Bab Iii 1s5b39

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Hipokalemia 3.1.1 Definisi Hipokalemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalium di dalam darah dibawah 3,5 mmol/L yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah kalium total di tubuh dan adanya gangguan perpindahan ion kalium ke sel-sel.5 Asupan yang kurang, kehilangan karena penyebab renal ataupun non renal, semuanya berkaitan dengan deplesi kalium tubuh total. Pada perpindahan transeluler, total kalium dalam tubuh tidak berubah, meskipun mungkin terdapat deplesi kalium yang terjadi sekunder akibat faktor lain.6 3.1.2 Etiologi Penyebab terserin hipokalemia pada anak adalah keluhan gastrointestinal yang berlebihan seperti diare ataupun muntah. Hal tersebut terjadi karena kadar kalium serum tidak berkolerasi dengan kadar kalium intraseluler, namun hypokalemia tidak mencerminkan total kalium yang tersimpan di tubuh.7 Hipokalemia palsu dapat terjadi pada pasien dengan leukemia dan leukositosis. Bila plasma darah yang akan diperiksa dibiarkan pada suhu ruang, leukosit dapat mengambil kalium dari plasma.6 Berikut adalah penyebab hipokalemia: Penyebab Hipokalemia Palsu  Leukositosis

Perpindahan transeluler  Alkalemia  Insulin  Agonis β-adrenergik

18

 Obat/toksin (teofilin, barium, toluene)  Paralisis periodic hypokalemia

Penurunan asupan Kehilangan karena sebab ekstrarenal  Diare  Penyalahgunaan laksatif  Berkeringat

Kehilangan karena sebab renal  ATR distal  ATR proksimal  Ureterosigmoidostomi  Ketoasidosis diabetikum Tanpa gangguan asam – basa spesifik  Toksin

tubulus

(amfoterisin,

cisplatin,

aminoglikosid)  Nefritis interstisial  Nekrosis tubular akut fase diuresis  Hipomagnesemia  Anion urin yang tinggi (misalnya penisilin atau derivat penisilin)

Disertai alkalosis metabolik  Emesis/pengisapan nasogastric  Stenosis pilorus

19

 Diare dengan kehilangan klorida  Fibrosis kistik  Formula rendah klorida  Posthiperkapnia  Penggunaan

diuretic

loop

atau

tiazid

sebelumnya

Klorida urin tinggi dan tekanan darah normal  Sindrom Gitelman  Sindrom Bartter  Diuretik loop dan tiazid

Klorida urin tinggi dan tekanan darah tinggi  Adenoma atau hyperplasia adrenal  Glucocorticoid-remediable aldosteronisme  Penyakit renovaskular  Tumor penghasil renin  Defisiensi 17α-hidroksilase  Defisiensi 11β-hidroksilase  Sindrom cushing  Defiensi 11β-hidroksisteroid dehydrogenase  Asupan licorice  Sindrom Liddle Tabel 8 . Penyebab Hipokalemia6

20

3.1.3 Epidemiologi Hipokalemia biasanya ditemukan pada pasien anak-anak yang sedang dirawat di rumah sakit yang sedang kritis. Menurut salah satu penelitian, terdapat 667 anak yang dirawat di salah satu rumah sakit yaitu pediatric intensive care (PICU) di United States, 40% pasien memiliki kadar kalium serum < 3,5 mEq/L. Pada hypokalemia berat (<2,5 mEq/L) sebanyak 4%, hipokalemia sedang (2,5-3 mEq/L) sebanyak 12%, dan hipokalemia ringan (3-<3,5 mEq/L) sebanyak 24 %. Di negara berkembang, hipokalemia berat sering ditemukan pada anak dengan diare dan malnutrisi akut yang parah, sehingga dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian.4 Angka morbiditas jangka pendek dapat meningkat pada pasien-pasien yang terdapat masalah pada hipomotilitas gastrointestinal track atau ileus, disritmia, QT prolongation, depresi degmen ST, dan kelemahan yang ditemukan pada otot atau kram. Namun, pada dasarnya angka morbiditas dan mortalitas hipokalemia pada anak berkaitan dengan pengobatan dengan suplementasi kalium, terutama diberikan kalium dalam dosis besar atau cepat. Hal tersebut terkait dengan penggantian kalium, terutama jika terjadi hipokalemia ringan, tanpa gejala atau sementara dan kemungkinan sembuh tanpa pengobatan.3

