BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anisokor adalah ukuran pupil yang berbeda. Pupil adalah daerah hitam di tengah iris. Pupil memungkinkan cahaya memasuki mata yang dalam kondisi cahaya redup pupil akan melebar dan dalam kondisi cahaya terang pupil akan mengecil.1 Insiden dan prevalensi anisokor tergantung dari patofisiologi dan populasi. Kehadiran anisokor fisiologis telah diperkirakan 20% dari populasi normal, sehingga perbedaan mungkin diharapkan dalam 1 dari 5 pasien. Angka kematian dan morbiditas anisokor tergantung pada patofisiologi.2 Ada empat penyebab dari anisokor : 1. Kegagalan persarafan parasimpatis yang menyebabkan pupil yang relatif dilatasi akan bereaksi lambat terhadapat cahaya langsung. 2. Sindrom Horner yang dapat menyebabkan anisokor di mana pupil yang terkena akan lebih kecil. Ptosis biasanya hadir tapi selalu ringan (2 mm atau kurang). 3. Blokade kimia. Jika parasympatholytic (atropin) bahan kimia bersentuhan dengan konjungtiva secara disengaja, akan menonaktifkan otot sfingter iris. Hal ini terjadi paling sering terjadi karena terkena tanaman yang mengandung atropine. 4. Kerusakan sfingter iris yang disebabkan karena peradangan dan trauma dan membuat pupil berbeda bentuk, dan dalam pemeriksaan menunjukkan bukti kerusakan otot.3 1
2
1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan, diagnosis, penatalaksanaan serta prognosis dari anisokor. 1.2.2
Tujuan Khusus Untuk memenuhi salah satu tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara Serang dan sebagai salah satu persyaratan dalam mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara Serang.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Pupil Ukuran pupil tergantung beberapa faktor antara lain umur, tingkat kesadaran, kuatnya penyinaran, dan tingkat akomodasi. Perubahan diameter pupil dipengaruhi oleh aktifitas jaras eferen serabut simpatis dan parasimpatis. Fungsi saraf simpatik adalah dilatasi pupil dengan efek yang kurang bermakna pada otot siliaris sedangkan fungsi saraf parasimpatik untuk miosis pupil dengan efek terhadap kontraksi M.siliaris serta efek akomodasi. Jadi diameter pupil ditentukan oleh aksi antagonistik antara M.sfingter pupiliae dan M.dilator pupiliae. Otot kedua ini peranannya kecil.4 Pupil anak-anak berukuran kecil akibat belum berkembangnya saraf simpatis. Orang dewasa ukuran pupil adalah sedang dan orang tua pupil mengecil akibat rasa silau yang dibangkitkan oleh lensa yang sklerosis. Pupil waktu tidur kecil, hal ini dipakai sebagai ukuran tidur, simulasi, koma dan tidur sesungguhnya.5 Pupil kecil waktu tidur akibat dari berkurangnya rangsangan simpatis dan kurang rangsangan hambatan miosis. Bila subkorteks bekerja sempurna maka akan terjadi miosis. Pada waktu bangun korteks menghambat pusat subkorteks sehingga terjadi midriasis. Waktu tidur hambatan subkorteks hilang sehingga terjadi kerja subkorteks yang sempurna yang akan menajdikan miosis.5 3
4
Gambar 2.1 : Anatomi pupil Dikutip dari Anatomi system sensorik. 2008. http://dianhusadaalvionietha.blogspot.co.id/p/struktur-mata-dan-mekanisme-melihat.html 6
