1
LAPORAN KASUS PENATALAKSANAAN RINOSINUSITIS KRONIK DENGAN KOMPLIKASI ABSES PERIORBITA DAN BAKTERI MRSA (+)
Oleh : Rokhaeni
Pembimbing : dr. S. Hendradewi, Sp. T.H.T.L. Msi.Med
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1 ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2016
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Rinosinusitis kronik adalah suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu. Rinosinusitis kronik pada orang dewasa dalam makalah EPOS tahun 2012 didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satunya adalah hidung buntu (nasal blockage atau obstruction atau congestion) atau sekret hidung (anterior atau posterior nasal drip), ± nyeri pada wajah, ± penurunan atau hilangnya daya penciuman. Gejala dan tanda tersebut dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang, antara lain: endoskopi, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema mukosa primer pada meatus medium dan atau CT Scan yang menunjukkan perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal. (Fokkens et al., 2012). Beberapa studi meneliti tentang bakteri pathogen yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik. Dan bakteri pathogen yang dominan dalam kasus rinosinusitis kronik di antaranya adalah Staphylococcus aureus. Methicillinresistant S.aureus (MRSA) dalam beberapa tahun terakhir menjadi hal yang sangat penting karena meningkatnya prevalensi MRSA pada pasien sinusitis, baik akut maupun kronik. Infeksi MRSA sering berhubungan dengan prognosis pasien yang buruk pada kasus rinosinusitis kronis (Pugliese, 2009). Menurut National Health Interview Survey tahun 1996, rinosinusitis kronik merupakan penyakit kronik dengan prevalensi tersering kedua, yang diderita sekitar 12,5% dari populasi Amerika atau sekitar 31 juta pasien setiap tahunnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan terjadi pada 10-30% dari populasi. Sedangkan di Kanada pada tahun 2006, sekitar 2,89 juta peresepan ditujukan untuk kasus sinusitis, dimana dua pertiga di antaranya untuk 2
rinosinusitis akut dan sepertiganya untuk kasus rinosinusitis kronik (Desrosiers et al, 2011; Hamillos, 2011 ). Di Indonesia sendiri berdasarkan data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69% di antaranya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional) (Arivalagan et al, 2013). Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/ RSUP H. Adam Malik tahun 2008 mencatat 296 penderita rinosinusitis kronik dari 783 pasien yang datang ke Divisi Rinologi RSUP H. Adam Malik Medan (Multazar et al., 2012). Sedangkan, dari poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi Surakarta, angka kejadian rinosinusitis kronik sepanjang tahun 2014 tercatat sebanyak 204 kasus (13,01%) dari 1567 pasien rawat jalan. Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait rinosinusitis kronik dan seringnya kejadian kasus tersebut pada usia dewasa produktif, maka pemahaman penegakan diagnosis serta penentuan terapi penyakit tersebut perlu dipelajari lebih detail. B. Tujuan Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik dengan bakteri MRSA yang disertai komplikasi periorbita. C. Manfaat Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui etiologi, patofisiologi, gejala klinis serta komplikasi dari rinosinusitis kronik. Manfaat klinis untuk mengetahui
penegakan
diagnostik
dan
penatalaksanaan
pada
kasus
rinosinusitis kronik dengan bakteri MRSA dan komplikasi abses periorbita.
3
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Dalam makalah terbaru EPOS tahun 2012, rinosinusitis kronik pada orang dewasa didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satunya adalah hidung buntu (nasal blockage atau obstruction atau congestion) atau sekret hidung (anterior atau posterior nasal drip), ±nyeri pada wajah, ±penurunan/hilangnya daya penciuman, dan dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang, antara lain endoskopi, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema mukosa primer pada meatus medium dan atau CT scan yang menunjukkan perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal. Gejala tersebut setidaknya berlangsung selama dua belas minggu atau lebih tanpa adanya perbaikan gejala (Ocampo dan Grammer, 2013; Fokkens et al., 2012). 2. Etiologi dan Faktor Risiko Etiologi multifaktorial
dan
patofisiologi
dan
belum
rinosinusitis
sepenuhnya
kronik
diketahui.
bersifat
Berdasarkan
penyebabnya, etiologi rinosinusitis kronik dapat dibedakan menjadi rinosinusitis
viral,
rinosinusitis
bakterial,
dan
rinosinusitis
yang
disebabkan oleh jamur. Peranan virus sebagai etiologi rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas. Meskipun terdapat bukti ilmiah bahwa rinosinusitis akut pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus yang episodik, bukti tersebut sebagai komponen penyebab rinosinusitis kronik masih belum dapat dipastikan. Eksaserbasi akut pada rinosinusitis kronik dapat disebabkan oleh infeksi sekunder oleh virus. Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial virus) juga pernah dilaporkan ditemukan pada pasien 4
rinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus endoskopik (Bachert et al., 2014). Pada kasus rinosinusitis kronik yang disebabkan oleh bakteri, gambaran bakterioya ternyata berbeda dengan rinosinusitis akut. Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S. aureus, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S. pneumoniae, H.influenzae dan M. Catarrhalis. Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan anaerob. Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 % sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %. Kuman anaerob banyak terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi (Bachert et al., 2014, Bernstein et al, 2006). Erkan et al meneliti 93 kasus inflamasi sinus maxilaris kronik, mendapatkan bahwa bakteri anaerob ditemukan pada 81 dari 87 (93%) kultur spesimen (61 kasus ditemukan sebagai bakteri tunggal, 20 kasus ditemukan bersama bakteri aerob) (Brook, 2011). Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif. Bentuk rinosinusitis karena jamur antara lain sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent (biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal atau AFRS (allergic fungal rinosinusitis) (Shah et al., 2008). Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamasi dengan kontribusi beberapa faktor, yaitu faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan (Patel Zarra M et al., 2014; Jackman dan Kennedy, 2006).
5
Faktor Lingkungan Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, dan lain-lain. Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular primer (Patel Zarra M et al, 2014; Jackman dan Kennedy, 2006).
Faktor Struktural Kompleks osteomeatal merupakan sebuah susunan unit fungsional dimana mengalir drainase dari sinus frontalis, maksilaris dan ethmoidalis anterior. Patensi jalur drainase sinus ini sangatlah penting sehubungan dengan fungsi mukosilier yang adekuat dan drainase sinus yang lancar. Adanya obstruksi akan mengakibatkan akumulasi dan stagnansi cairan, membuat lingkungan cavum nasi menjadi lembab dan hipoksemi yang ideal untuk pertumbuhan bakteri pathogen. Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial (Patel Zarra M et al., 2014; Fokkens et al., 2007). Salah satu faktor struktural yang juga sering mengakibatkan rinosinusitis kronik adalah penyakit pada gigi. Perlu diketahui, gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan dua tumbuh berdekatan dengan dasar sinus, bahkan terkadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe. Sedangkan, pencabutan gigi tersebut dapat menimbulkan
hubungan
dengan
rongga
sinus
yang
akan
mengakibatkan sinusitis.( Patel Zarra M et al., 2014) 6
3. Patofisiologi Rinosinusitis kronik terjadi terutama akibat inflamasi persisten pada mukosa hidung atau sinus paranasal dan mungkin pada tulang yang mendasarinya, yang bisa disebabkan oleh sejumlah faktor seperti yang disebutkan sebelumnya.( Patel Zarra M et al,2014) Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa kesehatan sinus setiap orang dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu sekresi mukus yang
normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi,
transport
mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan infeksi, serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan drainase dan aerasi (Hamilos, 2011; Jackman dan Kennedy, 2006). Mukosa kavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen (Patel Zarra M et al., 2014). Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Adanya gangguan pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti tampak pada Gambar 2. (Patel Zarra M et al., 2014; Jackman dan Kennedy, 2006).