3.1.4

Patofisiologi Terdapat beberapa dasar mekanisme dasar hipokalemia, yaitu asupan yang

kurang, kehilangan karena penyebab renal, kehilangan karena penyebab non renal semuanya berkaitan dengan deplesi kalium tubuh total. Pada perpindahan transeluler, total kalium dalam tubuh tidak berubah, meskipun terdapat deplesi kalium yang terjadi sekunder akibat faktor lain.6 a. Penyebab Ekstra Renal Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah, diare, laksatif atau drainase tabung) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan hipokalemia. Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah cukup tinggi (20-50 mEq/L) pada sebagian besar 21

kasus. Sebagai perbandingan, konsentrasi kalium pada sekresi gastrik hanya 5-10 mEq/L; sehingga deplesi kalium pada keadaan ini utamanya disebabkan oleh karena kehilangan urin. Kehilangan kalium karena masalah gastrointestinal yaitu pada diare yang kronis (termasuk yang disebabkan oleh penyalahgunaan pencahar) adalah penyebab hipokalemia ekstra renal yang sering terjadi. Selain itu, hypokalemia karena muntah yang berkepanjangan adalah bagian dari hasil hilangnya kalium dari ginjal yang merupakan kombinasi sekunder adanya hiperaldosteronism dan alkalosis yang berkaitan dengan peningkatan filtrasi asam bikarbonat yang melebihi kapasitas reabsorpsi dari tubulus proksimal yang berperan sebagai anion yang tidak dapat diserap kembali sebagai konsekuensinya hipovolemia, peningkatan nefron untuk mensekresi kalium dan eksresi urin Pembuangan kalium melalui urin mungkin disertai asidosis metabolik. Kehilangan hidroklorida melalui lambung dapat menyebabkan alkalosis metabolic dan deplesi volume. Alkalosis metabolik dari deplesi volume menyebabkan peningkatan kehilangan kalium melalui urin.6 Hipokalemia oleh karena kehilangan saluran cerna bagian bawah paling sering terjadi pada saat kehilangan timbul dalam jangka waktu lama, seperti pada adenoma vilosa atau tumor pensekresi peptida intestinal vasoaktif (VIPoma). Pada beberapa kasus, meskipun demikian, peningkatan kehilangan faeses tidak dapat menjelaskan semua defisit kalium. Subyek normal biasanya mendapatkan asupan kalium sekitar 80 mEq per hari. Ekskresi kalium normal harus turun di bawah 15-25 mEq/hari pada keadaan defisit kalium. oleh karenanya, kehilangan faeses (biasanya sekitar 10 mEq/hari) harus melewati 55-65 mEq/hari untuk dapat menginduksi hipokalemia. Banyak pasien hipokalemi mempunyai kadar ekskresi kalium faeses yang lebih rendah, sehingga mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain (seperti penurunan asupan dan mungkin ekskresi kalium urin terinduksi hiperaldosteronisme) juga memainkan peranan penting.8 22

b. Penyebab Renal Dalam keadaan normal, sebagian besar kalium di filtrasi da di reabsorpsi di tubulus convulated proksimal, meskipun beberapa sekresi kalium terjadi di pars resta dan di loop of Henle descending. Kontrol atas jumlah kalium yang muncul dalam urin sebagian besar diatur dalam tubulus koletivus.6 3.1.5

Manifestasi Klinis6 a. Kelemahan otot berat atau paralisis Kelemahan otot biasanya tidak timbul pada kasar kalium diatas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan. Pola kelemahan biasanya dimulai dengen ekstremitas bawah, meningkat sampai batang tubuh dan ekstremitas atas serta dapat memburuk pada titik paralisis. Hipokalemia juga dapat menyebabkan hal berikut ini: kelemahan otot pernapasan yang dapat begitu berat sampai menyebabkan kegagalan pernapasan

dan

kematian.