Ukuran pupil normal berbeda-beda pada berbagai umur dan pada satu orang ke lain orang. Diameter pupil normal kira-kira 3 – 4 mm, dan pada anak-anak cenderung makin besar dan dengan bertambahnya umur, pupil makin menciut. Banyak orang normal yang ukuran pupilnya kanan dan kiri berbeda sedikit (anisokori fisiologis). Kadang-kadang terdapat perbedaan ukuran pupil kanan dan kiri yang nyata, walaupun pada mata normal. Fungsi pupil adalah untuk mengontrol jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata untuk mendapatkan fungsi visual terbaik pada berbagai derajat intensitas cahaya.7
2.1.1
Neuroanatomi jalur pupil
5
Pemeriksaan mengenai reaksi pupil adalah penting untuk menentukan lokasi kerusakan yang mengenai alir lintas optik. Pengetahuan mengenai neuroanatomi jalannya reaksi pupil terhadap cahaya dan miosis yang berkaitan dengan akomodasi adalah sangat penting. 7 A. Refleks cahaya Jalur yang dilalui reflex cahaya seluruhnya adalah subkortikal. Serabutserabut pupil aferen yang didalamnya termasuk saraf optik dan jalur lintas optik hanya sampai di tempat meninggalkan traktus optikus tepat sebelum sinapsis serabut-serabut visual didalam badan genikulatum lateral. Kemudian berjalan ke daerah pretektal di mesensefalon dan bersinaps. Impuls-impuls kemudian disampaikan oleh serabut-serabut yang menyilang melalui komisura posterior ke nucleus Edinger-Westphal di sisi satunya. Sebagian serabut-serabut berjalan langsung di sebelah ventral nucleus Edinger-Westphal ipsilateral. Jalur lintas eferen melalu saraf III ke ganglion siliar di dalam kerucut otot ekstra okular retrobulbar serabut-serabut pascaganglion berjalan melalui saraf siliar brevis untuk mempersarafi otot sfingter iris.7 B. Refleks melihat dekat Pada waktu mata melihat ke obyek dekat, akan terjadi tiga reaksi : akomodasi, konvergensi dan penciutan pupil, dan memberikan bayangan terfokus tajam pada titik-titik di retina yang bersangkutan. Ada petunjuk yang menyakinkan bahwa jalur lintas terakhir yang biasa berjalan melalui saraf okulomotor dengan sinapsis pada ganglion siliar. Jalur lintas aferen ini belum jelas kerjanya tapi kenyataannya ia masuk ke dalam mesensefalon di sebelah ventral
6
nukleus Edinger-Westhpal dan mengirimkan serabut-serabutnya ke kedua sisi korteks.7 Ukuran pupil dikontrol oleh iris, yang terdiri dari 2 kelompok otot polos yaitu otot konstriktor pupil yang berfungsi untuk konstriksi dan dipersarafi oleh sistem saraf parasimpatis (N. III) dan otot dilator pupil yang berfungsi untuk dilatasi dan dipersarafi oleh sistem saraf simpatis.7 Pupil mempunyai 3 fungsi utama, yaitu mengatur jumlah sinar yang masuk ke retina, mengurangi jumlah aberasi sferik serta kromatis yang ditimbulkan oleh gangguan atau kelainan sistem optik pada kornea dan lensa dan menambah ketajaman fokus sinar pada retina.7 2.1.2
Jaras konstriksi pupil dan reflex cahaya (parasimpatis) Stimulus berupa cahaya akan diteruskan oleh serabut aferen (n. II) ke