7
Gambar 2.1 Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik (Jackman dan Kennedy, 2006). Proses
inflamasi
juga
memegang peranan
penting dalam
patogenesis rinosinusitis kronik. Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitik kronik adalah iritasi mukosa. (Bernstein, 2006). Beberapa bukti terbaru mengidentifikasi superantigen S. aureus memiliki kontribusi dalam rinosinusitis kronik dengan polip nasi. Superantigen diduga mempengaruhi berbagai tipe sel dan mengubah respon sitokin terhadap fenotip Th2, termasuk eosinofil dan produksi IgE poliklonal, dimana kondisi perubahan tersebut dapat berkaitan dengan asma. Sehingga, superantigen S. aureus tidak hanya dianggap sebagai agen etiologi rinosinusitis kronik tetapi juga sebagai disease modifiers (Huvenne et al., 2008). Biofilm bakteri juga dikaitkan dengan etiologi dan patogenesis rinosinusitis kronik. Terbentuknya biofilm bakteri pada permukaan mukosa sinonasal mampu melindungi bakteri, baik dari pertahanan sel host maupun antibiotik. Hal ini juga yang diyakini menjadi sumber eksaserbasi pada beberapa kasus rinosinusitis kronis. Beberapa penelitian telah mengonfirmasi adanya biofilm bakteri ini dalam kavitas sinonasal pasien rinosinusitis kronik yang diambil sampelnya saat operasi. Sejumlah species bakteri yang berkaitan dengan biofim rhinosinusitis kronis, antara 8
lain Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Moraxella catarrhalis. Biofilm S. aureus, khususnya, dikaitkan dengan prognosis yang buruk (Suh et al., 2010; Al-Mutairi dan Kilty, 2011; Prince et al., 2008). 4. Klasifikasi Berdasarkan definisi dari EPOS, rinosinusitis kronik terbagi menjadi rinosinusitis kronik dengan
polip nasi dan tanpa polip nasi.
Dikategorikan sebagai rinosinusitis kronik dengan polip nasi bila saat endoskopi tampak adanya polip dalam meatus media. Sedangkan, rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ditentukan bila tidak tampak adanya polip dalam meatus media saat endoskopi (Fokkens et al., 2012). Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (Chronic Rhinosinusitis without Nasal Polyps/CRSsNP) merupakan subtipe yang paling sering terjadi, sekitar 60%-65% dari seluruh kasus rinosinusitis kronik. Pada umumnya, penderita rinosinusitis kronik muncul dengan gejala rasa nyeri di wajah dan sekret purulen yang prominen. Secara histologi, gambaran mukosa hidung menunjukkan penebalan membran basalis, hiperplasi sel goblet, edema subepitel, fibrosis, serta infiltrasi sel mononuklear. Pada mukosa pasien dengan rinosinusitis kronik tanpa polip, jumlah eosinofil lebih sedikit dibandingkan jumlah netrofil yang lebih prominen (Ocampo dan Grammer, 2013). Rinosinusitis kronik dengan polip nasi (Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps/CRSwNP) terjadi pada sekitar 20% pasien dengan rinosinusitis kronik. Pada umumnya, pasien dengan rinosinusitis kronik dengan polip nasi
akan mengeluhkan gejala obstruksi hidung yang
menonjol dan hiposmia atau anosmia, jarang mengeluhkan rasa nyeri di wajah.
Subtipe
ini
cenderung
lebih
refrakter
terhadap
terapi
medikamentosa, lebih membutuhkan tindakan pembedahan, dan memiliki morbiditas lebih besar. Dalam pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terliat adanya polip yang besar di meatus nasi media. (Ocampo dan Grammer, 2013). 9
5. Gejala dan Tanda Secara subyektif, gejala rinosinusitis kronik yang sering muncul, meliputi keluhan sekret di dalam hidung atau di tenggorokan, hidung tersumbat, batuk atau rasa tidak nyaman di tenggorokan, nyeri kepala, nyeri pada wajah, adanya infeksi di sekitar mata, dan lain lain. (Bachert et al., 2014). Empat tanda dan gejala khas dari rinosinusitis kronik adalah hidung buntu, sekret hidung (berupa anterior/posterior nasal drip), nyeri pada wajah, dan penurunan atau hilangnya daya penciuman. Sedikitnya dua atau lebih gejala tersebut, dimana salah satunya adalah obstruksi hidung atau sekret hidung, harus berlangsung selama dua belas minggu atau lebih (Fokkens et al., 2012). Hasil penelitian Hwang et al (2003) dari 125 sampel penderita rinosinusitis kronik menunjukkan bahwa gejala ingus purulen memiliki kaitan yang erat terkait rinosinusitis kronik sebesar (75%), hiposmia (69%), nyeri wajah (67%), hidung tersumbat (67%) dan nyeri kepala (64%). Kedua subtipe rinosinusitis kronik, baik dengan polip nasi atau tanpa polip nasi, ditandai dengan adanya gejala khas, yaitu sekret mukopurulen dan sumbatan hidung. Namun, rinosinusitis kronik tanpa polip nasi sering dikaitkan dengan rasa penuh atau nyeri di wajah, sedangkan rinosinusitis kronik dengan polip nasi biasanya disertai dengan gejala khas hiposmia (Bachert et al., 2014).
6. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Endoskopi Pemeriksaan nasoendoskopi akan melihat gambaran
yang
lebih jelas dari kavum nasi posterior, nasofaring dan jalur drainase sinus pada meatus nasi superior dan meatus nasi media. Pemeriksaan ini juga mampu menggambarkan deviasi septum nasi, polip nasi serta adanya sekresi di area posterior. Nasoendoskopi juga mempermudah 10
pengambilan sampel untuk pemeriksaan kultur yang mengarahkan pada terapi antibiotik yang tepat (Desrosiers et al., 2011; Meltzer dan Hamilos, 2011). b. Kultur Spesimen Hidung Berdasarkan panduan EPOS, pemeriksaan kultur spesimen hidung dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pemeriksaan jika terdapat kegagalan terapi atau komplikasi penyakit. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk identifikasi organisme kausatif pada beberapa kasus rinosinusitis kronik (Meltzer dan Hamilos, 2011). c. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan CT Scan memiliki nilai khusus dalam evaluasi rinosinusitis kronik. CT Scan sinus paranasal bermanfaat dalam identifikasi struktur pada sinus, adanya erosi tulang, atau keterlibatan jaringan ekstrasinus (Meltzer dan Hamilos, 2011). Berbagai kelainan, seperti polip nasi, septum nasi, dan konka bulosa akan tampak dalam pemeriksaan CT Scan. Pemeriksaan MRI lebih sensitif untuk sinusitis fungal yang memproduksi intensitas sinyal rendah dan tampak lebih hitam daripada sinusitis bakterial dan viral (Puruckherr et al., 2002).
Gambar 2.2 CT Scan sinus paranasal (potongan coronal) menunjukkan adanya pansinusitis (Dutta dan Ghatak, 2013). 7. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi, terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar 11
belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang berlainan juga (Siswantoro, 2004) Sedangkan, tatalaksana rinosinusitis kronik menurut panduan EPOS dikategorikan menjadi 2 subtipe utama, yaitu rinosinusitis kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Rekomendasi tatalaksana kemudian dibagi lagi berdasarkan tingkatan atau derajat keparahan penyakit, dengan menggunakan skala VAS 0 (tidak nyeri) hingga 10 (sangat nyeri) (Fokkens et al., 2012).
Terapi Medikamentosa Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita serta memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Jenis terapi medikamentosa yang dapat diberikan, antara lain Kortikosteroid Terapi medikamentosa dengan kortikosteroid dapat diberikan secara topikal maupun oral. Steroid topikal mampu mengurangi sensitivitas reseptor kolinergik, menurunkan jumlah basofil dalam epitel hidung, mengurangi jumlah eosinofil dalam mukosa, dan menghambat reaksi late-phase yang menyertai paparan antigen. Hal ini akan menurunkan respon sekretori pada rinosinusitis kronik. Steroid topikal ini memiliki efikasi yang luas dan paling aman serta memiliki efek paling baik dalam melegakan gejala sumbatan sinus dengan efek samping yang minimal meski digunakan jangka panjang. Beberapa spray steroid topikal yang tersedia di pasaran misalnya fluticasone propionat, triamcinolone, mometasone, flunisolide, beclometasone, tixocortol pivalat (Meltzer dan Hamilos, 2011; Bachert et al., 2014). Obat steroid oral sistemik juga dapat diberikan untuk penderita rinosinusitis kronik.
Mekanisme utama obat ini adalah dengan
mengurangi edema jaringan melalui kemampuannya menghambat produksi
mediator
inflamasi,
seperti
prostaglandin,
limfokin, 12
leukotrien,
bradikinin,
serotonin,
dan
interferon.