Keterlibatan

otot-otot

pencernaan,

menyebabkan ileus dan gejala-gejala yang diakibatkannya seperti distensi, anoreksia, nausea dan vomitus. Kram, parestesia, tetani, nyeri otot dan atrofi. Disfungsi otot halus yang terkait dengan kejadian hipokalemia biasanya disertai mual, muntah, konstipasi, hipotensi ortostatik, retensi urin. b. Perubahan Elektrokardiogram (EKG) Otot jantung dan skelet sangat rentan terhadap hipokalemia. Yaitu terjadi perubahan pada elektrokardiogram antara lain, gelombang T yang mendatar, depresi segmen ST dan munculnya gelombang U yang berada di antara gelombang T dan gelombang P.Dapat terjafi fibrilasi ventrikel dan torsades de pointes, meskipun pada umumnya hanya terjadi pada penyakit jantung yang mendasari. Keadaan hipokalemia membuat jantung rentan mengalami aritmia yang diinduksi digitalis, seperti takikardia supraventrikel, takikardi vertebral dan blok jantung 23

c. Rhabdomiolisis Risiko ini meningkat dengan olahraga. penurunan kadar kalium berat (kurang dari 2,5 mEq/L) dapat menyebabkan keram otot, rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Pelepasan kalium dari sel otot secara normal menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke otot selama olah raga. Penurunan pelepasan kalium oleh karena hipokalemia berat dapat menurunkan aliran darah ke otot sebagai respons olah raga. d. Kelainan Ginjal Hipokalemia mengganggu fungsi kandung kemih, dan potensial menyebabkan retensi urin. Hipokalemia menyebabkan poliuria dengan mencetuskan diabetes insipidus nefrogenik sekunder. Hipokalemia kronik dapat menyebabkan kerusakan ginjal, termasuk nefritis interstitial dan kista renalis. Pada anak, hipokalemia kronik seperti pada Sindrom Bartler dapat menyebabkan pertumbuhan linear yang buruk. e. Metabolik Endokrin Gangguan metabolik endokrin yang berhubungan dengan hipokalemia termasuk intolerasi glukosa, growth retriction, katabolisme protein.

3.1.6

Diagnosis11

a) Anamnesis Mialgia, kelemahan atau kram otot ekstremitas bawah merupakan keluhan yang sering. Hipokalemia yang lebih berat dapat menyebabkan kelemahan progresif, hipoventilasi dan paralisis komplit. Selain itu, pada hipokalemia berat terdapat keluhan lemas dan konstipasi. Keluhan yang terjadi sejalan dengan kecepatan penurunan kadar kalium serum. b) Pemeriksaan Fisik Temuan penting pada pemeriksaan fisik meliputi terlihatnya keterbatasan pertumbuhan, adenopati atau massa perut, edema, kelemahan atau temun neurologis yang abnormal. 24

c) Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan laboratorium mencakup CBC, analisi gas darah, dan kimia dasar, dalam hubungannya dengan ulasan tentang riwayat medis dan diet dan pemeriksaan fisik, sudah cukup untuk menilai ada atau tidaknya pseudohipokalemia atau pergeseran intraseluler K+. Tes-tes ini juga membantu mengkategorikan sebab hipokalemia diantara hipokalemiahipokalemia dengan kehilangan K+ ginjal yang berlebihan.  Pemeriksaan EKG Perubahan EKG awal berupa mendatarnya atau inversi gelombang T, gelombang U prominen, depresi segmen ST dan pemanjangan interval QT. Deplesi kalium berat dapat menyebabkan pemanjangan interval PR, low voltage, dan pelebaran QRS dan meningkatkan risioko aritmia ventrikel.

Gambar 4 . Perubahan EKG pada hipokalemi9 3.1.7

Penatalaksanaan

Tata laksana hipokalemia tergantung pada konsentrasi serum kalium serta ada tidaknya gejala yang timbul dan perubahan gambaran EKG. Perubahan EKG awal termasuk depresi segmen ST, gelombang T mendatar dan adanya gelombang U.