nukleus pretektetal. Setelah bersinap di nukleus ini maka impuls akan diteruskan ke nukleus Edinger Westphal sisi yang sama dan nukleus pretektal kontralateral yang akan diteruskan ke nukleus Edinger Westphal kontralateral dari sumber cahaya. Dari masing-masing nukleus Edinger Westphal ini, impuls akan diteruskan ke ganglion siliaris. Dari ganglion ini,impuls akan diteruskan ke otot konstriktor pupil melalui serabut eferen parasimpatis.7
7
N. II
Ganglion siliaris
Traktus optikus Nukleus merah Nukleus Edinger-Westphal
Nukleus genikulata lateralis
Traktus pretekto-okulomotorius
Nukleus pretektal
Nukleus komisura
Gambar 2.2 : Refleks cahaya dan akomodasi Dikutip dari Froetscher M, Baehr M. Duus Topical Diagnosis In Nuerology. 4th edition. Stutgart : Thieme. 2005.8
2.1.3. Jaras dilatasi pupil (simpatis) Saraf simpatis untuk otot-otot dilator pupil berasal dari hipotalamus bagian posterolateral yang berjalan ke arah inferior melalui segmen otak dan pons tanpa menyilang dan berakhir pada kornu intermedio lateral medula spinal setinggi C 8 hingga T 2. Bagian ini disebut sistem ke I dari neuron preganglionik.7 Sistem ke II dari serabut simpatis pre-ganglionik adalah serabut simpatis yang keluar dari medula spinal bersama-sama dengan radiks T 1 dan masuk ke rantai simpatis para vertebra yang sangat berdekatan dengan serabut simpatis yang menuju pleura dan apeks paru. Serabut simpatis ini berbalik keatas bersama-sama
8
dengan ansa subklavia di sekeliling arteria sub klavia terus ke atas melalui ganglion servikalis inferior dan medius selanjutnya berakhir di ganglion servikalis superior yang terletak di dasar tengkorak.7 Sistem ke III dari serabut simpatis adalah serabut post-ganglionik okulosimpatik yang berjalan masuk ke dalam tengkorak bersama-sama dengan arteri karotis interna, sedangkan serabut-serabut simpatis untuk kelenjar keringat mengikuti arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya.7 Serabut okulo simpatis post-ganglion memberikan serabut sarafnya ke otot-otot dilator pupil, otot Muller pada kelopak atas dan bawah, kelenjar lakrimal 9
serta serabut trofik untuk pigmen uvea.3
A.karotis interna A.oftalmikus Hipotalamus
M.Mueller
Pupil dilatasi
Neuron pertama Neuron kedua Neuron ketiga
N.naso siliaris N.siliaris
Refraktor palpebral inferior A.karotis eksterna
Serat vasokontriksi untuk wajah A.subklavia
Ganglion servikalis superior
Paru-paru
Pusat pergerakan siliospinal
Gambar 2.3 : Jaras dilatasi pupil Dikutip dari http://andarpunyacerita.blogspot.co.id/2012_09_01_archive.html9
2.2 Anisokor 2.2.1 Definisi Anisokor adalah ukuran pupil yang berbeda. Pupil adalah daerah hitam di tengah iris. Pupil memungkinkan cahaya memasuki mata yang dalam kondisi cahaya redup pupil akan melebar dan dalam kondisi cahaya terang pupil akan mengecil.
1 0
1
Gambar 2.4: Anisokor Michael J. Coleman, MD. 2014. A 15-year-old girl with variable anisocoria. Digital Journal of Opthalmology. Vol 20, p1310
2.2.2 Epidemiologi Insiden dan prevalensi anisokor tergantung dari patofisiologi dan populasi. Kehadiran anisokor fisiologis telah diperkirakan 20% dari populasi normal, sehingga perbedaan mungkin diharapkan dalam 1 dari 5 pasien. Angka kematian dan morbiditas anisokor tergantung pada patofisiologi. Beberapa penyebab anisokor yang mengancam kehidupan salah satunya Sindrom Horner yang disebabkan karena kelumpuhan N.III .2 2.2.3 Klasifikasi
