alam, ada proses perputaran dan pergantian disana. Namun satu yang perlu kita pikirkan, yaitu format dan mekanisme yang komprehensif dan mapan, guna memunculkan kaderkader yang tidak hanya mempunyai kemampuan di bidang manajemen organisasi, tapi yang lebih penting adalah tetap berpegang pada komitmen sosial dengan segala dimensinya. Sukses atau tidaknya sebuah institusi organisasi dapat diukur dari kesuksesannya dalam proses kaderisasi internal yang di kembangkannya. Karena, wujud dari keberlanjutan organisasi adalah munculnya kader-kader yang memiliki kapabilitas dan komitmen terhadap dinamika organisasi untuk masa depan.
BAB 3 PENUTUP A. Saran