Penggunaan
Prednison (50 mg perhari selama 14 hari) berkaitan dengan perbaikan gejala pada rinosinusitis, perluasan penyakit pada MRI, reduksi ukuran polip, dan kadar protein kationik eosinofil (E), IL-5 dan IgE dalam sekret hidung. Tetapi steroid sistemik ini dapat menimbulkan efek samping yang bermakna, seperti sindroma Chusing. Sehingga, penggunaannya dalam jangka pendek maupun panjang harus dimonitor (Bachert et al., 2014; Hamilos, 2011; Puruckherr et al., 2002). Antibiotik Meskipun antibiotik masih merupakan terapi utama untuk rinosinusitis bakterial akut, perannya pada rinosinusitis kronik masih sangat kontroversial. Bakteri yang ditemukan pada rinosinusitis kronik berbeda dengan bakteri yang ditemukan pada penyakit bakteri akut dan apakah keberadaannya merupakan kausal atau komensal juga masih kontroversial (Bailey et al., 2014). Pasien dengan rinosinusitis kronik dianjurkan mendapat terapi antibiotik bila terdapat sekret mukopurulen yang persisten dan disebabkan oleh bakteri patogen, seperti Staphylococcus aureus, methicillin-resistant S aureus, atau basil gram negatif, seperti Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella oxytoca, Stenotrophomonas maltophilia atau bakteri patogen lainnya. Antibiotik diberikan sesuai analisis kultur dan sensitivitas memberikan hasil yang lebih sesuai dengan target patogen. Hal ini dapat diperoleh melalui endoskopi dengan aspirasi atau kultur swab (Hamilos, 2011). Terapi antibiotik dengan makrolid sistemik untuk jangka panjang telah dianjurkan sebagai terapi utama untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Makrolid memiliki efek anti inflamasi (selain efek anti infeksi) untuk menghambat migrasi, adesi dan kerja netrofil. Makrolid menurunkan inflamasi eosinofilik, meningkatkan transport mukosilier, dan mengurangi sekresi sel goblet. Hampir 20 penelitian yang
menyelediki
pengaruh
berbagai
makrolid
(eritromisin, 13
klaritromisin, dan roksitromisin) terhadap rinosinusitis kronik telah dipublikasikan, dengan laporan perbaikan gejala, penyusutan ukuran polip nasi, dan penurunan sitokin proinflamasi pada sekresi nasal (Fokkens et al., 2012). Amoxicillin-clavulanat, dengan dosis 500 mg 3 kali perhari atau 875 mg dua kali perhari atau 1000 mg tablet XR dua kali sehari, juga merupakan pilihan terapi yang baik untuk sebagian besar pasien rinosinusitis kronik. Sedangkan, pada pasien yang alergi penicillin, yang
tidak
termasuk
methicillin-resistant
S.aureus
(MRSA),
monoterapi dengan clindamycin (300 mg 4 kali perhari atau 450 mg 3 kali perhari) atau moxifloxacin (400 mg sekali perhari) dapat dipertimbangkan (Hamilos, 2011). Medikamentosa Penunjang Lainnya -
Dekongestan. Dekongestan sistemik (pseudoefedrin, fenilefrin) dapat
digunakan
sebagai
tatalaksana
rinosinusitis
kronik.
Dekongestan merupakan agonis α-adrenergik yang menginduksi sekresi norepinefrin dan menimbulkan vasokonstriksi kapiler mukosa hidung. Sehingga, akan terjadi penyusutan edema atau kongesti mukosa hidung (Suh dan Kennedy, 2011). -
Mukolitik. Penggunaan mukolitik seperti guaifenesin, bermanfaat dalam tatalaksana rinosinusitis kronik karena kemampuannya mengurangi produksi dan kekentalan mukus (Desrosiers et al., 2011).
-
Antihistamin.
Antihistamin,
terutama
bermanfaat
untuk
mengurangi gejala bersin dan rinore pada penderita rinosinusitis kronik yang disebabkan oleh alergi (Desrosiers et al., 2011). -
Imunoterapi. Masih sedikit data yang mengungkapkan kegunaan agen imunomodulator (misal interferon gamma) pada kasus rinosinusitis kronik.
-
Irigasi. Review Cochrane mengungkapkan bahwa irigasi dan spray dengan NaCl 1-4 kali setiap hari merupakan terapi penunjang yang 14
efektif untuk rinosinusitis kronik. Irigasi hidung menggunakan larutan fisiologis NaCl terbukti mampu melembabkan kavum nasi, meningkatkan klirens mukosilier, ihkan alergen dan iritan, menghilangkan sekret yang menebal, serta mengurangi post nasal drip. Irigasi dengan larutan fisiologis NaCl juga direkomendasikan setelah operasi sinonasal untuk mengurangi risiko adesi mukosa postoperasi serta mempercepat penyembuhan mukosa (Hauptman dan Ryan, 2007; Harvey et al., 2007 ). -
Humidifikasi. Pada kasus rinosinusitis kronik, kondisi mukosa hidung yang kering membuat transportasi mukosilier melambat dan mukus menebal. Humidifikasi, baik dengan uap hangat ataupun dingin, dapat membantu mengurangi gejala terkait rinosinusitis kronik (Puruckherr et al., 2002).
Tatalaksana Bedah Telah
diakui
bahwa
intervensi
tindakan
bedah
harus
dipertimbangkan apabila rinosinusitis kronik bersifat refrakter terhadap terapi medikamentosa yang telah diberikan. Selain itu, tindakan bedah juga diperlukan bila terdapat penyakit polip nasi simtomatik yang tidak dapat ditatalaksana dengan medikamentosa secara adekuat. Tetapi, terapi bedah ini tidak bermanfaat bila dilakukan sebagai tatalaksana tunggal pada pasien (Bachert et al., 2014; Fokkens et al., 2012; Suh dan Kennedy, 2011 ). Pada kasus rinosinusitis kronik dengan polip nasi, dimana pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi medikamentosa dan telah menjalani CT Scan sinus paranasal, tindakan bedah polipektomi perlu dipertimbangkan. Tatalaksana pemeliharaan pasca polipektomi dengan kortikosteroid intranasal atau topikal sangat direkomendasikan (Meltzer dan Hamilos, 2011). Tindakan Pembedahan Sinus dengan Metode Eksternal i. Sinus Maxilaris. Tindakan
bedah
sinus
maksilaris
dengan
metode 15
pendekatan eksternal yang sering digunakan adalah dengan teknik Caldwell-Luc (CWL). Teknik Cadwell-Luc ini merupakan antrotomi yang dilakukan melalui fossa canina dengan incisi pada sulcus ginggivobuccal. Tindakan ini mengeluarkan seluruh mukosa antrum sinus dan membuka jendela nasoantral melalu meatus nasi inferior. Salah satu kekurangan utama dari teknik ini adalah bahwa antrostomi meatus inferior tidak selalu diikuti dengan aliran klirens mukosilier yang normal, dan biasanya pertumbuhan mukosa antrum setelah tindakan ini tidak memiliki fungsi mukosilier yang adekuat (Snyderman Carl H et al., 2014). Prosedur CWL dapat dilakukan untuk kasus rinosinusitis kronik dengan polip antrokoana atau tumor benigna seperti papiloma dan angiofibroma juvenile. Selain itu, sinusitis maxilaris kronik yang tidak respon terhadap kombinasi obat, pembedahan endoskopi, dan metode terapi lainnya, juga menjadi salah satu indikasi prosedur CWL( Snyderman Carl H et al., 2014). ii. Sinus Sphenoidalis Penyakit sinus sphenoidalis sering muncul gejala nyeri kepala pada vertex, nyeri di belakang mata, dan post nasal drip. Tindakan bedah sinus sphenoidalis dengan metode eksternal yang banyak digunakan di berbagai institusi adalah dengan teknik transseptal. (Snyderman Carl H et al., 2014). iii. Sinus Ethmoidalis Ethmoidektomi eksternal pertama kali diungkapkan oleh Ferris Smith tahun 1933. Indikasi bedah sinus ethmoidalis yang tersering adalah infeksi dan obstruksi yang gagal merespon terapi medikamentosa.
Tindakan
ethmoidektomi
eksternal
ini
diindikasikan untuk pasien dengan sinusitis frontalis dan ethmoidalis dengan komplikasi, termasuk abses orbita dan periorbita. Tindakan ethmoidektomi eksternal dapat diperluas ke arah superior menuju sinus frontalis untuk melakukan tindakan 16
fronto-ethmoidektomi pada sinusitis frontalis Snyderman (Carl H et al., 2014). iv. Sinus Frontalis Penentuan prosedur bedah sinus frontalis eksternal harus direncanakan dengan sangat hati-hati dan terintegrasi. Metode eksternal ini dibutuhkan sebagai terapi tambahan untuk sinusitis frontalis akut, tatalaksana untuk fraktur, dan pada kasus kegagalan sinusotomi
frontal
dengan
endoskopi.