Penyinaran terhadap salah satu mata pada orang normal akan menyebabkan kedua pupil berkonstriksi. Reaksi pupil pada mata yang disinari secara langsung disebut respon direk atau langsung sedangkan reaksi pupil pada mata sebelahnya disebut respon konsensual. Hal tersebut diatas terjadi karena adanya hemidekusatio pada jaras pupilomotor di chiasma dan batang otak .11 Penyinaran dengan sinar yang redup pada salah satu mata pada orang normal akan menyebabkan kedua pupil berkontriksi. Sinar yang lebih terang akan 1
menyebabkan kontraksi yang lebih kuat. Bila setelah menyinari satu mata, sinar 1 secara cepat dipindahkan ke mata satunya, respon yang terjadi adalah kontriksi kedua pupil diikuti redilatasi. Bila sinar dipindahkan ke sisi yang satu, reaksi yang sama juga terjadi.11 Gangguan pada N.optikus dapat mengakibatkan gangguan relatif jaras eferen pupil (pupil Marcus Gunn). Tes yang digunakan dinamakan tes penyinaran secara alternan (swinging test), dimana bila mata yang sehat disinari cahaya kedua, pupil akan berkontraksi, kemudian re-dilatasi perlahan. Bila cahaya dipindahkan ke mata yang sakit, konstraksi kedua pupil berkurang atau tidak ada re-dilatasi yang lebih lama dapat terjadi. 11 Beberapa hal yang dapat menyebabkan gangguan relatif jaras eferen pupil adalah penyakit N.optikus unilateral atau bilateral dimana terkenanya kedua saraf tidak sama beratnya, penyakit retina, ambliopia, gangguan traktus optikus bila menyebabkan gangguan lapang pandang yang satu lebih berat dari yang lain.11 2.2.3.1 Lesi pada saraf parasimpatetik
1. Kelumpuhan N.okulomotor bersamaan dengan saraf parasimpatetik. Gejala gangguan pupil (pupil midriasis, reflek cahaya terganggu) disertai ptosis dan terbatasnya gerakan bola mata. Bila kelumpuhan sempurna, ukuran pupil tergantung sepenuhnya stimulan simpatik. Etiologi hernia unkus, meningitis basalis.11 2. Midriasis oleh sebab trauma Trauma dapat merusak m.sfingter pupillae dan midriasis, pada awalnya 1 dapat terjadi miosis. Sering terjadi bersamaan dengan trauma kapitis, sehingga 2
sering salah diagnosa sebagai herniasi otak.
11
3. Midriasis farmakologik Gejala pupil dilatasi dan gangguan reaksi terhadap cahaya dan akomodasi. Dengan pemberian Pilocarpine 0,5% -1%, konstriksi pupil minimal, sedang pada parese N.III dan pupil tonik dengan pemberian pilocarpine terjadi konstriksi pupil.11 4. Pupil tonik (Adie’s sindroma) Terjadi respon cahaya yang terganggu dan respons akomodasi yang normal dan dilatasi yang lambat setelah akomodasi. Terjadi 70% pada wanita, unilateral pada 80% kasus, 4% kasus dapat menjadi bilateral. Pada stadium awal pupil dilatasi dan sangat reaktif. Pada slit lamp dapat terlihat beberapa segmen sfingter berkonstriksi, dengan refiksasi pada penglihatan jauh dan redilatasi pupil yang lambat. Anisokor dapat terlihat pada respon akomodasi, dimana pupil yang tonik, setelah upaya akomodasi, fokus ulang terhadap penglihatan jauh dapat terhambat. 11
