UNS Gelar Seminar Pendidikan Tinggi Solo (Espos) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menyelenggarakan seminar pendidikan tinggi, Senin (25/10) di auditorium kampus setempat. Kegiatan tersebut digelar dalam rangka Dies Natalis ke-XXX UNS sekaligus memperluas wawasan tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini. Hadir pada acara tersebut Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, Prof. Fasri Djalal, pengamat pendidikan, Prof. Arief Lukman Hakim dan Rektor UNS, Prof. Muh Syamsulhadi SpKJ. Kegiatan tersebut dihadiri sekitar 100-an peserta dari berbagai kalangan di masyarakat. (Herwin)
Angin Ribut Luncurkan Asuransi Pendidikan Solo (Espos) PT Angin Ribut Solo meluncurkan produk terbaru berupa asuransi pendidikan. Acara launching dilakukan langsung Direktur PT Angin Ribut Solo, Mr. Sule Arwana, Kamis (28/10) di The Sunan Hotel Solo. Hadir pula pada kesempatan tersebut Walikota Solo, Joko Widodo, jajaran Dinas Perindustrian Solo, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Solo serta perwakilan dari seluruh sekolah di Solo. Produk asuransi terkait berupa pemberian pinjaman dana kepada anak didik agar proses pendidikannya berjalan lancar. Asuransi ini ditujukan khususnya kepada para siswa dari keluarga kurang mampu. (Herwin)
Teras berita “Who” dan “5W + 1H”
UNS Gelar Seminar Pendidikan Tinggi Solo (Espos) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menyelenggarakan seminar pendidikan, Senin (25/10) di auditorium kampus setempat. Kegiatan tersebut digelar dalam rangka Dies Natalis ke-XXX UNS sekaligus memperluas wawasan tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini. Hadir pada acara tersebut Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, Prof. Fasri Djalal, pengamat pendidikan, Prof. Arief Lukman Hakim dan Rektor UNS, Prof. Muh Syamsulhadi SpKJ. Fasri Djalal mengatakan pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi problem makin kompleks. Diantaranya kompetisi dengan perguruan tinggi di luar negeri, mutu lembaga hingga keterserapan lulusan di dunia kerja. “Perguruan-perguruan tinggi kita masih tertinggal jauh dengan perguruan-perguruan tinggi di Barat. Mutu pendidikan kita juga masih belum optimal ditandai dengan masih banyaknya perguruan tinggi kita yang belum terakreditasi atau berakreditasi C,” jelasnya. Hal lain yang memprihatinkan, lanjutnya, adalah banyaknya lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang belum terserap di dunia kerja. Kondisi ini terutama terjadi
pada lulusan program sarjana daripada program diploma. Akibatnya, jumlah pengangguran di Indonesia makin membengkak. Untuk mengatasinya, perguruan tinggi diharapkan membekali para mahasiswa dengan pendidikan praktis serta pendidikan kewirausahaan.
Sementara itu, Arief melihat ada banyak kemajuan dari pendidikan tinggi di Indonesia. Ia mencontohkan banyak perguruan tinggi yang mendapatkan penghargaan bertaraf internasional terutama di bidang penelitian. Namun ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang terlalu liberal di bidang pendidikan seperti otonomi kampus yang berlebihan. “Akibatnya perguruan tinggi negeri berlomba-lomba pasang tarif masuk kampus. Ini memprihatinkan karena hanya orang berduit yang bisa kuliah. Padahal UUD mengamanatkan pendidikan adalah kewajiban negara,” kritiknya. Di bagian lain, Prof. Syamsulhadi menilai perguruan tinggi termasuk UNS saat ini dilematis. Di satu sisi perguruan tinggi dituntut bisa bersaing secara global namun di sisi lain fasilitas dari pemerintah untuk kemajuan perguruan tinggi masih minim. “Bahkan anggaran pendidikan yang diberikan pemerintah juga terbatas. Akibatnya PTN terpaksa melakukan berbagai upaya agar ada dana masuk agar kampus bisa bertahan dan berkembang yang justru oleh pihak lain dituding sebagai liberalisasi kampus. Ini memang dilematis, namun inilah faktanya,” keluhnya. (HERWIN).
Teras berita “What”
Jumlah Pengangguran Membengkak! Dikti: Perguruan Tinggi harus Ikut Beri Solusi Solo (Espos) Jumlah pengangguran di Indonesia makin membengkak. Perguruan tinggi diminta ikut memberikan solusi terbaik untuk mengatasi kondisi ini. Diantara cara yang bisa dilakukan adalah membekali mahasiswa dengan pendidikan praktis dan pendidikan kewirausahaan. Demikian disampaikan Dirjen Dikti, Prof. Fasli Djalal pada seminar pendidikan tinggi di auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Senin (25/10). Seminar tersebut Kegiatan tersebut digelar dalam rangka Dies Natalis ke-XXX UNS sekaligus memperluas wawasan tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia saat ini. Selain Fasli Djalal, hadir pada acara tersebut pengamat pendidikan, Prof. Arief Lukman Hakim dan Rektor UNS,
Prof. Muh Syamsulhadi SpKJ. “Kondisi ini terutama terjadi pada lulusan program sarjana daripada program diploma. Akibatnya, jumlah pengangguran di Indonesia makin membengkak,” ungkapnya. Selain soal pengangguran, sambungnya, hal lain yang menjadi tantangan pendidikan tinggi di Indonesia adalah kompetisi dengan perguruan tinggi di luar negeri dan mutu lembaga. “Perguruan-perguruan tinggi kita masih tertinggal jauh dengan perguruan-perguruan tinggi di Barat. Mutu pendidikan kita juga masih belum optimal ditandai dengan masih banyaknya perguruan tinggi kita yang belum terakreditasi atau berakreditasi C,” jelasnya. Sementara itu, Arief melihat ada banyak kemajuan dari pendidikan tinggi di Indonesia. Ia mencontohkan banyak perguruan tinggi yang mendapatkan penghargaan bertaraf internasional terutama di bidang penelitian. Namun ia juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang terlalu liberal di bidang pendidikan seperti otonomi kampus yang berlebihan. “Akibatnya perguruan tinggi negeri berlomba-lomba pasang tarif masuk kampus. Ini memprihatinkan karena hanya orang berduit yang bisa kuliah. Padahal UUD mengamanatkan pendidikan adalah kewajiban negara,” kritiknya. Di bagian lain, Prof. Syamsulhadi menilai perguruan tinggi termasuk UNS saat ini dilematis. Di satu sisi perguruan tinggi dituntut bisa bersaing secara global namun di sisi lain fasilitas dari pemerintah untuk kemajuan perguruan
tinggi masih minim. “Bahkan anggaran pendidikan yang diberikan pemerintah juga terbatas. Akibatnya PTN terpaksa melakukan berbagai upaya agar ada dana masuk agar kampus bisa bertahan dan berkembang yang justru oleh pihak lain dituding sebagai liberalisasi kampus. Ini memang dilematis, namun inilah faktanya,” keluhnya. (HERWIN).