Beberapa
teknik
pembedahan sinus frontalis, antara lain Trepanasi, frontoethmoidektomi eksternal, sinusotomi frontal dengan atau tanpa flap osteoplastik, ablasi sinus frontalis, prosedur Lothrop, dan prosedur Lync (Snyderman Carl H et al., 2014). Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) pertama kali diperkenalkan dan digunakan oleh Messerklinger pada tahun 1978. Dengan menggunakan prosedur FESS, dokter ahli mampu mengetahui secara akurat adanya inflamasi spesifik pada mukosa, bahkan pada lokasi yang sulit, dan dapat melakukan terapi terhadap residu inflamasi tersebut hingga benar-benar pulih. Namun, prosedur ini membutuhkan kemampuan interpretasi dan ketepatan yang baik dalam menilai kondisi mukosa sinonasal (Snyderman Carl H et al., 2014). Functional Endoscopic Sinus Surgery disarankan secara luas sebagai intervensi bedah yang terstandar untuk rinosinusitis kronik karena morbiditas yang rendah dan angka keberhasilan yang tinggi daripada teknik pembedahan lainnya (Suh dan Kennedy, 2011). Sebuah tinjauan sistematis terhadap beberapa penelitian yang menyelidiki skor keparahan gejala untuk analisis kriteria rinosinusitis kronik pada orang dewasa menunjukkan bahwa FESS memberikan perbaikan gejala pada penderita rinosinusitis kronik, baik dengan polip nasi dan tanpa polip nasi (Chester et al., 2009).
17
Indikasi absolut FESS pada kasus rinosinusitis kronik, meliputi obstruksi hidung komplit yang disebabkan oleh poliposis masif, abses atau selulitis orbita yang tidak membaik dengan antibiotik intravena, komplikasi intrakranial, polip antrokoana berukuran besar, mucocele, dan rinosinusitis fungal . Sedangkan, indikasi relatif FESS yaitu rinosinusitis kronik dengan kejadian eksaserbasi berulang, meski telah mendapatkan terapi medikamentosa yang optimal (Hamilos, 2011; Bailey et al., 2014).
Gambar 2.3 Foto endoskopi cavum nasi yang menunjukkan adanya polip nasi (*) di sebelah anterior konka nasalis media (MT) disertai adanya mukus alergi (#). IT = konka nasalis inferior; S = Septum nasi (Suh dan Kennedy, 2011).
18
2 gejala: salah satunya obstruksi hidung atau sekret hidung ± nyeri frontal, nyeri kepala ± gangguan penciuman Pemeriksaan THT (termasuk endoskopi) Pertimbangkan CT scan; tes alergi Pertimbangkan diagnosis dan tatalaksana faktor komorbid, misal asma Ringan VAS 0-3 Endoskopi:Tak ada gangg.mukosa
Steroid topikal Irigasi hidung dg NaCl
Perbaikan gejala
Follow up+ Irigasi hidung dg NaCl Steroid topikal Pertimbangkan AB jangka panjang
Sedang/Berat VAS >3-10 Endoskopi: Ada gangg.mukosa
Tak ada perbaikan setelah 3 bulan
Steroid topikal Irigasi hidung dg NaCl Kultur Pertimbangkan antibiotik jangka panjang (jika IgE tidak meningkat)
CT scan
CT scan
Pertimbangkan operasi
Tak ada perbaikan
Pertimbangkan operasi
Follow up+steroid topikal Irigasi hidung dg NaCl + kultur Pertimbangkan AB jangka panjang
Gambar 2.4 Skema tatalaksana rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (Fokkens et al., 2012).
19
2 gejala: salah satunya obstruksi hidung atau sekret hidung ± nyeri frontal, nyeri kepala ± gangguan penciuman Pmx THT: endoskopi – ukuran polip Pertimbangkan CT scan Pertimbangkan diagnosis dan tatalaksana faktor komorbid Ringan VAS 0-3 Endoskopi:Tak ada gangguan mukosa
Spray teroid topikal
Ringan VAS >3-7 Endoskopi: ada ganguan mukosa
Sedang/Berat VAS >7-10 Endoskopi: Ada gangguan mukosa
Spray steroid topikal Pertimbangkan peningkatan dosis Pertimbangkan drops Pertimbangkan doxisiklin
Steroid topikal Steroid oral (jangka pendek)
Tinjau ulang setelah 3 bln Tak ada perbaikan
Perbaikan gejala
Tinjau ulang setelah 1 bln Perbaikan
Tak ada perbaikan CT Scan
Lanjutkan dengan steroid topikal
Follow up + Irigasi hidung dg NaCl + Steroid topikal ± oral ± AB jangka panjang
Operasi
Gambar 2.5 Skema tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip nasi (Fokkens et al., 2012). 8. Komplikasi Pada era pra antibiotik, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali membahayakan nyawa penderita. Namun, seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotik, hal tersebut dapat dihindari (Dutta dan Ghatak, 2013). Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus atau tulang, intrakranial dan komplikasi lainnya (Giannoni dan Weinberger, 2006). a. Komplikasi orbita : Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui sistem vena yang tidak berkatup. Kondisi 20
sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi pada orbita karena batas superior dari sinus maksila merupakan dasar dari kavum orbita. Ryan Chandler mengklasifikasikan komplikasi orbita dari rinosinusitis menjadi 5 kelompok, yaitu: selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus cavernosa. ( Giannoni Carla M, 2014;Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007) Tabel 2. Komplikasi orbita dari rinosinusitis kronis Komplikasi orbita Selulitis preseptal Selulitis orbita
Abses subperiosteal Abses orbita
Thrombosis sinus cavernosa
Temuan klinis Bengkak&eritema kelopak mata; otot ekstraokuler baik; visus normal Edema orbita yang lebih luas tanpa diskret abses; otot ekstraokuler baik; visus normal Abses di periorbita, dapat rupture dan muncul di kelopak mata; Proptosis; gangguan otot ekstraokuler Eksophtalmosis berat, chemosis, oftalmoplegia dan gangguan visus
Tatalaksana Terapi medikamentosa Terapi medikamentosa ± drainase sinus
Terapi medikamentosa ± drainase sinus ± drainase abses Terapi medikamentosa, drainase sinus, drainase abses Nyeri orbita bilateral, chemosis, Terapi medikamentosa, proptosis dan oftalmoplegia drainase sinus ± terapi antikoagulasi
Terapi medikamentosa utama dari komplikasi orbita adalah pemberian antibiotik spektrum luas melalui intravena (IV), diikuti dengan terapi oral. Pasien yang mendapat terapi medikamentosa harus diawasi terkait tanda-tanda komplikasi. Apabila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, tindakan bedah perlu dipertimbangkan. b. Komplikasi oseus atau tulang Osteomielitis os frontalis sering muncul sebagai komplikasi sinusitis frontalis, dikenal sebagai tumor Pott’s puffy. Adanya pengumpulan pus subperiosteal menimbulkan pembengkakan yang fluktuatif di dahi. Tatalaksana yang diberikan berupa antibiotik intravena, drainase abses, dan pengangkatan tulang yang terinfeksi. 21
c. Komplikasi intrakranial Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid dipisahkan dengan fossa kranii anterior hanya oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi juga terjadi melalui sistem vena karena hubungan vena yang kompleks dan tidak berkatup yang melalui area tersebut. Komplikasi rinosinusitis intrakranial meliputi meningitis, abses epidural, abses subdural, abses intraserebral, dan trombosis sinus vena. Gejala klinis meliputi keluhan sinonasal, seperti rinorhea purulen dan obstruksi hidung dengan demam dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, misal nyeri frontal atau retroorbita, mual dan muntah, penurunan kesadar atau edema papil. Komplikasi intrakranial ini dapat bersifat asimtomatik hingga timbul gejala yang berat, seperti kejang, hemiparesis dan gejala neurologi fokal lainnya. Tatalaksana utama terhadap komplikasi intrakranial adalah perawatan intensif dengan pemberian antibiotik spectrum luas secara IV yang memiliki penetrasi intraserebral yang baik serta tindakan bedah berupa drainase sinus yang terinfeksi, yang dilakukan dalam waktu 48 jam bila tidak ada perbaikan klinis pasien. d. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi, antara lain abses glandula lakrimalis, perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel, septikemia.(Giannoni dan Weinberger, 2006)
B. Methicillin-Resistant S. aureus (MRSA) Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri patogen aerob gram positif yang sangat penting, karena bakteri ini menimbulkan berbagai infeksi pada anak-anak dan orang dewasa, mulai dari selulitis, sinusitis, hingga endokarditis. Selain itu, juga karena tingkat virulensinya dan penggunaan antibiotik spektrum luas secara menyebar, S. aureus kini telah berkembang menjadi resisten terhadap berbagai antibiotik oral, topikal dan parenteral (Pugliese, 2009). 22
Methicillin-resistant S.aureus (MRSA) dalam beberapa tahun terakhir menjadi hal yang sangat penting karena meningkatnya prevalensi MRSA pada pasien sinusitis, baik akut maupun kronik. Infeksi MRSA sering dilaporkan berhubungan dengan prognosis pasien yang buruk bila dibandingkan dengan infeksi yang disebabkan oleh Methicillin-sensitive S.aureus (MSSA) (Pugliese, 2009). Beberapa studi meneliti tentang bakteri patogen yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik. Dan bakteri patogen yang dominan dalam kasus rinosinusitis kronik, antara lain Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan bakteri gram negatif anaerob. Sebuah penelitian terhadap kasus sinusitis maxilaris menemukan bahwa dari 23 pasien sinusitis kronik dengan isolasi bakteri S.aureus, 14 (61%) di antaranya adalah MRSA (Brook et al., 2008). Penelitian lain menunjukkan prevalensi MRSA di antara seluruh isolasi kultur kasus rinosinusitis akut berkisar antara 1-15,9%. Sedangkan, untuk kasus rinosinusitis kronik berkisar antara 1,8-20,7% (Mc Coul et al., 2012; Brook, 2011). Pada pengobatan rinosinusitis kronik dengan bakteri MRSA, antibiotik vankomisin masih merupakan pilihan yang sering digunakan. Antibiotik ini telah digunakan secara klinis selama lebih dari 50 tahun. Vankomisin merupakan sebuah glikopeptida yang beraksi melawan bakteri patogen grampositif dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis vankomisin yang diberikan yaitu 1 gram atau 15 mg/kgBB secara intravena dan diulang setiap 12 jam (Holmes et al., 2015). Antibiotik lain yang dapat diberikan untuk MRSA, yaitu golongan lipoglikopeptida,
misalnya
oritavancin,
telavancin,
dan
dalbavancin.