Dapat terjadi fotofobi, reflek KPR/APR yang menurun, reflek tendon dalam terganggu. Pupil tonik sangat sensitif terhadap parasimpatomimetik topikal (metakolin 2,5%, pilokarpin). Konstriksi pupil lebih hebat pada pupil tonik dibandingkan mata normal dan dapat mengakibatkan nyeri karena spasme M.siliaris. Pada pemeriksaan ganglion siliaris terdapat pengurangan jumlah sel ganglion. Etiologi tidak diketahui. Beberapa kondisi yang menyebabkan pupil tonik antara lain, herpes zooster, varicella, sifilis.11 1 3
2.2.3.2 Lesi pada sistem simpatetik Lesi sepanjang jaras simpatetik dapat menyebabkan Horner’s Syndrome (ptosis,miosis, anhidrosisi wajah ipsilateral, enophthalmus).11 2.2.3.2.1
Pada pemeriksaan didapatkan anisokor terutama dengan pencahayaan yang redup dan yang terkena gagal berdilatasi. Anisokor biasanya maksimal setelah 5 detik pencahayaan dan reaksi cahaya dan akomodasi normal.11 2.2.3.2.2 Etiologi :
a. Preganglioner Horner’s Syndrome disebabkan lesi susunan saraf pusat (disertai dengan anhidrosis tubuh sesisi). Bila lesi di neuron kedua anhidrosis pada sebelah wajah, tumor apeks paru (Pancoast tumor), aneurisma arteri thorakalis, trauma bleksus brakhialis. b. Post ganglioner Horner’s Syndrome. Terjadi pada susunan saraf pusat (anhidrosis tidak ada atau terbatas didahi), cluster headache, diseksi spontan A.karotis, Reader’s Paratrigeminal Syndrome (biasa pada pria setengah baya dengan
Horner’s Syndrome, nyeri kepala bukan tipe cluster dan tidak ditemukan kelainan patologi). Letak lesi penyebab sindroma Horner perlu ditentukan, sebab lesi distal terhadap gangion servikal superior biasanya 98% jinak, sedangkan lesi proksimal terhadapnya 50% ganas. Pada arak yang sering terjadi adalah congenital horner’s syndrome yang sering disebabkan karena trauma lahir, atau adanya neuroblastoma yang tumbuh pada jaras simpatetik. Pada lesi yang kongenital dapat terjadi dengan heterokromia iris.
11
1 4
2.2.4 Etiologi Secara umum perbedaaan ukuran pupil lebih dari 1mm yang timbul secara tiba-tiba dan tidak menghilang merupakan tanda dari jejas atau tumor pada otak dan memerlukan penanganan medis segera, terutama bila disertai dengan gejala seperti muntah dan penglihatan buram. Jika perbedaan pupil kurang dari 1 mm maka termasuk fisiologis, namun apabila lebih dari imm maka termasuk patologis.12 Penggunaan obat tetes mata adalah penyebab umum dari perubahan yang berbahaya dalam ukuran pupil. Salah satunya termasuk obat-obatan dari inhaler asma yang dapat mengubah ukuran pupil.13 Penyebab lain dari ukuran pupil yang tidak sama yaitu aneurisma, perdarahan intracranial yang disebabkan oleh cedera kepala, tumor otak atau abses, peningkatana tekanan intraocular, peningkatan tekanan intracranial, karena pembengkakan otak, perdarahan intracranial, stroke, meningitis atau ensefalitis, migraine, kejang (ukuran pupil berbeda sebab kejang yang terlalu lama), tumor
atau massa pada kelenjar getah bening yang dapat menyebabkan saraf dapat tertekan dan menyebabkan kelumpuhan saraf.13 Ada empat penyebab lain dari anisokor yaitu kegagalan persarafan parasimpatis yang menyebabkan pupil yang relatif dilatasi akan bereaksi lambat terhadapat cahaya langsung. Seperti contoh pada ptosis yang disebabkan karena kelumpuhan saraf
kranial ketiga, terutama yang disebabkan oleh aneurisma.