25

Tujuan dari terapi hipokalemia yaitu menghindari timbulnya gejala dan kembalinya kadar serum kalium menjadi normal. Jika kehilangan kalium dari diet, minimal ginjal akan mengekeskresi 200 mg per hari. Konsentrasi kalium serum akan menurun hingga 3,0 – 3,5 mEq/L dalam waktu 1 minggu. Pasien dengan gejala hipokalemia harus diobati dengan terapi farmakologi, karena jika hanya meningkatkan asupan makanan yang kaya kalium, tidak akan menyelesaikan dan menghilangkan gejala yang timbul dari kekurangan kalium.7 Faktor yang mempengaruhi terapi hipokalemia adalah kadar kalium, gejala klinis, fungsi ginjal, adanya perpindahan kalium transeluler, kehilangan yang sedang terjadi dan kemampuan pasien untuk mentoleransi kalium oral. Hipokalemia simtomatik berat memerlukan terapi agresif. Suplementasi harus dilakukan dengan lebih hati-hati apabila fungsi ginjal dalam mengekskresikan kelebihan kalium. Kadar kalium plasma tidak selalu memberikan estimasi akurat mengenai deficit kalium tubuh total karena mungkin terdapat perpindahan kalium dari ruang intraseluler ke plasma. Pasien yang mengalami kehilangan kalium yang masih berlangsung memerlukan koreksi deficit dan penggantian kehilangan yang berlangsung tersebut.6 Pada keadaan aritmia, kelemahan pada otot ekstremitas dan gangguan pernapasan, KCl harus diberikan secara intravena dengan pemantauan jantung. Dosis KCl intravena adalah 0,5 mEq/kgBB (maksimal 20 mEq/dosis) diberikan selama 1-2 jam berdasarkan gejala pada pasien. Biasanya dipilih dosis konservatif. Bila pasien dengan kehilangan yang berlebihan melalui urin, diuretic hemat kalium cukup efektif, namun perlu digunakan secara hati-hati pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Apabila terdapat hipokalemia, alkalosis metabolic, dan deplesi volume, pemulihan volume intravascular akan mengurangi kehilangan kalium melalui urin.7 Pada pasien yang mengalami gejala menerima terapi KCl secara intravena, dosis harus diulang tanpa mengukur nilai serum, jika gejala tetap bertahan. Namun, jika gejala hilang kadar kalium dapat dievaluasi 1 jam setelah pemberian KCl. Secara klinis, dosis oral diberikan berdasarkan nilai serum rendah, dengan tidak adanya gejala klinis yang timbul. 26

Pasien dengan hipokalemia mungkin juga mengalami hipomagnesemia sebagai akibat dari hilangnya magnesium bersamaan dengan diare atau terapi diuretic yang menyebabkan pemborosan magnesium ginjal. Sehingga evaluasi kadar magnesium harus

dipertimbangkan

pada

pasien

dengan

hipokalemia.

Terapi

yang

direkomendasikan adalah pemberian magnesium sulfat secara intravena 50 mg/kgBB/dosis (dosis maksimum 2 g) diberikan lebih dari 2 jam.7 Prognosis10

3.1.8

Prognosis hipokalemia tergantung pada penyebabnya. Serangan akut oleh karena diare mempunyai prognosis yang baik. Sedangkan hipokalemia karena kelainan kongenital mempunyai prognosis yang jauh lebih buruk oleh karena seringkali terapi tidak berhasil. 3.2 Sepsis 3.2.1 Definisi Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi.13 Sepsis adalah sindroma respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (> 38oC atay <36oC), takikardi, asidosis metabolic, biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu dan juga peningkatan atau penurunan sel darah putih.11 3.2.2 Epidemiologi Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonates dan bayi <1 tahun dibandingkan dengan usia > 1-18 tahun (9,7 vs 0,23 kasus per 1.000 anak). Sepsis menempati urutan ke 10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian sepsis meningkat

27

hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di Amerika Serikat. Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482 kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien rawat inap tersebut.13 Penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT) pada tahun 2015 mengumpulkan data PICU dari 26 negara, memperoleh data penurunan prevalensi global sepsis berat (Case Fatality Rate) dari 10,3% menjadi 8,9% (95%IK; 7,6-8,9%). Usia rerata penderita sepsis berat 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak terdapat pada sistem respirasi (40%) dan 67% kasus mengalami disfungsi multi organ. Angka kematian selama perawatan di rumah sakit sebesar 25% dan tidak terdapat perbedaan mortalitas antara PICU di negara berkembang dan negara maju. Di unit perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat mengalami sepsis dengan angka mortalitas 54%.6 Sepsis berat lebih sering dialami anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas seperti keganasan, transplantasi, penyakit respirasi kronis dan defek jantung bawaan.12,13 3.2.3 Etiologi13 Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi.Bakteri merupakan penyebab infeksi yang paling sering, tetapi dapat pula berasal dari jamur, virus, atau parasite. Respon imun terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ atau sepsis dan syok septik dengan angka mortalitas relatif tinggi. Organ tersering yang merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit, dan abdomen. Faktor resiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan system imun seperti pada pasien keganasan dan diabetes mellitus, trauma atau luka bakar mayor. Mikroorganisme patogen penyebab sepsis sangat tergantung pada usia dan respons tubuh terhadap infeksi itu sendiri.