Antibiotik ini merupakan lipoglikopeptida semisintetis yang analog dengan vankomisin. Lipoglikopeptida ini mengandung inti heptapeptida yang mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri. Oritavancin dan telavancin juga mampu merusak fungsi pertahanan membrane sel bakteri S.aureus. Ketiga obat tersebut juga memiliki aktivitas melawan vancomycin-resistant S.aureus (VRSA) (Holmes et al., 2015). 23
Daptomycin merupakan kelas antibiotik lipopeptida siklik terbaru yang pertama kali diresmikan untuk manusia tahun 2003. Mekanisme kerja antibiotik ini mampu menghentikan aktivitas DNA, RNA, dan sintesis protein oleh bakteri yang mengakibatkan kematian sel bakteri. Daptomycin bersifat aktif melawan MRSA dan VRSA, dan digunakan untuk terapi pada pasien yang gagal menggunakan terapi vankomisin. Dosis terapi yang diberikan untuk tatalaksana MRSA pada kasus sinusitis adalah 4 mg/kg BB per hari secara intravena. Pada kasus bakteremia komplikata, dosis dapat dinaikkan hingga 8-10 mg/kg BB. (Pugliese, 2009) Golongan sefalosporin anti-MRSA saat ini sedang banyak dieksplorasi terkait perannya melawan bakteri MRSA. Golongan sefalosporin anti-MRSA, seperti ceftaroline dan ceftobiprole, memiliki afinitas terhadap protein pengikat-penisilin PBP2a, yang memberikan hasil menjanjikan dalam tatalaksana MRSA. Ceftaroline merupakan agen antibiotik yang sangat aktif melawan bakteri MSSA maupun MRSA , dan bahkan daptomycin nonsusceptible S.aureus. Dosis terapi ceftaroline yang disarankan adalah 600 mg setiap 8 jam. Sementara, ceftabiprole merupakan golongan sefalosporin anti-MRSA dengan aktivitas spectrum yang lebih luas daripada ceftaroline. Ceftabiprole diberikan secara intravena dengan dosis terapi 500 mg dan dapat diulang setiap 8-12 jam (Holmes et al., 2015). Antibiotik golongan oxazolidinone, seperti linezolid dan tedizolid, juga aktif melawan bakteri MRSA dengan cara mencegah pembentukan kompleks inisiasi 70S sehingga menghambat sintesis protein bakteri. Linezolid sebagai terapi MRSA dapat diberikan secara oral atau intravena dengan dosis 600 mg setiap 12 jam. Tedizolid merupakan golongan oxazolidinone terbaru yang memiliki efikasi dan bioavalibilitas lebih baik daripada linezolid, dengan toksisitas yang lebih rendah. Potensi aksi tedizolid 4-16 lipat lebih besar daripada linezolid dan diberikan 200 mg satu kali dalam satu hari (Holmes et al., 2015).
24
25
BAB III LAPORAN KASUS
Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 47 tahun, dengan nomor rekam medis 013133xx, alamat Jumok, Nguter, Sukoharjo yang datang ke Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 5 Oktober 2015. Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluhkan hidung tersumbat sejak ±3 bulan yang lalu, hidung tersumbat kanan dan kiri, hilang timbul, cairan kental dan berbau, lendir mengalir di tenggorok (+), bersin-bersin pagi hari lebih dari 4 kali (-), mimisan (-), penciuman menurun (+), gigi rahang atas kiri berlubang (+), tetapi sudah dicabut 1 bulan yang lalu di rumah sakit luar. Keluhan disertai dengan rasa nyeri di wajah dan juga nyeri kepala. Nyeri tenggorokan (-). Tidak ada keluhan telinga. Sekitar 1 bulan yang lalu, kelopak mata kiri mulai bengkak, semakin hari semakin membengkak dan terasa nyeri, demam (-). Pasien saat itu menjalani perawatan di rumah sakit sukoharjo dan mendapat penanganan oleh dokter spesialis mata dan THT. Namun, setelah satu minggu menjalani perawatan belum ada perbaikan gejala yang dirasakan pasien, sehingga pasien dirujuk ke RSUD Dr.Moewardi. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat hipertensi disangkal, riwayat sakit gula disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat mondok (+) 1 bulan yang lalu selama 1 minggu di RS sukoharjo karena keluhan serupa, riwayat kebiasaan merokok (+), riwayat pekerjaan sebagai petani Pada pemeriksaan fisik: Keadaan umum pasien compos mentis, tampak baik, status gizi kesan cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, respirasi rate 18 kali per menit, suhu 36,60C. Pemeriksaan THT: Pemeriksaan auris dekstra-sinistra: liang telinga lapang, serumen (-), discharge (-), membran timpani intak, reflek cahaya (+). Hidung dekstra: cavum nasi dekstra lapang, discharge (+) purulen, konka inferior eutrofi, deviasi septum (+); Hidung sinistra: cavum nasi sinistra lapang, discharge (+) purulen, konka inferior eutrofi, deviasi septum (-). Pemeriksaan tenggorokan:
uvula di tengah, tonsil T1-T1, dinding faring posterior tenang, lendir mengalir di dinding faring posterior (+). Diagnosis sementara: Rinosinusitis kronis dengan komplikasi abses periorbita sinistra, Septum deviasi dextra
Gambar 3.1 Tampak kelopak mata kiri mengeluarkan pus Pasien
kemudian menjalani rawat inap di bangsal RSUD Dr.Moewardi
dengan terapi IVFD Ringer Laktat 20 tpm, injeksi levofloxacin 200 mg/24 jam, injeksi metilprednisolon 62,5 mg/12 jam, injeksi ranitidine 1 ampul/12 jam, infus metronidazol 500 mg/8 jam. Pasien mendapat tindakan nasal washing setiap hari di bangsal. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk persiapan tindakan nasoendoskopi di bangsal. Pasien juga dikonsultasikan ke bagian Mata untuk tatalaksana abses palpebra sinistra, dan ke bagian Kardiologi untuk kontraindikasi tindakan nasoendoskopi Pemeriksaan Penunjang: Hasil pemeriksaan laboratorium darah (5 Oktober 2015):
Hemoglobin:
14.2
mg/dl,
hematokrit:42%,
leukosit:10.3
trombosit:280 ribu/ul, eritrosit: 4.37 juta/ul, PT: 12,4 detik, APTT:29,0
ribu/ul, detik,
INR:0.950, GDS: 159 mg/dl, SGOT: 20 u/l, SGPT: 29 u/l, Albumin: 3.9 g/dl, Ureum: 30 mg/dl, Kreatinin: 0.8 mg/dl, Natrium: 139 mmol/L, Kalium: 4.1 mmol/L, Chlorida: 107 mmol/L, HbsAg: non reactive. Hasil konsultasi dengan Ahli Mata tanggal 5 Oktober 2015, visus OD 3/6 dan visus OS 3/6; iris, lensa, pupil, badan lensa anterior, dan retina nomal; kesimpulan: ODS miopia, presbiopia. Terapi abses palpebra superior sinistra mengikuti dari bagian THT-KL, tidak ada tindakan/tatalaksana khusus terhadap 26
pasien. Sedangkan hasil konsultasi dengan bagian Kardiologi terkait persiapan tindakan nasoendoskopi, yaitu cor compensata, tak ada kontraindikasi dari bagian kardiologi, toleransi tindakan risiko ringan.