1 Namun, anisokor tidak pernah disebabkan oleh kelumpuhan saraf ketiga kecuali 5
ada tanda-tanda lain dari saraf kranial palsy-ptosis ketiga dan gerakan mata yang berkurang. Penyebab umum anisokor adalah infeksi virus dari ganglion siliaris (sindrom Adie), struktur orbital yang menerima komponen parasimpatis dari saraf kranial ketiga.3 Sindrom Horner yang dapat menyebabkan anisokor di mana pupil yang terkena akan lebih kecil. Ptosis biasanya hadir tapi selalu ringan (2 mm atau kurang).3 Blokade kimia. Jika parasimpatolitik (atropin) bahan kimia bersentuhan dengan konjungtiva secara disengaja, akan menonaktifkan otot sfingter iris. Hal ini terjadi paling sering terjadi karena terkena tanaman yang mengandung atropine. 3 Kerusakan sfingter iris yang disebabkan karena peradangan dan trauma dapat membuat pupil berbeda bentuk, dan dalam pemeriksaan menunjukkan bukti kerusakan otot.3 2.2.5 Patofisiologi
Ukuran pupil bergantung kepada efek dari sistem saraf otonom, otot2 iris, dan beberapa proses patofisiologi yang dapat menyebabkan keadaan anisokoria.14 Dari segi kerja saraf otonom, sistem parasimpatis akan membuat iris konstriksi, sedangkan sistem simpatik yang berbeda secara anatomis akan membuat iris dilatasi. Sistem simpatik dimulai dari hipotalamus, menuruni batang otak (termasuk bagian lateral dari medulla) dan masuk kedalam korda cervical 1
lalu ke sinaps di dalam pusat siliospinal dari Budge-Waller pada ketinggian 6 C8T1.14 Neuron kedua selanjutnya keluar dari akar saraf C8-T1, berjalan melalui bagian apeks paru-paru kemudian naik ke ganglia cervical superior berjalan bersama arteri karotis. Neuron ketiga selanjutnya keluar dari ganglia cervical superior dan naik melewati pleksus lalu mengitari arteri karotis interna hingga melewati sinus kavernosa, dimana didapati serat-serat yg bekerja untuk dilatasi pupil dan juga didapati otot Mueller pada kelopak mata yang berjalan bersama saraf trigeminus melewati fisura orbitalis superior menuju target orbital masingmasing. Serat-serat yang bekerja untuk memodulasi keringat pada wajah berjalan bersama arteri carotis eksternal.14 Serat parasimpatis bermula dari subnukleus Edinger-Westphal pada nervus cranialis III di dalam midbrain/otak tengah. Serat parasimpatis tersebut berjalan bersama nervus okulomotorius, mengitari sinus kavernosa secara trasversal, dan memasuki orbit melalui fisura orbitalis superior untuk mengsinapsis di dalam ganglia siliaris. Lalu serat-serat parasimpatis tersebut menginervasi otot sfingter pupil untuk berakomodasi.14
2.2.6 Diagnosis Penggunaan CT-Scan tergantung pada penyebab yang mendasari anisokor.14
Syndrome Horner dapat dikonfirmasi oleh MRI kepala karena merupakan
syndrome meduler lateral Diseksi karotis dapat dikonfirmasi dengan Magnetic Resonance Angiography 1 (MRA), angiografi kontras atau USG Doppler, tergantung pada segmen yang 7
terlibat. 2.2.7 Penatalaksanaan Obat yang biasa digunakan dalam diagnosis anisokor ialah kokain (410%), hydroxyamphetamine, dan pilocarpine (0,1-1%). 14 Dengan kokain topical 4-10%, pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan pada Herner’s syndrome dilatasi sangat berkurang. Kokain memblokir re-uptake nor-epinefrin yang dilepaskan oleh neuron simpatik ketiga. Lesi jaras simpatik menyebabkan berkurangnya epinefrin yang dilepaskan oleh neuron sehingga pupil sisi tersebut tidak akan berdilatasi.14 Paredrin 1% (Hidoksi amfetamin) untuk menentukan lokasi lesi. Efek paredrine melepaskan nor-epinefrin dari terminal pre-sinaptik. Pada lesi post ganglioner, saraf terminal mengalami degenerasi sehingga terjadi gangguan dilatasi papil pada pemberian paredrin, sedangkan pada lesi preganglion, jaras post ganglion masih intak sehingga paredrin mengakibatkan dilatasi pupil.14 2.2.8 Prognosis
Prognosis anisokor bisa baik maupun buruk, hal ini ditentukan oleh letak lesi. Pada lesi yang terdapat tepat di N.II dapat mengakibatkan kebutaan, prognosis buruk. Namun pada lesi yang tidak tepat di N.II kemungkinan prognosis baik. 14
BAB III SIMPULAN
Diameter pupil normal kira-kira 3 – 4 mm, dan pada anak-anak cenderung makin besar dan dengan bertambahnya umur, pupil makin menciut. Ukuran pupil bergantung kepada efek dari sistem saraf otonom, otot-otot iris, dan beberapa proses patofisiologi yang dapat menyebabkan keadaan anisokoria. Secara umum perbedaaan ukuran pupil lebih dari 1mm yang timbul secara tiba-tiba dan tidak menghilang merupakan tanda dari jejas atau tumor pada otak dan memerlukan penanganan medis segera, terutama bila disertai dengan gejala seperti muntah dan penglihatan buram. Jika perbedaan pupil kurang dari 1 mm maka termasuk fisiologis. Penggunaan obat tetes mata adalah penyebab umum dari perubahan yang berbahaya dalam ukuran pupil. Salah satunya termasuk obat-obatan dari inhaler asma yang dapat mengubah ukuran pupil.