28

Mikroorganisme patogen penyebab sepsis pada anak sesuai usia Bayi dan anak di komunitas • Streptococcus pneumonia merupakan penyebab utama infeksi bakterial invasif • Neisseria meningitidis • Staphylococcus aureus dan Streptokokus grup A, pada anak sehat • Haemophilus influenzae tipe B • Bordetella pertussis (terutama pada bayi sebelum vaksinasi dasar lengkap) Bayi dan anak di rumah sakit • Sesuai pola kuman di rumah sakit • Coagulase-negative Staphylococcus (akibat kateter vaskular) • Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) • Organisme gram negatif: Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, E.coli, dan Acinetobacter sp Asplenia fungsional/asplenik • Sepsis Salmonella (Salmonella osteomyelitis pada penyakit sickle cell) • Organisme berkapsul: Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae Organisme lain 

Jamur (spesies Candida dan Aspergillus) dan virus (influenza, respiratory syncytial virus, human metapneumovirus, varicella dan herpes simplex virus) Tabel 9. Mikroorganisme patogen penyebab sepsis pada anak sesuai usia13

3.2.4 Patofisiologi Sepsis Normalnya, pada keadaan infeksi terdapat aktivitas lokal bersamaan dari sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek yang menakutkan dari sindrom sepsis tampaknya disebabkan oleh kombinasi dari generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi.14

29

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur, virus, dan komponen parasit.

Gambar 5. Gambaran Klinis Sepsis15 Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan kemampuan selsel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin, leukotrien, plateletactivating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil. Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.

30

Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang mengarah ke syok septik. Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan kematian. 15,16 3.2.5 Diagnosis13 Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya: 1) Infeksi, meliputi faktor predisposisi infeksi, tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, respon inflamasi 2) Tanda disfungsi atau gagal organ.

Gambar 6. Alur Penegakan Diagnosis Sepsis13 1) Infeksi Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi inflamasi. Faktor-faktor predisposisi infeksi meliputi: factor genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit kronis, transplantasi,

31

keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif). Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Secara klinis, ditandai oleh demam atau hiponatremia, atau adanya focus infeksi. Secara laboratoris, digunakan penanda (biomarker) infeksi: pemeriksaan darah tepi (leukosit, trombosit, rasio neutrophil, limfosit, shift to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, Dohle body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis memerlukan pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui pemeriksaan apusan gram, hasil kultur (biakan), atau polymerase chain reaction (CRP). Pencarian focus infeksi lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksaan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan pencitraan sesuai indikasi. Secara klinis respon inflamasi terdiri dari: 1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti <36°C). 2. Takikardia: rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa adanya stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam. 3. Bradikardia (pada anak < 1 tahun): rerata denyut jantung di bawah normal sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam. 4. Takipneu: rerata frekuensi nafas di atas normal. Secara laboratoris, respon inflamasi berdasarkan pada jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan prokalsitonin.

32

Tabel 10. Penanda biologis infeksi13

33

2) Kecurigaan disfungsi organ Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari 3 tanda klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan work of breathing, sianosis). Disfungsi organ meliputi disfungsi sistem kardiovaskular, respirasi, hematologis, sistem saraf pusat, dan hepatik. Disfungsi organ ditegakkan berdasarkan skor PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor ≥11 (atau ≥7).

Tabel 11. PELOD Score17

34

3.2.6 Tata Laksana 1. Antibiotika Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi, diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika tunggal berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman. 2. Antibiotika Kombinasi Apabila antibiotika diberikan kombinasi, harus dipertimbangkan kondisi klinis, usia, kemungkinan etiologi dan tempat terjadi infeksi, mikroorganisme penyebab, pola kuman di RS, predisposisi pasien, dan efek farmakologi dinamik serta kinetik obat.

Gambar 7. Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris13

35