Gambar 3.2 Hasil CT-Scan sinus paranasal (potongan aksial)
Hasil CT-Scan sinus paranasal (potongan aksial)
Hasil CT-Scan sinus paranasal (potongan coronal) Pasien telah menjalani pemeriksaan radiologi CT Scan sinus paranasal sebelumnya (14 September 2015) dengan hasil pemeriksaan, yaitu sinusitis ethmoidalis dekstra dan sinusitis maxilaris bilateral, sphenoidalis bilateral; deviasi septum nasi ke kanan derajat dua. Sedangkan, hasil pemeriksaan kultur spesimen yang didapat dari hidung menunjukkan adanya bakteri Staphylococcus aureus dengan MRSA (+). Pasien kemudian dikonsultasikan ke bagian Penyakit dalam tanggal 5 Oktober 2015 dan disarankan untuk mengganti terapi antibiotik menjadi injeksi vankomisin 500 mg/12 jam. Tanggal 6 Oktober 2015, pasien mengeluh terkadang hidung tersumbat, bengkak di mata sudah berkurang tetapi nanah masih keluar dari kelopak mata kiri 27
bagian atas. Terapi : nasal toilet 2x/hari, IVFD Ringer laktat 20 tpm, injeksi vankomisin 500 mg/12 jam, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam, infus metronidazol 500 mg/8 jam, injeksi metilprednisolon 62,5 mg/12 jam dan peroral ambroxol 3x30 mg dan pseudoefedrin 2x1 tablet. Tanggal 8 Oktober 2015 pasien menjalani tindakan nasoendoskopi di poliklinik THT-KL. Dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi, didapatkan kesan septum deviasi ke kanan dan discharge mukopurulen di meatus media cavum nasi dextra et sinistra. Setelah menjalani nasoendoskopi, pasien direncanakan untuk menjalani operasi CWL+SR+FESS pada tanggal 13 Oktober 2015.
Gambar 3.3 Hasil nasoendoskopi pasien tanggal 8 Oktober 2015 Tanggal 9 Oktober 2015, pasien menjalani pemeriksaan radiologi rontgen thorax PA dengan hasil Cor dan Pulmo tak tampak kelainan. Pasien dikonsultasikan ke bagian kardiologi untuk kontraindikasi tindakan operasi CWL. Hasil konsultasi cor compensated, toleransi tindakan risiko sedang. Tanggal 12 Oktober 2015, pasien dikonsultasikan ke bagian Anestesi untuk persiapan operasi CWL+SR+FESS, dan setuju untuk tatalaksana anestesi dengan general anestesi ASA I. Tanggal 13 Oktober 2015 pasien menjalani operasi SR+FESS+ CWL. Pasien berbaring dalam anestesi umum kemudian dilakukan tindakan aseptik serta antiseptik pada medan operasi. Dilakukan tampon adrenalin dan kemudian dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin 1: 100.000, bevel jarum suntik diarahkan ke tip septum, tepat di bawah septum. Suntikan dilakukan secara perlahan-lahan dengan tekanan yang tetap sehingga mukosa terangkat dari lapisan kartilago, suntikan dilanjutkan ke bagian cekung atau cembung septum untuk mengangkat lapisan ini, kemudian suntikan dilakukan sejauh mungkin dan ke arah posterior dan suntikan dilakukan pada kedua sisi. Dilakukan incisi hemitransfiksi 28
di atas kartilago septum bagian kaudal, kemudian dilakukan pemotongan septum nasi yang deviasi dan incisi hemitransfiksi dijahit. Tindakan dilanjutkan dengan FESS, dengan nasoendoscopi dilakukan uncinectomi kiri dan kanan sampai terlihat muara sinus maxilaris kiri-kanan dan tampak sekret, kemudian dibersihkan dan dibilas dengan NaCl 0,9% +betadin dilanjutkan dengan cuci dengan antibiotika, kemudian dilanjutkan dengan etmoidektomi, tampak pus kemudian dibersihkan, selanjutnya dipasang tampon etmoid dan tampon kondom di kavum nasi dextra-sinistra, kemudian dilakukan tindakan Caldwell-Luc (CWL) yang diawali dengan infiltrasi pada sulcus ginggivobuccal. Dilakukan incisi tajam pada sulcus ginggivobuccal dan diseksi secara tumpul hingga tampak fossa canina. Dilakukan pelubangan dengan cara tatah sampai antrum sinus maxilaris sehingga discharge bisa dialirkan dan jaringan patologis dibersihkan dengan NaCl 0,9% dan bethadine dan dibilas dengan cairan antibiotik dan dilakukan tampon kassa gulung+betadin+salf AB. Operasi selesai.
Gambar 3.4 Prosedur pemasangan tampon (kiri atas), operasi reseksi septum (kanan atas) dan FESS (bawah) pada pasien 29
Gambar 3.5 Prosedur operasi CWL pada pasien
Instruksi pasca operasi: awasi keadaan umum, vital sign dan tanda perdarahan, diet bubur diberikan pasca operasi bila sadar penuh. Terapi yang diberikan pasca operasi, antara lain: IVFD Ringer laktat 20 tpm, injeksi asam traneksamat 500 mg/12 jam, injeksi vankomisin 500 mg/12 jam, injeksi ketorolac 30 mg/12 jam, injeksi metronidazol 500 mg/8 jam, injeksi metilprednisolon 62,5 mg/12 jam, dan injeksi ranitidin 50 mg/12 jam. Tanggal 15 Oktober 2015, pasien tidak mengeluh pusing, nyeri pada lokasi operasi sudah berkurang. Pasien menjalani medikasi dan pelepasan tampon hidung di poliklinik THT-KL. Setelah tampon hidung dilepas, dilanjutkan pelepasan tampon ginggivobuccal, dilakukan penilaian pada luka operasi di sulcus ginggivobuccal. Tidak tampak adanya pus, darah, maupun dehisensi jahitan, pus di palpebra superior sinistra minimal. Tanggal 16 Oktober 2015, pasien diperbolehkan pulang dengan terapi pulang Levofloxacin 1x500mg, metronidazol 3x500 mg, metilprednisolon 2x4 30
mg, asam mefenamat 3x500 mg, ranitidin 2x150 mg, serta NaCl spray. Pasien dijadwalkan untuk kontrol post opname di poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi tanggal 19 Oktober 2015. Saat kontrol di poliklinik tanggal 19 Oktober 2015, pasien sudah tidak mengeluhkan hidung tersumbat. Kelopak mata tidak bengkak dan tidak terdapat nanah yang keluar dari kelopak mata. Nyeri pada luka bekas operasi (+). Dalam pemeriksaan fisik hidung, cavum nasi dextra et sinistra lapang, mukosa hiperemis (+), discharge (+), septum deviasi (-). Pasien kemudian mendapatkan terapi levofloxacin 1x500 mg, metronidazol 3x500 mg, dan asam mefenamat 3x500 mg.