Tatalaksana yang biasa digunakan dalam diagnosis anisokor ialah kokain (4-10%), hydroxyamphetamine, dan pilocarpine (0,1-1%). Dimana ketiga obat tersebut memiliki mekanisme masing-masing. Prognosis anisokor bisa baik maupun buruk. Hal ini ditentukan oleh letak lesi.
1
DAFTAR 8 PUSTAKA 1. Ramses, Bobby. 2008. Hubungan Ukuran Pupil dengan Miopia Derajat Sedang dan Berat. Diakses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6387/1/Bobby%20Ramses %20Erguna%20Sitepu.pdf . diakses pada tanggal 21 novemebr 2008. 2. Michael, Hans. 2010. Epidemiology of Anisocoria. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1255572-clinical#showall. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2010. 3. Japardi, Iskandar. 2009. Pupil dan Kelainannya. Diakses di http://library.usu.ac.id//fk/bedah-iskandar%20japardi42.pdf. Diakses pada tanggal 2 Desember 2009. 4. American Academy of Opthalmology, neuro ophthalmology, basic and clinical science course, 2007, 5 : 130-131 5. Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 6. Danus. 2008. Anatomi pupil. http://dianhusadaalvionietha.blogspot.co.id/p/struktur-mata-danmekanisme-melihat.html. Diakses pada tanggal 22 September 2008. 7. Ramses, Bobby. 2008. Hubungan Ukuran Pupil dengan Miopia Derajat Sedang dan Berat. Diakses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6387/1/Bobby%20Ramses %20Erguna%20Sitepu.pdf . diakses pada tanggal 21 novemebr 2008. 8. Froetscher M, Bachr M. Duus Topical Diagnosis In Neurology. 4th. 2005. Refleks cahaya dan akomodasi. 9. Kysar, Ahmad. 2012. Jaras dilatasi pupil. Diakses di http://andarpunyacerita.blogspot.co.id/2012_09_01_archive.html. Diakses pada tanggal 9 anuari 2012. 10. Michael J. Coleman, MD. 2014. A 15-year-old girl with variable anisocoria. Digital Journal of Opthalmology. Vol 20, p13
11. Japardi, Iskandar. 2009. Pupil dan Kelainannya. Diakses di http://library.usu.ac.id//fk/bedah-iskandar%20japardi42.pdf. Diakses pada tanggal 2 Desember 2009. 12. Aditya, Sukma. 2014. Anisokor. Diakses di http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditionsdiseases/anisokor-_-951000103203 . Diakses pada tanggal 2 September 2014. 13. Baloh RW, Jen J. Neuro-ophthalmology. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2011:chap 432. 14. Eric R Eggenberger, MS, DO, FAAN. 2013. Anisocoria. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1158571-clinical#showall. Diakses pada tanggal 16 November 2013.
1 9