31
32
BAB IV PEMBAHASAN
Dilaporkan sebuah kasus, seorang laki-laki berusia 47 tahun yang datang ke poliklinik THT-KL RSUD Dr.Moewardi dengan keluhan hidung tersumbat sejak ±3 bulan yang lalu. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat kanan dan kiri, cairan yang keluar kental dan berbau. Pasien juga mengeluh kemampuan penciumannya menurun. Keluhan juga disertai dengan rasa nyeri di wajah dan nyeri kepala, serta terasa lendir mengalir di tenggorokan. Sekitar 1 bulan yang lalu, kelopak mata kiri mulai bengkak, semakin hari semakin membengkak dan terasa nyeri. Pasien sudah menjalani perawatan di rumah sakit luar selama satu minggu, tetapi belum ada perbaikan. Pasien sebelumnya mempunyai keluhan gigi yang berlubang tetapi sudah dicabut di rumah sakit luar 1 bulan yang lalu. Pasien memiliki kebiasaan merokok. Saat pemeriksaan lokal THT pada bagian hidung didapatkan adanya sekret purulen di kedua cavum nasi serta adanya septum deviasi. Sedangkan, pada pemeriksaan tenggorokan tampak terdapat lendir yang mengalir di dinding posterior faring. Pada regio palpebra superior sinistra, tampak adanya lesi kemerahan, bengkak, dan terdapat pus (+). Pasien kemudian didiagnosis sementara sebagai Rinosinusitis kronik dengan komplikasi abses periorbita sinisra dan septum deviasi dextra. Sesuai dengan panduan EPOS, terdapat empat tanda dan gejala khas dari rinosinusitis kronik, yaitu hidung buntu, sekret hidung (berupa anterior/posterior nasal drip), nyeri pada wajah, dan penurunan atau hilangnya daya penciuman. Sedikitnya dua atau lebih gejala tersebut harus berlangsung selama dua belas minggu atau lebih (Fokkens et al., 2012). Pasien ini telah memenuhi kriteria diagnosis rinosinusitis kronik menurut EPOS, yaitu keluhan utama hidung tersumbat terdapat sekret hidung, disertai gejala nyeri pada wajah dan menurunnya daya penciuman. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). Dan keluhan kurang lebih sudah 3 bulan sudah menunjukkan kronisitas sesuai teori bahwa apabila gejala rinosinusitis tersebut berlangsung selama lebih dari 12
minggu tanpa adanya perbaikan gejala, selanjutnya disebut sebagai rinosinusitis kronik (Fokkens et al., 2012) Adanya keluhan bengkak pada kelopak mata kiri juga diduga berkaitan dengan kondisi rinosinusitis kronik pasien. Pada kasus dimana terdapat peradangan pada mukosa sinus maxilaris sering menimbulkan komplikasi pada orbita karena batas superior dari sinus maxillaris merupakan dasar dari cavum orbita, hal ini sesuai teori di mana infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau melalui sistem vena yang tidak berkatup. Kondisi sinusitis maksilaris dapat menimbulkan komplikasi pada orbita karena batas superior dari sinus maksila merupakan dasar dari kavum orbita. Ryan Chandler mengklasifikasikan komplikasi orbita dari rinosinusitis menjadi 5 kelompok, yaitu: selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan thrombosis sinus cavernosa. (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007) Pasien ini mempunyai riwayat gigi ke 5 dan 6 kiri atas berlubang dan sudah diangkat kurang lebih 1 bulan sebelumnya, hal ini sesuai teori dimana salah satu faktor struktural yang juga sering mengakibatkan rinosinusitis kronik adalah penyakit pada gigi. Perlu diketahui, gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan kedua tumbuh berdekatan dengan dasar sinus, bahkan terkadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe.( Patel Zarra M et al., 2014) Dari hasil pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan kesan septum deviasi ke kanan dan discharge mukopurulen di meatus media cavum nasi dextra et sinistra, tidak tampak adanya polip nasi. Sehingga, selanjutnya pasien ini dapat dikategorikan sebagai subtipe rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Adanya deviasi septum pada kasus ini dapat menjadi salah satu predisposisi yang mempengaruhi terjadinya rinosinusitis kronik dan riwayat gigi rahang atas kiri berlubang dan kebiasaan merokok. Seperti dijelaskan oleh Patel Zarra M et al. (2014), adanya kelainan faktor struktural, seperti deviasi septum, dapat menimbulkan gangguan patensi jalur drainase sinus yang berakibat stagnansi mukus dan obstruksi KOM. Sehingga, berisiko akan terjadinya rinosinusitis. 33
Ditambah lagi, adanya kebiasaan pasien merokok juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya rinosinusitis kronik. Asap rokok dapat menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular primer sehingga menimbulkan gangguan klirens mukosilier (Jackman dan Kennedy, 2006) Pemeriksaan kultur dan resistensi antibiotik juga dilakukan pada pasien ini dengan mengambil sampel sekret saat nasoendoskopi. Untuk pemeriksaan kultur dan sensitivitas antibiotik dilakukan swab dari pus yang keluar dari palpebra sinistra superior dan memberikan hasil : kuman staphylococcus aureus dengan MRSA (+) dengan hasil sensitivitas obat: levofloxacin (I), vancomysin (S), erythromysin (S), clindamycin (S), trimethoprim (S), tetracyclin (S), sedangkan obat lainnya resisten. Kemudian dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan saran antibiotik diganti vancomycin 500mg/12 jam. Hal ini sesuai teori di mana menurut panduan EPOS, pemeriksaan kultur spesimen dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pemeriksaan jika terdapat kegagalan terapi atau komplikasi penyakit. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk identifikasi organisme kausatif pada beberapa kasus rinosinusitis kronik (Meltzer dan Hamilos, 2011) Pada pengobatan rinosinusitis kronik dengan bakteri MRSA, antibiotik vankomisin masih merupakan pilihan yang sering digunakan. Antibiotik ini telah digunakan secara klinis selama lebih dari 50 tahun. Vankomisin merupakan sebuah glikopeptida yang beraksi melawan bakteri patogen grampositif dengan cara menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dosis vankomisin yang diberikan yaitu 1 gram atau 15 mg/kgBB secara intravena dan diulang setiap 12 jam (Holmes et al., 2015). Pemeriksaan penunjang lainnya pada pasien ini adalah pemeriksaan radiologi dengan CT Scan sinus paranasal. Hasil pemeriksaan CT Scan sinus paranasal pada pasien ini, yaitu sinusitis ethmoidalis dekstra, sinusitis maxilaris dan sphenoidalis bilateral, deviasi septum nasi ke kanan derajat dua. CT Scan sinus paranasal bermanfaat dalam identifikasi abnormalitas struktur pada sinus, adanya erosi tulang, atau keterlibatan jaringan ekstrasinus (Meltzer dan Hamilos, 2011).
34
Pasien dalam kasus ini kemudian menjalani rawat inap di bangsal RSUD Dr.Moewardi dengan terapi IVFD Ringer Laktat 20 tpm, injeksi levofloxacin 200 mg/24 jam (skin tes), injeksi metilprednisolon 62,5 mg/12 jam, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam, infus metronidazol 500 mg/8 jam. Pasien mendapat tindakan nasal washing setiap hari di bangsal. Pasien direncanakan untuk pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk persiapan tindakan nasoendoskopi di bangsal. Dan setelah ada hasil kultur antibiotik diganti injeksi vancomycin 500mg/12 jam. Pasien dalam kasus ini mendapat terapi inisial dengan obat steroid sistemik, yaitu injeksi metilprednisolon 62,5 mg/12 jam. Meskipun kortikosteroid intranasal
merupakan
terapi
standar
untuk
kasus
rinosinusitis
kronik,
kortikosteroid oral atau sistemik juga sering digunakan untuk kondisi eksaserbasi penyakit
karena steroid sistemik mampu mengurangi ukuran polip. Namun,
penggunaan
steroid
sistemik
dalam
kasus
rinosinusitis
kronik
harus
mempertimbangkan efek samping obat tersebut (Vaidyanathan et al., 2011). Pasien juga mendapatkan terapi antibiotik metronidazol 500 mg setiap 8 jam. Hal ini untuk mengatasi kemungkinan keterlibatan bakteri anaerob karena peran bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada berbagai studi yang dilakukan oleh Nord pada tahun 1995. Sebagai terapi medikamentosa penunjang, pasien mendapat ambroxol 3x30 mg per oral dan pseudoefedrin 2x1 tab per oral. Penggunaan psedoefedrin yang merupakan dekongestan memang dapat digunakan sebagai tatalaksana rinosinusitis kronik. Dekongestan menimbulkan efek penyusutan edema atau kongesti mukosa hidung (Suh dan Kennedy, 2011). Penggunaan mukolitik, seperti ambroxol,
bermanfaat
dalam
tatalaksana
rinosinusitis
kronik
karena
kemampuannya mengurangi produksi dan kekentalan mukus (Desrosiers et al., 2011). Pasien juga menjalani tindakan nasal washing setiap hari selama perawatan. Irigasi hidung menggunakan larutan fisiologis NaCl terbukti efektif sebagai terapi penunjang pada kasus rinosinusitis kronik. Irigasi mampu melembabkan cavum nasi, meningkatkan klirens mukosilier, ihkan
35
alergen dan iritan, menghilangkan sekret yang menebal, serta mengurangi post nasal drip (Hamilos, 2011). Tindakan bedah dapat dipertimbangkan sebagai terapi penunjang untuk terapi medikamentosa rinosinusitis kronik (Bachert et al., 2014). Salah satu indikasi prosedur pembedahan pada rinosinusitis kronik adalah kondisi rinosinusitis kronik yang tidak respon terhadap kombinasi obat, pembedahan endoskopi, dan metode terapi lainnya atau pada kasus yang disertai dengan abses atau selulitis orbita yang tidak membaik dengan terapi intravena (Hamilos, 2011; Bailey et al., 2014). Hal serupa dialami pasien, meski telah menjalani perawatan selama sekitar 7 hari dan mendapatkan terapi secara intravena, keluhan hidung masih dirasakan dan lesi di kelopak mata kiri masih mengeluarkan pus. Sehingga, pasien direncanakan untuk menjalani operasi reseksi septum, dilanjutkan dengan FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) dan operasi sinus maxilaris dengan teknik CWL (Caldwell-Luc). Tindakan reseksi septum dilakukan sebagai koreksi atas septum deviasi atas indikasi adanya gangguan fungsi saluran pernapasan dan obstruksi hidung. Tindakan ini bertujuan untuk menurunkan predisposisi terjadinya kondisi rinosinusitis berulang akibat gangguan faktor struktural pada hidung. Sedangkan, FESS disarankan secara luas sebagai intervensi bedah yang terstandar untuk rinosinusitis kronik karena morbiditas yang rendah dan angka keberhasilan yang tinggi daripada teknik pembedahan lainnya (Suh dan Kennedy, 2011). Metaanalisis tentang penelitian terhadap FESS pada kasus rinosinusitis kronik melaporkan perbaikan gejala dan peningkatan kualitas hidup (Desrosiers et al., 2011). Namun prosedur bedah ini membutuhkan ketepatan, keahlian serta kemampuan interpretasi penggunanya dalam menilai kondisi mukosa sinonasal (Bailey et al., 2014). Tindakan bedah sinus maksilaris dengan teknik Caldwell-Luc (CWL) merupakan metode pendekatan eksternal yang sering digunakan untuk kasus sinusitis maksilaris. (Bailey et al., 2014).
36
37
BAB IV SIMPULAN
Rinosinusitis kronik pada orang dewasa didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan empat gejala, yaitu hidung buntu, sekret hidung baik anterior maupun posterior, rasa nyeri pada wajah, dan penurunan atau hilangnya daya penciuman, dengan minimal dua atau lebih gejala
dan yang berlangsung setidaknya selama 12
minggu. Methicillin-resistant S.aureus (MRSA) dalam beberapa tahun terakhir menjadi hal yang sangat penting karena meningkatnya prevalensi MRSA pada pasien sinusitis, baik akut maupun kronik. Infeksi MRSA sering berhubungan dengan prognosis pasien yang buruk pada kasus rinosinusitis kronis. Diagnosis rinosinusitis kronik dapat didukung oleh pemeriksaan penunjang endoskopi, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus medius dan atau edema mukosa primer pada meatus medium. Atau menggunakan CT Scan yang menunjukkan perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus paranasal. Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam penanganan rinosinusitis kronik, yakni bermanfaat dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita serta memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada pengobatan rinosinusitis kronik dengan bakteri MRSA, antibiotik vankomisin masih merupakan pilihan yang sering digunakan. Tindakan bedah dapat dipertimbangkan sebagai
terapi
penunjang
untuk
terapi
medikamentosa
rinosinusitis kronik, tetapi bukan sebagai terapi standar yang berdiri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Al-Mutairi D, Kilty SJ. 2011. Bacterial biofilms and the pathophysiology of chronic rinosinusitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 11:18–23. Arivalagan P, Rambe A. 2013. Gambaran rinosinusitis kronik di RSUP haji adam malik pada tahun 2011. E-Jurnal FK-USU. 1(1): 1-6. Bachert C, Pawankar R, Zang L, Bunnag C, Fokkens WJ, Hamilos DL, et al. 2014. ICON: chronic rinosinusitis. WAO Journal. 7(25): 1-28. Bernstein JM. 2006. Chronic rinosinusitis with and without nasal polyposis.. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis: 371-398. Boyce JM. 1998. Diagnosis and treatment of serious antimicrobial-resistant Staphylococcus aureus infection. Clin Updates in Infectious Dis. 4(4): 1-4. Brook I, Foote PA, Hausfeld JN. 2008. Increase in te frequency of recovery of methicillin-resistant Staphylococcus aureus in acute and chronic maxillary sinusitis. J Med Microbiol. 57: 1015-1017. Brook I. 2011. Microbiology of sinusitis. Proceedings of the American Thoracic Society. 8(1) : 90-100. Chester AC, Antisdel JL, Sindwani R. 2009. Symptom-specific outcomes of endoscopic sinus surgery: a systematic review. Otolaryngol Head Neck Surg. 140(5): 633–639. Desrosiers M, Evans GA, Keith PK, Wright ED, Kaplan A, Bouchard J. 2011. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 7(2): 1-38. Dorland N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC. Dutta M,Ghatak S. 2013. Acute exacerbation of chronic rinosinusitis (AECRS) with orbital complications in an atrophic rhinitis patient: a mere coincidence?. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 7(12): 29732975. Fokkens W, Lund V, Mullol J, Bachert C, Cohen N, Cobo R, et al. 2007. European position paper on rinosinusitis and nasal polyps. Rhinology. 45(suppl 20): 1-139. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. 2012. EPOS 2012: european position paper on rinosinusitis and nasal polyps, A summary for otorhinolaryngologists. Rhinology. 50: 1-12. 38
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. 2012. European position paper on rinosinusitis and nasal polyps. Rhinol Suppl. 23: 1-298. Giannoni Carla M. 2014. Complication of rhinosinusiti. In Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology, Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams & Wilkins. Gosepath J, Mann WJ. 2005. Current concepts in therapy of chronic rinosinusitis and nasal polyposis. ORL. 67: 125-136. Hamilos DL. 2000. Chronic sinusitis. Current Reviews of Allergy and Clinical Immunology. 106: 213-226. Hamilos DL. 2011. Chronic rinosinusitis: epidemiology management. J Allergy Clin Immunol. 128(4): 693-707.
and
medical
Harvey R, Hannan SA, Badia L, Scadding G. 2007. Nasal saline irrigations for the symptoms of chronic rinosinusitis. Cochr Database Syst Rev. 18(3). Hauptman G, Ryan MW. 2007. The effect of saline solutions on nasal patency and mucociliary clearance in rinosinusitis patients. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 137: 815-821. Holmes NE, Tong SYC, Davis JS, van Hal SJ. 2015. Treatment of methicillinresistant Staphylococcus aureus. Semin Respir Crit Care Med. 36 (1): 1730. Huvenne W, Hellings PW, Bachert C. 2008. Role of staphylococcal superantigens in upper airway disease. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 8:34–38. Jackman AH, Kennedy DW. 2006. Pathophysiology of sinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis: 109-129. Kountakis SE, Jacobs JB, Gosepat J. 2009. Revision Sinus Surgery. Berlin: Springer. Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. McCoul ED, Jourdy DN, Schaberg MR, Anand VK. 2012. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus sinusitis in nonhospitalized patients: a systematic 39
review of prevalence and treatment outcomes. Laryngoscope. 122(10): 2125-2131. Meltzer EO, Hamilos DL. 2011. Rinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 86(5): 427-443. Multazar A, Nursiah S, Rambe A, Harahap IS. 2012. Ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) pada penderita rinosinusitis kronik. ORLI. 42(2): 96-103. Netter FH. 2014. Atlas of Human Anatomy, Sixth Edition. Elsevier. Ocampo CJ, Grammer LC. 2013. Chronic rinosinusitis. J Allergy Clin Immunol. 1(3): 205-211. Patel Zara M. 2014. Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology, Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams & Wilkins. Prince AA, Steiger JD, Khalid AN, Dogrhamji L, Reger C, Eau Claire S, et al. 2008. Prevalence of biofilm-forming bacteria in chronic rinosinusitis. Am J Rhinol . 22: 239–245. Pugliese A. 2009. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus and chronic sinusitis. The Internet Journal of Infectious Disease. 9(1): 1-4. Puruckherr M, Byrd R, Roy T, Guhakrishnaswamy. 2002. The diagnosis and management of chronic rinosinusitis. Priory Medical Journals. Rosenfeld RM, Andes D, Bhattacharyya N, et al. 2007. Clinical practice guideline: adult sinusitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 137 (3, suppl): S1S31 Shah DR, Salamone FN, Tami TA. 2008. Acute & chronic rinosinusitis. In Lalwani AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck surgery. New York: Mc Graw Hill: 273-281. Siswantoro. 2004. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga. Snyderman Carla H. 2014. Bailey’s Head & Neck Surgery-Otolaryngology, Edisi ke-5. Philladelphia: Lippincot Williams & Wilkins Suh JD, Cohen NA, Palmer JN. 2010. Biofilms in chronic rinosinusitis. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. 18:27–31. 40
Suh JD, Kennedy DW. 2011. Treatment options for chronic rinosinusitis. Proceedings of the American Thoracic Society. 8: 132-140. Vaidyanathan S, Barnes M, Williamson P, Hopkinson P, Donnan PT, Lipworth B. 2011. Treatment of chronic rinosinusitis with nasal polyposis with oral steroids followed by topical steroids: a randomized trial. Ann Intern Med. 154: 293-302.
41